-->

Hukum Progresif di Indonesia

SUDUT HUKUM | Hukum progresif memasukkan prilaku sebagai unsur penting dalam hukum dan lebih khusus lagi dalam penegakkan hukum. Pengalaman bidang hukum di Indonesia masih kental dengan pengalaman hukum dari pada pengalaman prilaku. Proses hukum masih lebih dilihat sebagai proses peraturan dari pada prilaku mereka yang terlibat di situ. Untuk mengatasi stagnasi disarankan agar aspek perilaku dilihat, diperhatikan dan dibicarakan secara sungguh-sungguh tidak kalah dengan perhatian terhadap komponen peraturan. Secara sistem hukum menjadi tidak lengkap apabila komponen dari sistem tersebut hanya terdiri dari peraturan dan institusi dan atau struktur saja. Perilaku menjadi bagian integral dari hukum, sehingga memajukan hukum melibatkan pula tentang bagaimana peran prilaku.

Secara historis dapat dilihat, penegakkan hukum di Indonesia ada beberapa faktor yang menggerakkan semangat penegakkan hukum. Pertama, substansi hukum di Indonesia (undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang) cenderung pasif dan tidak futuristik, dalam arti bahwa substansi-substansi hukum tersebut tertinggal dari dinamika masyarakat yang melahirkan banyak persoalan baru yang sama sekali tidak tersentuh hukum. Hal tersebut merupakan suatu cerminan bahwa hukum positif di Indonesia masih klasik dan tidak visioner.

Hukum Progresif di Indonesia


Kedua, penegakan hukum di Indonesia cenderung permisif dan pasif (lemah) terhadap terdakwa yang notabene punya nama dan struktur kekuasaan yang cukup kuat, baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Salah satu hal yang mengarah pada kondisi tersebut adalah kurang aktifnya jaksa dalam mencari dan mengajukan alat buki untuk menjerat terdakwa di persidangan.

Baca Juga

Sebut saja dalam penanganan kasus-kasus korupsi (selain yang ditangani di Pengadilan Tipikor) yang melibatkan pejabat yang memiliki pengaruh cukup kuat cenderung mendapat hukuman yang sangat ringan dengan kualifikasi kesalahan yang cukup berat.

Berdasar analisis Prof. Surya Jaya, banyaknya terdakwa yang divonis bebas di PN disebabkan karena bukti yang diajukan oleh jaksa tidak cukup kuat sehingga mudah dimentahkan oleh terdakwa. Lebih lanjut, dikatakan bahwa berbeda dengan bukti jaksa, bukti yang diajukan KPK lebih kuat dan minimal melampirkan dua alat bukti, sehingga sangat kecil kemungkinan bagi terdakwa untuk lolos dari jeratan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum tehadap kalangan elite masih jauh dari pemenuhan rasa keadilan masyarakat maupun keadilan hukum nasional.

Kasus lain terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola Liga Champions, sekelompok pedagang sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2×3 meter, melakukan permainan kartu remi. Bukannya menikmati aksi pemain bola, tetapi malah datang petugas polsek menangkap dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,-.

Pertanyaan saat ini adalah mungkinkah paradigma penegakan hukum progresif diterapkan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji terlebih dahulu mengenai dimensi-dimensi perubahan atau pembaharuan hukum nasional. Ismail Saleh mengemukakan bahwa dalam rangka pembaharuan dan pengembangan hukum nasional, terdapat tiga dimensi utama, yaitu:
  • Dimensi Pemeliharaan
Dimensi pemeliharaan adalah dimensi yang berkaitan dengan pemeliharaan (maintenance) tatanan hukum yang telah ada. Pemeliharaan di sini tidak diartikan sebagai mempertahankan tatanan hukum yang ada secara penuh, tetapi mempertahankan tatanan dengan berpijak pada situasi atau kondisi yang sudah berubah. Inilah yang kemudian melahirkan pemahaman dan penerapan hukum secara holistik dalam rangka mencapai nilai-nilai dan tujuan substantif hukum.
  • Dimensi Pembaruan
Aksentuasi dimensi pembaruan adalah peningkatan dan penyempurnaan pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembaruan ini dianut kebijaksanaan bahwa pembangunan hukum nasional disamping pembentukan peraturan-peraturan perundang-perundangan yang baru, dilakukan pula usaha penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang telah ada sesuai dengan konteks dan kebutuhan hukum.
  • Dimensi Penciptaan
Dimensi ini disebut juga dengan dimensi kreatifitas. Perkembangan yang pesat pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang ekonomi yang melahirkan gagasan baru, lembaga baru, dan digitalisasi transaksi keuangan. Hal ini membutuhkan peraturan baru yang berarti bahwa harus diciptakan peraturan perundang-undangan baru yang mengakomodir hal tersebut, sehingga fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dapat terlaksana dengan baik.

Dengan melihat dimensi pembaharuan hukum nasional tersebut, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembaharuan hukum nasional menuju hukum progresif merupakan proses yang sistemik dan berkelanjutan. Penegakan hukum progresif sebagai unit dari sistem hukum progresif sebagai gagasan yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, sangat mungkin diterapkan di Indonesia, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, landasan pemikiran penegakan hukumprogresif sudah mengalami perkembangan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Satjipto Rahardjo, sebagai tokoh yang mencetuskan ide hukum progresif telah menanamkan dasar-dasar sistem hukum modern yang holistik dan berorientasi pada pencapaian tujuan substantif hukum, yaitu keadilan.

Kritik atas model penegakan hukum yang hanya ―mengeja undangundang‖ oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan dengan proposisi filsafati, yaitu penegakan hukum harus dilakukan sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu proses untuk menggali dan menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak dijalankan secara pasif. Lebih lanjut, hukum dalam perspektif hukum progresif merupakan upaya berkesinambungan, kreatif, inovatif, dan berkeadilan. Ufran mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya melibatkan kecerdasan intelektual belaka, melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan kata lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilandasi determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari jalan lain yang berbeda dengan jalan atau cara konvensional.

Kedua, secara faktual riak penegakan hukum progresif telah ada dan mulai dikampanyekan oleh sebagian penegak hukum. Kepolisian misalnya secara massif mengkampanyekan iklan maupun slogan yang esensinya membuat pencitraan positif kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi polisi sebagai mitra dan pelayan masyarakat merupakan upaya sistemik yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus mengembangkan kerja sama yang padu dengan masyarakat dalam menegakkan hukum.

Ketiga, masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh LSM-LSM semakin menunjukkan kepekaannya terhadap upaya penegakan supremasi hukum. Lembaga-lembaga independen seperti ICW, MTI, dan LBH semakin menunjukkan kontribusinya dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia.

Tidak jarang kritik tajam ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap lamban dan tidak serius dalam menangani perkara. Kondisi-kondisi faktual demikian sesungguhnya merupakan aset dalam menghidupkan penegakan hukum yang progresif. Sejatinya, untuk membangun suatu sistem penegakan hukum yang baik diperlukan kerja sama dari semua unsur dalam sistem. Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan roda penegakan hukum secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini pula, penegakan hukum progresif harus dilihat sebagai upaya menyeluruh. Upaya tersebut tidak hanya pada unsur struktur dan kultur hukum, melainkan merangsek ke unsur substansi hukum, terutama hukum formil. Pembaruan aturan-aturan dalam perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan, sehingga esensi penegakan hukum progresif benar-benar dapat dilaksanakan.


101 Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. viii.
77
91 Sacipto Rahardjo, Hukum dan Perilakuop.cit, hlm. 78.
92 Ibid.
93 Ibid.
94 Bahkan data TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesia
Corruption Watch) menyebutkan angka tidak kurang dari 50% terdakwa kasus korupsi yang
ditangani di Pengadilan Negeri divonis bebas.
73

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel