Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Daerah
Tuesday, 24 January 2017
SUDUT HUKUM | Lampiran Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, huruf C.3.
menentukan , “ Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau
perintah”.
Perumusan ketentuan pidana
dalam perda sebagaimana ditentukan dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -undangan,huruf C.3
diatas dikaitkan dengan pendapat Muladi yang menyatakan, bahwa “Hukum pidana
materil (subtantive criminal law) yang berisi 3 (tiga) permasalahan
pokok, yaitu:
- perumusan perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan yang dikriminalisasikan;
- pertanggungjawaban pidana atau pelaku perbuatan yang dapat dipidana; dan
- sanksi atau pidana”, menunjukan, bahwa ketentuan pidana di samping memuat secara tegas pidana yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana), juga mengandung ketentuan yang mengkriminalisasi suatu perbuatan sekaligus menetapkan seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang sebagai pelaku tindak pidana.
Pernyataan di atas mengandung
konsekuensi, bahwa suatu perbuatan yang dilarang tidak akan menjadi tindak
pidana, kecuali jika ada ketentuan pidananya atau diancam pidana. Demikian juga
halnya dengan pelaku perbuatan yang dilarang tidak akan menjadi pelaku tindak
pidana, kecuali ada ketentuan pidana yang mengancam pelaku tersebut dengan
pidana dengan demikian, ketentuan pidana dalam perda pada hakikatnya merupakan
ketentuan yang mengkriminalisasi suatu perbuatan yang dilarang atau
diperintahkan oleh perda.
Pemuatan ketentuan pidana dalam
perda dilihat dari sisi aparat berarti memberikan kewenagan kepada aparatur
Pemerintah Daerah untuk memaksa setiap orang dalam daerah tersebut mematuhi
larangan dan perintah yang ditentukan dalam perda. Dilihat dari sudut
kebijakan, perumusan ketentuan pidana dalam perda merupakan kebijakan yang
strategis sekaligus krusial dalam mewujudkan kepatuhan hukum masyarakat.
Berkaitan dengan perumusan
ketentuan pidana sebagai suatu kebijakan bahwa: Dalam mengkriminalisasi suatu
perbuatan harus diperhatikan hal-hal yang pada initinya sebagai berikut:
- Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
- Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dihendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian baik material maupun spritual atas warga.
- Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan biaya dan hasil (costbenefed principle).
- Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas (overbelasting).
Keputusan untuk melakukan
kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai macam faktor termasuk:
- keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai (the proportionallity of the means used in relationship to the out come obtained) ;
- analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan yang dicari the cost analysis of thr out come in (relationship to the objectives sought)
- penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia (the appraisal of objectives sought i n relationship to other priorities in the allocation or resourches on human power)
- pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan (dipandang dari segi) pengaruh-pengaruhnya yang sekunder ( the social impact of criminalization in terms of its scondary effects).
Tinjauan dari kacamata
kebijakan terhadap perumusan ketentuan pidana dalam perda sebagaimana diuraikan
di atas memberikan beberapa pemahaman, bahwa perumusan ketentuan pidana dalam
perda merupakan kebijakan dalam rangka menegakkan atau mengfungsionalisasikan/mengoperasionalisasikan
perda tersebut. Ini berarti, bahwa perumusan ketentuan pidana dalam perda
bukanlah keharusan, melainkan merupakan pilihan yang ada pada hakikatnya sama
dengan pilihan penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan.
Oleh karena tersebut. Ini
berarti, bahwa perumusan ketentuan pidana dalam perda bukanlah keharusan,
melainkan merupakan pilihan yang pada hakikatnya sama dengan pilihan penggunaan
hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu penggunaan ketentuan
pidana sebagai sarana pemaksa dalam penegakan perda wajib pula memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
- Tujuan Otonomi Daerah, yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Perbuatan yang dilarang dan diperintahkan dalam perda yang dikenai ketentuan pidana harus merupakan perbuatan yang tidak di kehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian baik material maupun spritual atas warganya.
- Penggunaan ketentuan pidana dalam perda harus pula memperhitungkan biaya dan hasil (costbenefed principle).
- Penggunaan ketentuan pidana dalam perda harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas (overbelasting).
- Pengaruh sosial perumusan ketentuan pidana dalam perda yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruhnya.