Pengertian Delik Aduan
Friday, 6 January 2017
SUDUT HUKUM | Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) terdapat asas hukum pidana yakni hukum pidana sebagai “hukum
publik” dimana ditentukan bahwa “untuk menuntut sesuatu delik, baik yang
berupa kejahatan maupun pelanggaran, hak untuk melakukan penuntutan itu
diletakkan pada penuntut umum dan pada umumnya permintaan dari pihak
orang yang menderita atau melakukan penuntutan tidak mempunyai
pengaruh terhadap penuntutan ini (Barda Nawawi Arief, 1993 : 127).
Hukum pidana sebagai “hukum
publik” menurut Van Apeldoorn sebagaimana ditulis kembali oleh E. Utrecht
(1994 ; 57), melihat dalam peristiwa pidana (strafbaar feit) suatu
pelanggaran tata tertib hukum (rechtsorde) umum dan tidak melihat dalam peristiwa pidana
itu suatu pelanggaran kepentingan khusus (bijzondere belangen) dari
pada individu. Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat
diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa pidana itu, tetapi
penuntutan tersebut harus dijalankan oleh pemerintah.
Lebih lanjut E. Utrecht
mengemukakan mengapa hukum pidana dikatakan sebagai hukum publik, karena hukum pidana
itu mengatur perhubungan antara individu dengan masyarakat sebagai
masyarakat, hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan juga
hanya dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar
memerlukannya.
Sifat hukum pidana itu ternyata khusus dalam hal sering suatu
tindakan tertentu tetap menjadi peristiwa pidana, biarpun tindakan itu dilakukan
dengan persetujuan yang dikenai akibat tindakan tersebut, dan ternyata dalam hal
umumnya dituntut tidaknya sesuatu peristiwa pidana tidak tergantung pada
kehendak dari yang dirugikan oleh peristiwa pidana itu. Penuntutan suatu peristiwa
pidana terletak dalam tangan suatu alat negara, yaitu dalam tangan kejaksaan
(Utrecht, 1994 ; 58).
Menurut Sianturi (1982 ; 416),
hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini berarti bahwa
kepentingan umum lebih diutamakan. Karenanya penuntutan suatu delik pada
dasarnya dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, tidak tergantung pada
orang-orang yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan juga andaikan
ada keberatan dari penderita, tidak merupakan penghalang bagi usaha penuntutan.
Namun demikian dalam hal ini
terdapat pengecualian dalam adanya suatu tindak pidana (kejahatan) dimana
terhadap beberapa tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan
dari orang yang dirugikan. Karenanya apabila kapada suatu Pengadilan/Mahkamah
diajukan suatu delik aduan tanpa dilengkapi dengan pengaduan(tertulis atau
lisan yang dicatat oleh petugas penerima aduan), harus dinyatakan sebagai tidak
dapat diterima (niet ontvangkelijk verklaard).
Tindak pidana seperti itu disebut
“klacht delicten” yakni sebagai lawan dari apa yang disebut “gewone delicten”
yakni tindak pidana-tindak pidana yang dapat dituntu tanpa diperlukan adanya
suatu pengaduan. Delik-delik yang hanya dapat dituntut apabila ada suatu
pengaduan dari orang yang merasa dirugikan itu di dalam bahasa Belanda disebut “delicten
op klachte vervolgbaar” atau dalam bahasa Jerman disebut juga “antragsdelikte”,
yakni sebagai lawan apa yang disebut “delicten van
ambtswege vervolgbaar” atau delik-delik yang dituntut sesuai dengan jabatan (P.A.F.
Lamintang, 1990 ; 207).
Menurut Memorie Van
Theolichting, disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu
adalah berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu
kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih
besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan
daripada kenyataan, yakni jika penguasa telah tidak ikut campur di dalam kasus
tersebut, sehingga kepentingan apakah seseorang yang telah merugikan itu
perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada
pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan (Barda Nawawi Arief, 1994 ; 209).
Delik-delik pengaduan penuntutan
tergantung daripada orang yang dirugikan. Orang ini menentukan penuntutan,
karena tanpa mengajukan penuntutan, ia dapat mencegah penuntutan. Sebaliknya
apabila ia mengajukan pengajuan, badan penuntut umum tidak berwajib
untuk memberi akibat pada pengaduan yang diajukan. Hal ini disebabkan
karena adanya asas opportuniteit, asas tentang kefaedahan penerapan
undang-undang, yang merupakan dasar daripada tuntutan pidana pada hukum positif, tetap
dipertahankan, sehingga dalam delik-delik pengaduan penguasa yang menuntut,
berhak untuk tidak meneruskan perkara demi kepentingan umum. Pernyataan
yang benar ialah apakah badan penuntut umum, selama belum diajukan
pengaduan, masih berhak untuk mengadakan tindakan-tindakan pengusutan.
Mengenai pengertian dari
pengaduan itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 ; 8)dimuat
pengertian antara lain sebagai berikut:
Mengadukan, mengajukan perkara dan sebagainya (kepada hakim, orang yang berkuasa);……. Pengaduan 1. penyambungan; 2. aduan (hal atau perkara yang diadukan); 3. Proses, perbuatan, cara mengadu 4. Ungkapan rasa tidak senang atau tidak puas akan hal-hal yang tidak begitu penting, tetapi perlu diperhatikan”.
Melihat pengertian dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia tersebut, nampak persepsi tentang “pengaduan”
masih belum jelas, masih kabur bahkan pengertian “mengajukan perkara dan
sebagainya” bukan membuat pengertian “pengaduan” semakin jelas. Menurut Mr. M.H.
Tirtamidjaja (1997 ; 89), sebagaimana dikemukakan dalam bukunnya Leden
Marpuang, diutarakan antara lain : “Suatu pengaduan adalah suatu
pernyataan tegas dari orang yang berhak untuk mengadu bahwa ia
menghendaki penuntutan orang yang telah melakukan pelanggaran pidana itu”.
Pendapat Mr. M.H. Tirtamidjaja
tersebut, memang telah dapat membentuk pengertian tentang “pengaduan”
tetapi belum tepat betul karena pernyataan tersebut belum jelas apakah lisan
atau tertulis. Jika tidak berbentuk tertulis, akan sulit dipergunakan karena tanggal
pengajuan maupun waktu untuk mencabut akan sulit ditentukan. Dengan demikian
maka suatu pengaduan adalah pernyataan tertulis dari orang yang berhak
untuk mengadu bahwa ia menghendaki penuntutan pelaku suatu kejahatan atau
tindak pidana.
Orang yang “mengadu”, jika yang
menderita atau korban kejahatan suatu tindak pidana, sudah dewasa maka tidak menimbulkan
permasalahan karena korban itulah yang berhak mengadu.
Masalah timbul, jika korban suatu tindak pidana aduan, belum dewasa. Hal ini
merupakan bagian dari kebijakan formulasi dalam hal menyangkut tindak pidana yang
dikualifikasikan sebagai delik aduan yang akan dibahas pada bab
selanjutnya.
Pengertian “pengaduan” sebagai
unsur dari tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai delik aduan, maka perlu
dibedakan “pengaduan” dengan “laporan”. Menurut Nico Ngani (1984 ; 28)
perbedaan antara pengaduan dan laporan adalah sebagai berikut:
- Pelaporan dapat diajukan terhadap semua perbuatan pidana, sedang pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan untuk mana adanya pengaduan itu menjadi syarat/unsur.
- Setiap orang dapat melaporkan suatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
- Laporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, pengaduan sebaliknya di dalam kejahatan-kejahatan tertentu merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan.