Tujuan Golput
Friday, 6 January 2017
SUDUT HUKUM | Bagi pendukung golput, perilaku
tidak memilih bagian dari tindakan yang memiliki pesan. Karenanya
golput bukan tanpa tujuan, golput menjadi alat protes politik yang tidak
sempat tersuarakan, akumulasi kekecewaan dan ketidak percayaan terhadap
realitas politik yang dilihat kemudian disalurkan melalui sikap apatis terhadap
pemilu.
Sebab
itu, melihat golput harus dapat mengkontekstualisasikan dengan
keadaan dan realitas yang berkembang. Interpretasi perilaku politik tidak
dapat diserahkan pada penjelasan teoritis semata. Namun juga harus
diletakkan pada logika pendukung golput itu sendiri untuk menangkap makna dan
subtansi: pesan apa yang hendak disampaikan kepada publik atas
pilihan politiknya untuk tidak memilih.
Sebagian pemilih tidak
menggunakan haknya hanya untuk menunjukkan sekedar rasa malasnya. Malas
berdasarkan kesadarannya bahwa politik tidak dapat menjamin
perbaikan hidupnya. Hidup dan mati mereka tidak bisa ditentukan oleh hasil
pemilu. Terlebih pemilu dan politik cendrung diwarnai oleh pertikaian
kepentingan sesaat. Sebagian yang lain tidak menggunakan hak pilihnya untuk
menunjukkan ketidak sukaannya dengan sistem politik yang dibangun,
pemerintahan yang sedang berkuasa, tiadanya rasa amanah pemimpin yang sedang
berkuasa, carut-marutnya supremasi hukum dan semacamnya. Sebagian
lainnya juga melakukan golput untuk mengutarakan kegusarannya atas
perilaku elit politik yang tak sesuai dengan janji-janji saat pemilu.
Maka perilaku golput sejujurnya
secara umum dimaksudkan sebagai simbol protes atas sistem yang
tidak adil, sistem yang hanya menguatkan posisi kelompok minoritas (elit)
dan mengabaikan subtansi demokrasi yang bertujuan membangun peradaban
masyarakat yang lebih baik. Yang terpenting lagi adalah golput ditujukan pada
tiadanya amanah dari elit dan pemimpin bangsa dalam menjalankan roda
kekuasaannya. Protes tersebut ditujukan pada pemerintah yang korup dan tidak
akuntabel. Maka kondisi demikian menyebabkan ketidak percayaan
masyarakat luas.
Sistem politik yang dikembangkan
pemerintah sejak orde baru hingga orde reformasi ini dinilai tidak
mampu membangun demokrasi yang sehat, baik pada tingkat elit maupun
pada wilayah massa. Praktek kongkalikong, kolusi dan nepotisme cermin yang
terang akan fakta dan realitas politik yang ada akibat elit politik yang
memegang etika dan tanggung jawab atas kekuasaan yang diraihnya.
Parlemen yang seharusnya konsisten dengan fungsinya, juga ikut ambil bagian
dari cerita buram ini. Inilah bentuk ketidak jelasan sistem yang dijalankan
dan melahirkan anak ideologis yang disebut golongan putih (golput).
Pendukung golput tidak hanya
berasal dari satu garis partai, melainkan seluruh partai dan organ-organ
sosial. Semuanya melihat dengan jelas betapa massif retorika politik yang
dibangun untuk mengelabui rakyat. Karenanya parlemen dan pemerintah dinilai
penyebab lahirnya diskriminasi sosial, politik, ekonomi, hukum dan
budaya di negara ini.
Golput pada pemilu 2004 dan 2009
juga ditujukan sebagai reaksi pada sistem pemilu yang amburadul,
mulai dari pendataan hak pilih, ketentuan partai politik sebagai peserta,
dan mekanisme penentuan caleg, yang semuanya dinilai masih tidak
mencerminkan kemauan rakyat. Terlebih pemilu 2004 juga tidak bisa
menjanjikan perubahan, lebih ironis lagi sistem pemilu 2004 dinilai mengalami
kemunduran dari pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Gerakan golput yang sempat
menurun pada pemilu 1999, mulai meninggi lagi pada 2004, berbagai
kejanggalan pembuatan UU pemilu di DPR turun menyuburkan golput. Sebab
itu, golput hadir bukan tanpa dasar. Pertama, perumusan UU pemilu
lebih mencari titik temu antar kepentingan elit dari pada subtansi kualitas
pemilu dan demokrasi.
Kedua,
sistem pemilu proporsional diyakini tak akan
menjanjikan apapun. Ketiga, tidak tegasnya ketentuan 30 persen kuota
politisi perempuan, dan keempat, amburadulnya DPT nasional yang terbongkar pada
pilgub Jatim lalu juga menjadi alasan mereka untuk kecewa dan tak
percaya dengan pemilu. Maka tak ayal gerakan golput tak dapat dibendung.