Sejarah Singkat Mata Uang Rupiah di Indonesia
Monday, 19 December 2016
SUDUT HUKUM | Mula-mula logam mulia
dipergunakan dalam proses pertukaran dengan bentuk batangan-batangan, dan
nilainya dinyatakan menurut kesatuan timbangan dari logam itu. Pada tiap-tiap
pertukaran, nilainya harus selalu ditetapkan kadarnya, sehingga hal tersebut
merupakan kesukaran. Oleh karena itu, dibuatkan bentuk mata uang tertentu
dengan berat dan kadar yang dijamin oleh pemerintah; disertakan pula cap atau
stempel pada bentuk mata uang. Yang dimaksudkan dengan mata uang ialah
kesatuan-kesatuan logam yang mempunyai bentuk dan tanda tertentu, yang
diberikan oleh atau atas nama pembesar atau pemerintah yang sah. Tanda-tanda
berbentuk tulisan, gambar, dan di pinggirnya ada garis-garis. Hal ini
menyatakan bahwa kesatuan uang tersebut harus diterima dalam lalu lintas
pembayaran.[1]
Sejarah kemunculan mata uang
yang memiliki fungsi sebagai alat pertukaran merupakan suatu bentuk respons
terhadap timbulnya hambatan atau kendala dalam penerapan sistem barter di
masyarakat, dimana pada waktu itu pertukaran barang dengan barang lain secara
langsung tanpa menggunakan alat pertukaran, dipandang kurang efektif dalam
pelaksanaannya karena membutuhkan tenaga dan waktu yang relatif lama dalam
prosesnya, sehingga dalam kenyataanya tidak banyak terjadi transaksi atau kegiatan perdagangan yang
mungkin dapat dilakukan apabila sistem barter ini digunakan sebagai
satu-satunya cara atau media dalam melakukan pertukaran.
Pada sistem barter
murni, salah satu hal yang harus dipenuhi sehingga pelaksananya dapat berjalan
dengan lancar adalah suatu keinginan yang sama (double coincidence of wants)
diantara masing-masing pihak yang akan menukarkan barang tersebut. Tanpa
dilandasi oleh prinsip tersebut, maka dalam prakteknya akan sulit untuk
terjadinya suatu transaksi atau kegiatan barter diantara para pihak. Selain
itu, dalam kenyataanya untuk menemukan orang-orang yang memiliki keinginan yang
sama, sudah barang tentu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan
dengan beragamnya jenis kebutuhan dari masing-masing pihak. Dengan
Memperhatikan hal tersebut di atas, maka penerapan prinsip kesamaan akan
keinginan dan kebutuhan pada sistem barter akan menimbulkan hambatan atau
kendala bagi setiap manusia dalam memenuhi berbagai macam kebutuhannya yang
beraneka ragam dari waktu ke waktu.[2]
Oleh sebab
itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut di masyarakat,
yaitu dengan cara menggunakan barang atau komoditi tertentu yang secara umum
dapat diterima sebagai alat pertukaran (medium of exchange). Penggunaan
benda atau komoditi tersebut didasarkan pada adanya suatu kesepakatan di antara
anggota masyarakat yang menggunakannya pada suatu daerah tertentu. Pada
umumnya, benda yang dipergunakan tersebut, selain dapat diterima sebagai alat
pembayaran dalam sistem perekonomian yang sangat sederhana tersebut, seringkali
juga memiliki kegunaan untuk dikonsumsi atau keperluan produksi.
Menurut
pandangan D.H. Robertson, dengan menggunakan barang atau komoditi tertentu
tersebut, maka kita dapat mengartikan “uang” sebagai segala sesuatu yang
diterima secara umum sebagai pembayaran untuk benda-benda atau untuk melunasi
kewajiban-kewajiban lain yang timbul karena dilaksanakannya sesuatu usaha (business
obligation). Dari pemahaman tersebut, Robertson mengambil contoh dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat, di mana pada abad ke-19 minuman berupa bir
dibayarkan sebagai upah kepada para buruh pada pertambangan-pertambangan batu
bara di negara Inggris. Pada waktu itu, uang (bir) sangat popular dan bersifat
sangat likuid (cair) sebagai alat pembayaran. Namun mengingat pada waktu itu
bir tersebut dikeluarkan dalam jumlah yang berlebihan, maka dalam prakteknya
menimbulkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh orang perorangan dalam kaitan
dengan peyimpanannya.[3]
Untuk
mengatasi kesulitan ini, maka harus diperlukan suatu ukuran nilai (standar
nilai) yang dapat menaruh barang-barang yang akan dipertukarkan ke dalam suatu
pembilang. Pembilang ini disebut standar uang atau baku uang. Pada awal mula
terjadinya, maka standar itu masih bersifat subjektif. Akan tetapi dengan
dilaksanakannya pertukaran secara terus-menerus maka berubahlah menjadi standar
yang bersifat objectif, sehingga memungkinkan untuk mengadakan penilaian
terhadap barang-barang yang akan dipertukarkan. Standar nilai yang pertama-tama
dipergunakan ialah barang-barang konsumsi. Dengan adanya penggunaan ukuran
nilai yang objektif, maka pertukaran barter menjadi lebih cepat dan mudah,
meskipun demikian ini tidak berarti bahwa kesulitan-kesulitan barter sudah
dapat diatasai sepenuhnya. Jadi dalam pertukaran barter tetap masih ada
kesulitan-kesulitan.
Selanjutnya
masalah, kendala serta kesulitan-kesulitan yang dijumpai pada perekonomian
barter ini tersebut merupakan tantangan yang harus dipecahkan dan dicari jalan
keluarnya dan menyebabkan anggota masyarakat berpikir, berusaha dan mencari
akal sehingga akhirnya menemukan suatu “ benda” yang tidak saja hanya sekedar
dibutuhkan dan disukai oleh setiap orang, tetapi juga dengan senang hati
diterima sebagai pengganti barang yang dipertukarkannya. Dengan demikian
seseorang yang akan menukarkan suatu barang tidak perlu merasa khawatir jika
hasil penukarannya tersebut nantinya tidak bisa ditukarkan lagi dengan barang
lain yang dikehendakinya. Hal tersebut karena dengan “benda” yang disukai dan
dibutuhkan oleh masyarakat umum tersebut, seseorang yang memilikinya akan lebih
mudah menukarkanya lagi dengan barang apapun yang dikehendakinya dan kepada
siapapun.[4]
Mata uang yang
pernah beredar dan berlaku di Indonesia untuk periode 1945-1950 dapatlah
disusun sebagai berikut:
- O.R.I yaitu uang Republik Indonesia yang berlaku di Jawa saja.
- U.R.I.P.S yaitu uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera yang berlaku di sebagian Sumatera.
- U.R.I.T.A yaitu uang Republik Indonesia Tapanuli yang berlaku di daerah Tapanuli.
- U.I.P.S.U yaitu uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara yang berlaku di Provinsi Sumatera Utara.
- U.R.I.B.A yaitu uang Republik Indonesia Baru Aceh yang berlaku di daerah Aceh
- Uang Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang yang berlaku di Palembang.
Kemerdekaan
Indonesia yang masih berusia muda ternyata mendapat rongrongan dari berbagai
pihak, tidak hanya dari luar tetapi juga dari dalam. Rongrongan dari luar
adalah pihak pemerintah sipil Hindia-Belanda (Netherlands India Civil
Administration)yang ingin berkuasa kembali ke Indonesia, berkas negeri
jajahannya.Usaha tentara NICA untuk menduduki Indonesia kembali menimbulkan
revolusi fisik. Mereka menghadapi perlawanan sengit dari pejuang-pejuang
Republik Indonesia (RI). Perang kemedekaan tidak hanya melibatkan senjata
tetapi juga uang. Pada masa itu terjadi “perang ekonomi”, karena kedua belah
pihak yang bermusuhan yaitu RI dan NICA bersama-sama mencetak dan mengedarkan
uang untuk merebut simpati masyarakat. Uang keluaran NICA waktu itu disebut “uang
merah” sedangkan uang keluaran pemerintah RI atau ORI (Oeang Repoeblik
Indonesia) yang didukung oleh pejuang-pejuang RI yang disebut uang putih.
Untuk
mematahkan perlawanan pejuang-pejuang RI, Tentara NICA mengadakan razia
besar-besaran terhadap percetakan ORI yang berada di Jakarta. Menghadapi
blokade musuh ini, akhirnya pemerintah RI menetapkan kebijakan kepada
daerah-daerah untuk mencetak ORI sendiri yang disebut ORIDA. Oleh karena itu
ada ORI daerah Yogyakarta, daerah Banten, Lampung, Jambi, Palembang, Bengkulu
dan daerah-daerah lain. Kemudian, pada tahun 1949-1950 Belanda memancarkan
taktik baru, devideet impera, yaitu mecoba memecah belah bangsa
Indonesia dengan cara membentuk negara federasi RIS (Republik Indonesia
Serikat), sehingga di beberapa daerah timbul gerakan pemberontakan yang intinya
ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akibatnya
timbul berbagai pemberontakan, yang masing-masing mencetak dan mengedarkan mata
uang di daerahnya sendiri.
Setelah
berlaku Hukum Darurat No. 20, tanggal 27 September 1951 yang berlaku sebagai
alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia adalah Rupiah (kecuali
Irian Barat) dan pada tahun 1968 dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Perbankan
Nomor 13 Tahun 1968 ditetapkan bahwa satuan hitung uang Indonesia adalah Rupiah
dengan singkatan Rp, dibagi dalam 100 (seratus) sen dan tiap pembayaran yang
mengenai uang jika dilakukan di Indonesia harus dengan uang rupiah kecuali
dengan tegas diadakan ketentuan lain dengan perundangan.
[1] Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 26.
[2] Hendar, Electronic Money dan RUU Mata Uang, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Mata uang, yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, Bandung, 22 Mei 2006, hlm. 1- 2.
[3] D.H. Robertson, Lang (Money) (London: Nisbet & Co. Ltd, 1969), diterjemahkan oleh Winardi, Bandung, Tarsito, 1976, hlm. 5.
[4] H.Rachmad Firdaus & Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter Serta Aplikasinya Pada Sistem Ekonomi Konvensional & Syariah (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 3.