Alasan-alasan Cerai Gugat Menurut Hukum Islam
Friday, 24 February 2017
SUDUT HUKUM | Fasakh yang disebut juga dengan
cerai gugat pada dasarnya tidak bisa terjadi begitu saja. Kamal muchtar
mengemukakan bahwa alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara fasakh antara lain
adalah:
- Cacat atau penyakit
Yang dimaksud dengan cacat
atau penyakit disini adalah cacat jasmani dan cacat rohani yang tidak dapat
dihilangkan atau dapat dihilangkan tetapi dengan waktu yang lama.
Para ulama berbeda pendapat
mengenai bolah tidaknya perkawinan difasakh karena cacat. Diantaranya Imam
Malik, Syafi’I dan para pengikut keduanya berpendapat bahwa apabila salah
seorang suami isteri manemukan pada diri pasangannya cacat fisik atau mental
yang menghalangi kelangsungan perkawinan, maka salah satu pihak tersebut boleh
memilih untuk bercerai atau melanjutkan perkawinan.
Ibnu Qayyim berpendapat boleh
fasakh dengan cacat apapun bentuknya yang dapat menghilangkan ketenangan,
kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa suami
tidak mempunyai hak fasakh karena suatu cacat yang terdapat pada isteri. Yang
memiliki hak fasakh hanya isteri apabila suaminya impoten.
Adapun mengenai bentuk cacat
yang membolehkan fasakh, para ulama juga berbeda pendapat:
- Imam Malik dan Syafi’i sependapat bahwa penolakan perkawinan dapat terjadi karena empat macam yaitu: gila, lepra, kusta, dan penyakit kelamin yang menghalangi jima’, adakalanya tumbuh tulang atau daging bagi orang perempuan, atau impoten atau terpotong penisnya bagi orang lelaki.
- Imam Abu Hanifa bersama para pengikutnya dan Ats-tsauri berpendapat bahwa orang perempuan tidak dapat ditolak dalam perkawinan kecuali karena dua cacat saja, yaitu tumbuh tulang dan tumbuh daging.
- Suami tidak memberi nafkah
Jumhur ulama’ yang terdiri
dari Imam Malik, Syafi’I, dan Ahmad, berpendapat bahwa hakim boleh menetapkan
putusnya perkawinan karena suami tidak member nafkah kepada isteri, baik karena
memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami menolak memberi nafkah. Sedangkan Imam Abu
Hanifah dan Ats-tsauri berpendapat bahwa kedua suami isteri tidak dipisahkan.
Mereka mengatakan
bahwa isteri harus bersabar dan mengusahakan belanja atas tanggungan suami.
- Meninggalkan tempat kediaman bersama
Mengenai hal ini para ahli fiqih
berbeda pendapat, Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’I berpendapat bahwa
tindakan suami meninggalkan tempat kediaman bersama itu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mengajukan tuntutan percerain kepada hakim karena tidak mempunyai
alasan yang dipertanggung jawabkan. Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad
membolehkan untuk menjadikan tindakan suami itu sebagai alasan untuk bercerai,
sekalipun suami meninggalkan harta yang dapat dijadikan nafkah oleh isterinya.
- Menganiaya berat
Mengenai hal ini ulama berbeda
pendapat diantaranya: Imam Abu Hanifa, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat
bahwa isteri tidak mempunyai hak untuk meminta cerai. Tapi hakim mengancam
suami dan melarangnya menganiaya walaupun dengan menengahi antara keduanya,
sampai suami tidak lagi menganiaya. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa
isteri mempunyai hak untuk memilih apakah ia mau menetap terus bersama suami
itu dan merasa cukup
dengan peringatan hakim terhadap suami, atau ia menuntut cerai. Dalam hal
kedua, kalau suami tidak mai menceraikannya, maka hakim dapat menceraikannya.
- Salah seorang dari suami atau isteri melakukan zina
Dalam surat An-Nur surat 3
disebutkan bahwa orang-orang pezina baik laki-laki maupun perempuan biasanya
kawin dengan orang-orang musyrik. Pernikahan itu haram hukumnya bagi
orang-orang mukmin. Dalam pada itu Rasulullah S.A.W pernah memberi keputusan
perceraian antara orang laki-laki mukmin yang telah kawin dengan perempuan
zina.
- Murtad
Murtad merupakan suatu hal
yang berakibat hukum, yaitu perobohan kedudukan suami isteri dalam perkawinan.
Para imam yang empat sependapat bahwa murtadnya salah seorang suami atau isteri
dapat dijadikan alasan oleh pihak yang lain untuk bercerai.
- Melanggar perjanjian perkawinan
Apabila terjadi pelanggaran
perjanjian seperti dalam kasus ta’liq talaq sisuami meninggalkan isterinya
selama masa tertentu dan tidak memberinya nafkah, sedangkan isterinya tidak
rela dengan kenyataan itu, maka
dalam hal ini siisteri boleh mengajukan permasalahannya kepengadilan untuk
memperoleh putusan perceraian dalam pengadilan.