Sistem Hukum Common Law
Monday, 23 January 2017
SUDUT HUKUM | Sistem common law memiliki
tiga karakter, yaitu yurisprudensi dianut sebagai sumber hukum yang utama,
kedua dianutnya prinsip stare decisis, dan ketiga dianutnya adversary
system dalam peradilan. Sistem ini berasal dari Inggris (dalam sistem ini
tidak ada sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang dikembangkan
di pengadilan/keputusan pengadilan) (Zainal Asikin, 2012 : 128).
Dianutnya yurisprudensi, stare
decisis, dan adversary system pada sistem hukum common law dilandasi
oleh beberapa alasan. Pertama dianutnya yurisprudensi sebagai sumber hukum yang
utama merupakan prosuk dari perkembangan hukum Inggris yang tidak terpengaruh
hukum Romawi. Adapun alasan dipergunakannya hukum Romawi ada dua hal, yaitu:
- Alasan psikologis dimana setiap penegak hukum yang ditugasi menyelesaikan masalah hukum sedapat mungkin mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk pada putusan yang telah ada sebelumnya daripada memberikan putusan lain yang mungkin akan menimbulkan polemik dan penolakan.
- Alasan praktis adalah diharapkan adanya putusan yang seragam demi tercapainya suatu kepastian hukum daripada adanya putusan yang berbeda-beda atas suatu kasus yang sama atau mirip.
Kedua, dianutnya prinsip stare
decisis yaitu hakim terikat mengikuti putusan terdahulu yang telah ia
putuskan atau telah diputuskan oleh pengadilan lain yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Konsekuensi dari
prinsip ini terdapat hierarki pengadilan yang bersifat kaku dimana hakim yang
lebih rendah harus mengakui keputusan hakim yang lebih tinggi untuk kasus yang
sama.
Ketiga, prinsip adversary
system mengharuskan kedua belah pihak (Penggugat maupun Tergugat dalam
Perkara Perdata) atau Jaksa dan Pengacara dalam perkara pidana benar-benar
harus mampu menampilkan kemampuannya meyakinkan juri dengan alat-alat bukti
yang dimilikinya untuk memenangkan perkara. Para pembela dan jaksa seolah-olah
bersandiwara bagaikan pemain sinetron untuk meyakinkan juri di depan hakim.
Hakim dalam persidangan
layaknya sebagai seorang wasit dalam pertandingan olahraga yang hanya mengatur
jalannya pertandingan, dan hakim tidak menyatakan siapa yang salah dan siapa
yang menang. Putusan benar dan salah, menang dan kalah diserahkan sepenuhnya
pada juri, dan selanjutnya tinggal memutuskan hukuman atas orang yang kalah
sesuai dengan yurisprudensi sebelumnya.
Baca Juga
Secara lebih terinci Peter de
Cruz (Zainal Asikin, 2012 : 129-130) menjelaskan karakter sistem hukum common
law sebagai berikut:
- Hukum dalam sistem common law dilandasi oleh perkara atau berbasis perkara yang diselesaikan melalului penalaran logis;
- Hukum dilandasi oleh doktrin preseden yang hierarkis;
- Sumber hukum pada umumnya adalah undang-undang dan kasus (perkara);
- Gaya hukumnya lebih khusus dan banyak mengandalkan improvisasi serta pragmatis;
- Tidak ada perbedaan antara hukum publik dan privat.
Penermimaan Hukum Inggris di
Singapura sendiri terjadi dengan dikeluarkannya Charter of Justice (Piagam
Keadilan) yang ketiga pada 1855, piagam tersebut tidak dipandang sebagai
pengenalan kembali hukum Inggris seperti keadannya waktu itu. Tidak seperti
piagam yang kedua yang dikeluarkan pada 1826, yang membentuk sebuah pengadilan
baru bagi Singapura, piagam III dikeluarkan untuk mengatur kembali struktur
pengadilan yang sudah ada. Sehingga Piagam Keadilan II tahun 1826 Singapura
menerima:
- Sebuah sistem peradilan yang didasarkan pada struktur Inggris yang berlaku saat itu
- Sebagai akibat dari interpretasi yudisial terhadap bahasa dari Piagam Keadilan II 1826, ia menerima hukum Inggris seperti yang berlaku di Inggris sejak tanggal dikeluarkannya Piagam tersebut, yakni 27 November 1826.
Sehingga,
semua undang-undang Inggris yang dikeluarkan sejak tanggal tersebut tidak bisa
diaplikasikan di Singapura. Mungkin saja, disana tidak ada poin „yang
dihilangkan‟, tetapi masalahnya tetap belum bisa diselesaikan secara definitif.
Penerimaan ganda ini dikenal sebagai „penerimaan hukum Inggris secara umum‟.
Oleh sebab itu pondasi-pondasi dari sistem hukum Singapura yang baru lahir
tersebut telah diletakkan, yang menempatkannya secara jelas di dalam kerabat
atau tradisi common law Inggris.
Application
of English Law Act 1993
(AELA) (Undang-undang penerapan Hukum Inggris) menyatakan (pada daftar yang
terdapat di dalam skedul tambahannya) undang-undang Inggris yang terus
diaplikasikan di Singapura, dan common law Inggris (termasuk
prinsip-prinsip dan peraturan pertimbangan keadilan), yang berlaku sebelum
ditetapkannya undang-undang tahun 1993 akan terus diberlakukan dan merupakan
bagian dari hukum Singapura (Peter De Cruz, 2012 : 175-176).