Sistem Ekonomi di Indonesia
Friday, 24 February 2017
SUDUT HUKUM | Berbicara tentang pembangunan
hukum ekonomi, mau tidak mau kita harus memahami sistem ekonominya.
Terdapat hubungan yang sangat erat dan timbal balik antara sistem hukum dengan
sistem ekonomi. Berkaitan dengan hal ini sebaiknya secara nasional harus
disepakati sistem ekonomi yang digunakan di Indonesia, apa kita akan mengabdi
pada sistem ekonomi kapitalis, yang mengkultuskan pasar bebas, atau
sistem ekonomi Pancasila, yang cenderung berpihak pada ekonomi rakyat8, sebagaimana
telah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Menurut Gregory dan
Stuart, sistem ekonomi
kapitalis ditandai antara lain penguasaan atau
kepemilikan faktor-faktor produksi oleh swasta, sedangkan pembuatan keputusan apa
yang ingin diproduksikan berada di tangan siapa yang memiliki faktor
produksi tersebut.
Keputusan yang dibuat, dipandu oleh mekanisme pasar yang menyediakan
informasi yang diperlukan sementara insentif kebendaan (material incentives)
menjadi motivator utama bagi para pelaku ekonomi. Sistem ini sering
dilawankan dengan sistem sosialisme, yang secara akademik dapat dibagi menjadi 2
(dua), yaitu sosialisme pasar dan sosialisme terencana. Dalam sistem
sosialisme pasar (market socialism) ciri-cirinya adalah kepemilikan faktor produksi oleh
negara dan atau kepemilikan secara kolektif oleh publik.
Keputusan apa yang harus
diproduksikan sudah didesentralisasi dan dibuat berdasarkan kebutuhan yang
bekerja berdasarkan mekanisme pasar. Motivasi para pelaku ekonomi adalah insentif
material dan moral. Sementara itu, sosialisme terencana (planned socialism)
dicirikan oleh kepemilikan negara atas setiap faktor produksi. Apa yang harus
diproduksikan disesuaikan dengan perencanaan pusat dan para pelaku ekonomi terikat
untuk melaksanakan apa yang telah direncanakan oleh pusat tersebut.
Motivasi
para pelaku ekonomi adalah insentif material dan moral. Sistem ekonomi Pancasila,
mempunya faktor dan ciri yang tidak sama sehubungan dengan sistem-sistem
yang sudah diuraikan tadi. Secara normatif, ketentuan Pasal 33 UUD 1945
sering dipahami sebagai sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia.
Pada Pasal 33 ayat (1) misalnya, menyebutkan bahwa perekonomian nasional
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini dapat
dipandang sebagai asas bersam (kolektif) yang bermakna dalam konteks sekarang
yaitu persaudaraan, humanisme, dan kemanusiaan.
Artinya ekonomi
tidak dipandang sebagai wujud sistem persaingan liberal ala Barat, tetapi ada
nuansa moral dan kebersamaannya, sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial. Bentuk
yang ideal terlihat seperti wujud sistem ekonomi pasar sosial (the social market
economy), yang cukup berkembang di negara-negara Erop Barat dan
Skandinavia. Seperti dikatakan oleh Didik J. Rachbini, pasal ini dianggap menjadi dasar
dari ekonomi kerakyatan. Pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), menunjukkan bahwa
negara masih mempunyai peranan dalam perekonomian.
Menurut M. Dawam
Rahardjo11, peranan itu
ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai regulator dan
sebagai aktor. Ayat (2) menekankan peranan negara sebagai aktor yang berupa Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan negara sebagai regulator tidak
dijelaskan dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah “dikuasai” diintepretasikan
sebagai “diatur”, tetapi yang diatur di sini adalah sumber daya alam yang diarahkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal yang kontroversial, dalam pandangan
Dawam Rahardjo, muncul pada norma sebagaimana ayat (4). Ketentuan
ini seharusnya menekankan dipakainya asas “pasar” atau “pasar yang
berkeadilan.” Tapi agaknya istilah “pasar” ditolak dan yang dipakai adalah istilah “efisiensi.”
Sayangnya efisiensi ini dibiarkan tanpa predikat. Efisiensi saja berarti “efisiensi
mikro” yang tidak bisa diterapkan pada level makro.
Karena itu efisiensi
makro diistilah dengan “efisiensi berkeadilan.” Unsur pemikiran liberal lainnya
adalah istilah “kemajuan.” Tetapi kemajuan inipun tidak dibiarkan tanpa penjelasan.
Di sini kemajuan harus diimbangi dengan “kesatuan ekonomi nasional.” Jika
kemajuan hanya terjadi di daerah atau kelompok tertentu saja, maka kemajuan ini
bersifat pincang. Semestinya “kemajuan” yang dikehendaki adalah kemajuan yang
merata di seluruh Indonesia. Jika dicermati, maka keseluruhan norma dalam
Pasal 33 UUD 1945 dewasa ini ternyata tidak dekat dengan ide pasar, efisiensi
atau globalisasi.
Beberapa istilah lebih dekat dengan faham sosial demokrasi,
misalnya, kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan
kemandirian. Nilai-nilai itu muncul sebagai reaksi terhadap perkembangan ekonomi
global. Bahkan di dalam ayat (4) disebut juga “demokrasi ekonomi”. Tetapi
istilah itu sebenarnya sudah ada di dalam UUD 1945 sebelum perubahan, walaupun
sebagai Penjelasan ayat (1) Pasal 33. Istilah itu sebenarnya merupakan penjelasan
terhadap apa yang dimaksud dengan usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan. Secara prinsip, asas inilah yang menjadi substansi utama dari sistem
ekonomi Pancasila.
Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila adalah sebagai
berikut:
- Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial dan moral,
- Ada tekad kuat seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial,
- Ada nasionalisme ekonomi,
- Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional, dan
- Ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.
Berkaitan
dengan hal itu Sri-Edi Swasono menyatakan, membangun ekonomi rakyat memang
memerlukan ‘pemihakan’, suatu sikap ideologis yang memihak untuk
memuliakan kedaulatan rakyat. Namun dalam membangun ekonomi rakyat,
pemihakan bukanlah satu-satunya justifikasi.
Pembangunan ekonomi rakyat memang
merupakan suatu strategi yang tepat untuk mengembangkan perekonomian
nasional: yaitu suatu strategi meningkatkan produktivitas rakyat (rakyat
menjadi asset nasional) dan utilisasi efektif sumber-sumber daya yang tersedia, sebagai suatu
strategi grassroots-based sekaligus resources based. Lebih dari itu,
membangun ekonomi rakyat merupakan salah satu wujud mendasar pelaksanaan
pendekatan partisipatori dan emansipatori yang dituntut oleh paham demokrasi ekonomi13. Keberpihakan
terhadap suatu sistem ekonomi sangat penting karena akan
mempengaruhi kualitas hukum ekonomi yang akan dibangun ke depan.
Dalam hal ini
sistem ekonomi pun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara
positif, agar sistem hukum itu dapat lebih lagi mendukung pembangunan sistem
ekonomi nasional. Selama ini sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi
kapitalis ‘malumalu’ (maksudnya malu-malu diakui oleh pemerintah) sehingga
peraturan perundang-undang bidang ekonomi lebih banyak yang mengabdi pada
konglomerasi dibanding pada rakyat kecil (petani, nelayan, usaha kecil,
dst). Untuk menetapkan sistem ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi Indonesia
memang tidak mudah, karena selama ratusan tahun kita telah mengkonsumsi
sistem hukum ekonomi yang berkualitas liberal atau mengabdi pada kepentingan
negara-negara kapitalis.
Sebenarnya setiap produk peraturan perundang-undangan
bidang ekonomi sudah mencantumkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hukum,
namun demikian pasal-pasal yang ada di dalam perundang-undang tersebut belum
secara konsisten senafas dengan amanat konstitusi. Bahkan tidak jarang
isi pasal-pasalnya justru bertentangan. Pekerjaan besar ke depan bagi pembuat
undang undang adalah bagaimana agar secara konsisten mampu merealisir amanah
konstitusi, misalnya yang berkaitan dengan, ‘Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”, dalam setiap peraturan perundang-undangan
bidang ekonomi.
Dengan adanya ketegasan ini di harapkan pembangunan hukum
ekonomi bisa menghasilkan peraturan perundangundangan bidang ekonomi yang tidak hanya
mengabdi pada pasar bebas dan merespon keingan konglomerat atau
perusahaan-perusahaan transnasional, tapi lebih mengutamakan asas
kekeluargaan (ukhuwah atau brotherhood ) untuk kemakmuran rakyat.