Upaya Penanggulangan Kejahatan Narkotika
Friday, 9 December 2016
SUDUT HUKUM | Upaya atau kebijakan untuk
melakukan pencegahan atau penanggulangan kejahatan narkotika termasuk
bidang kajian “kebijakan kriminal”. Sudarto mengemukakan tiga arti kebijakan
kriminal yaitu :
- Dalam arti sempit, yakni keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
- Dalam arti luas, yakni keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari Lembaga Pemasyarakatan;
- Dalam arti paling luas, yakni keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Barda Nawawi Arief menjelaskan
bahwa tujuan tersebut dapat di identifikasikan dalam hal-hal pokok sebagai
berikut :
- Pencegahan dan penanggulangan kejahatan menunjang tujuan (goal), kesejahteraan masyarakat/Social Welfare (SW) dan perlindungan masyarakat/Social Defence (SD). Aspek SW dan SD yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
- Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral, ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Di lihat dari sudut politik dan kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana “non penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan “penal” memiliki kelemahan/keterbatasan (yaitu bersifat fragmentaris atau lebih bersifat represif dan harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi).
- Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yakni tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi.
Berkaitan dengan uraian diatas
maka pembentuk hukum dan perencana undang-undang dalam mempersiapkan peraturan
hukum pidana harus berorientasi pada kepentingan masyarakat di masa
mendatang dengan mengingat nilai-nilai sosial budaya dan struktural
masyarakat.
Suatu perumusan hukum pidana
yang kurang baik akan berdampak pada kedua
tahap berikutnya, sehingga tahap kebijakan formulatif atau legislative merupakan
tahapan yang paling penting.
Upaya penanggulangan kejahatan
ini dilakukan tidak semata-mata secara penal saja, tetapi juga dilakukan
dengan upaya-upaya non penal agar lebih efektif dan efisien, dimana kedua upaya
tersebut saling melengkapi dan saling mengisi satu sama lain. Dalam kerangka
penanggulangan kejahatan ini tidak terlepas dari pemikiran bahwa hakekat dan
tujuan penanggulangan kejahatan dalam rangka melindungi masyarakat dari
kejahatan (social defence policy), yang pada akhirnya guna mencapai kesejahteraan
masyarakat (social welfare policy).
Dari sisi frekuensi, upaya penal
bersifat temporal kondisional yang bekerja ketika suatu pelanggaran/kejahatan
terjadi, sedangkan upaya non penal bersifat rutin atau continue yaitu tetap
bekerja, baik pada saat tidak ada pelanggaran/kejahatan maupun setelah ada
pelanggaran/kejahatan. Jika menbandingkan pola kerja keduanya tersebut, maka upaya
penal merupakan ultimum remidium yang sebenarnya hanya mem-back-up upaya non penal
saja.
Upaya penal lebih bersifat
refresif yang bekerja setelah kejahatan terjadi dengan fokus utama pada pelakunya,
sedangkan upaya non penal bersifat preventif yang bekerja sebelum kejahatan
terjadi yaitu melakukan langkah-langkah antisipasi berupa tindakan pencegahan, yang
diarahkan pada upaya menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan.
Pada dasarnya masalah strategi yang harus ditanggulangi menurut
Barda Nawawi Arief, ialah menangani masalahmasalah atau kondisi sosial secara
langsung atau tidak langsung yang dapat menumbuh suburkan kejahatan, ini
berarti penanganan dan penggarapan masalahmasalah itu justru merupakan posisi
kunci dan strategis dilihat dari sudut politik kriminal. Beberapa ahli hukum
pidana berpendapat upaya non penal mempunyai
peranan kunci yang strategis
dari keseluruhan upaya politik kriminal atau politik hukum pidana dalam upaya
pencegahan terjadinya suatu kejahatan.
Salah satu aspek yang patut
mendapat perhatian adalah penggarapan masalah upaya penanggulangan kejahatan
narkotika. Kejahatan narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks,
yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan
kerja sama multidisipliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara
aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Kebijakan kriminal atau
penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat (social welfare) oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir
atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari
politik sosial.
Usaha penanggulangan kejahatan
dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Pencegahan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus menunjang tujuan (goal), social welfare dan social defence. Di mana aspek social welfare dan social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran/keadilan.
- Pencegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan integral, ada keseimbangan sarana penal dan non penal.
- Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap : formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Upaya non penal dengan
menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat dari
faktor-faktor kriminogen, merupakan potensi yang dapat dicoba untuk
menangkal kejahatan, termasuk kejahatan narkotika, sehingga perlu dikembangkan
seluruh potensi dan dukungan dari masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya kejahatan narkotika.
Tingginya tingkat kemiskinan dan
pengangguran yang terdapat dalam suatu daerah dapat menjadi salah satu
faktor kondusif yang mendorong terjadinya kejahatan narkotika, disamping
adanya kemudahan untuk memperoleh uang dengan menjadi kurir, pengedar
atau bandar narkotika. Mereka yang miskin atau menganggur lebih mudah menjadi
pengedar. Sedangkan mereka yang mempunyai uang atau mereka yang mampu,
cenderung untuk menjadi pengguna atau penyalahguna narkotika.
Selanjutnya juga Barda Nawawi
Arief mengemukakan bahwa usaha non penal didalam penanggulangan kejahatan
lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Dengan
demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka
upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
Rujukan:
Barda Nawawi Arief, Masalah
Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Universitas Diponegoro. Semarang,
2001,
Djisman Samosir, Fungsi Pidana
Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1992,
Aminal Umam, Ketidakadilan
Dalam Penanganan Kejahatan Narkoba, Masalah Hukum Varia Peradilan, Edisi No.303,
Ikahi, Jakarta, 2011,
Sudarto, Kapita Selekta
Hukum Pidana, Bandung,1986.