Model Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana
Monday, 16 January 2017
SUDUT HUKUM | Istilah criminal justice
system atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Criminal justice
process adalah
setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke
dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal
justice system adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi
yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Menurut Musawir (2003: 14),
sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.
Tujuannya sebagai berikut:
- Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
- Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
- Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya.
Sistem peradilan pidana tersebut
merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana
materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun,
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan
jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana
berupa ketidakadilan. Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana
yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan
pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi
manusia (di dalamnya ada aparatur hukum, advokat, terdakwa serta
masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka
ciptakan (Barda Nawawi Arif, 2002: 75).
Berkaitan dengan sistem peradilan
pidana di atas maka penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak
dengan memperkenalkan model restorative Justice dilatarbelakangi
oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (criminal
law reform), khususnya pembaharuan hukum pidana anak. Pembaharuan
hukum pidana (criminal law reform), pada hakikatnya di samping
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, juga merupakan bagian integral dari
ide dan tujuan yang lebih besar, yaitu kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan
pembaharuan sistem hukum nasional yang modern yang mengandung pula
elemen nuansa negara yang berdaulat dan demokratis, baik yang berkaitan
dengan struktur, substansi maupun kultur hukumnya (Chairul Huda, 2009:
97).
Model peradilan restorative yang
lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan
alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak
pada proses hukum. Model peradilan restorative ini, pada
tataran ius constotuendum peradilan anak Indonesia adalah suatu perkembangan dalam rangka
perumusan undang-undang peradilan anak.
Adapun pengaturan masalah pidana
dan tindakan dengan model restorative justice dalam sistem peradilan pidana
antara lain:
- Tujuan Pemidanaan (The Aim of Punishment).
Tujuan pemidanaan bertolak dari
pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem
yang bertujuan purposive system atau teleological
system dan
pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Anak 2010 merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak
pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu perlindungan hak anak (general
prevention) dan perlindungan/pembinaan individu anak (special
prevention).
- Syarat Pemidanaan.
Jika tujuan pemidanaan bertolak
dari keseimbangan dua sasaran pokok, maka syarat pemidanaan menurut
Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak 2010 juga bertolak dari
keseimbangan mono-dualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan
individu. Oleh karena itu, syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar atau
asas yang sangat fundamental, yaitu asas legalitas (yang merupakan asas
kemasyaraktan) dan asas kesalahan atau culpabilitas (yang merupakan asas
kemanusiaan atau individual).
- Pengembangan sanksi-sanksi alternative (alternative sanctions) terhadap pidana kemerdekaan (imprisonment) jangka pendek di bawah satu tahun (short prison sentence), berupa pidana pengawasan, pidana kerja sosial dan pidana denda, untuk menghindari daya destruktif dari pidana pernjara.
- Dalam rangka perkembangan HAM yang berkaitan dengan anak, maka secara eksplisit diadakan pengaturan tentang juvenile justice berupa Pidana dan Tindakan Bagi Anak. Dalam hal ini juga ditegaskan batas minimum umum pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal respomsibility), yaitu 12 tahun.
- Di samping pengembangan di bidang jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (strafmodus), juga dikembangkan sistem tindakan (maatregelstelsel), yang meliputi baik yang berkaitan tindakan bersifat mandiri sehubungan kekurangmampuan bertanggungjawab maupun tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok dengan pertimbangan kemanfaatan. Sistem ini dikenal sebagai system dua jalur (double-track system) (Chairul Huda, 2009: 102).
Model Restorative Justice sebagai
bentuk diskresi yang dikenal dalam proses hukum, merupakan salah satu
prinsip pengecualian yang perlu dipikirkan sebagai konsep proses peradilan anak pada
tataran ius constituendum. Model restorative justice adalah salah
satu model peradilan anak, dalam rangka melindungi anak agar terhindar dari trauma psikis dan pandangan
sebagai mantan residivis.