Hukum Progresif di Indonesia
Tuesday, 7 February 2017
SUDUT HUKUM | Hukum progresif memasukkan
prilaku sebagai unsur penting dalam hukum dan lebih khusus lagi dalam
penegakkan hukum. Pengalaman bidang hukum di Indonesia masih kental
dengan pengalaman hukum dari pada pengalaman prilaku. Proses hukum
masih lebih dilihat sebagai proses peraturan dari pada prilaku
mereka yang terlibat di situ. Untuk mengatasi stagnasi disarankan agar aspek
perilaku dilihat, diperhatikan dan dibicarakan secara sungguh-sungguh tidak
kalah dengan perhatian terhadap komponen peraturan. Secara sistem hukum
menjadi tidak lengkap apabila komponen dari sistem tersebut hanya
terdiri dari peraturan dan institusi dan atau struktur saja. Perilaku menjadi bagian
integral dari hukum, sehingga memajukan hukum melibatkan pula tentang
bagaimana peran prilaku.
Secara historis dapat dilihat,
penegakkan hukum di Indonesia ada beberapa faktor yang menggerakkan
semangat penegakkan hukum. Pertama, substansi hukum di
Indonesia (undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang) cenderung
pasif dan tidak futuristik, dalam arti bahwa substansi-substansi hukum
tersebut tertinggal dari dinamika masyarakat yang melahirkan banyak persoalan baru
yang sama sekali tidak tersentuh hukum. Hal tersebut merupakan suatu
cerminan bahwa hukum positif di Indonesia masih klasik dan tidak visioner.
Kedua, penegakan hukum di
Indonesia cenderung permisif dan pasif (lemah) terhadap terdakwa yang
notabene punya nama dan struktur kekuasaan yang cukup kuat, baik
di masyarakat maupun di pemerintahan. Salah satu hal yang mengarah pada
kondisi tersebut adalah kurang aktifnya jaksa dalam mencari dan
mengajukan alat buki untuk menjerat terdakwa di persidangan.
Sebut saja dalam penanganan
kasus-kasus korupsi (selain yang ditangani di Pengadilan Tipikor)
yang melibatkan pejabat yang memiliki pengaruh cukup kuat cenderung
mendapat hukuman yang sangat ringan dengan kualifikasi kesalahan yang
cukup berat.
Berdasar analisis Prof. Surya
Jaya, banyaknya
terdakwa yang divonis bebas di PN disebabkan
karena bukti yang diajukan oleh jaksa tidak cukup kuat sehingga mudah
dimentahkan oleh terdakwa. Lebih lanjut, dikatakan bahwa berbeda dengan
bukti jaksa, bukti yang diajukan KPK lebih kuat dan minimal melampirkan dua
alat bukti, sehingga sangat kecil kemungkinan bagi terdakwa untuk
lolos dari jeratan hukum. Hal
ini menunjukkan bahwa penegakan hukum
tehadap kalangan elite masih jauh dari pemenuhan rasa keadilan
masyarakat maupun keadilan hukum nasional.
Kasus lain terjadi di akhir Mei
2009, dimana untuk menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola
Liga Champions, sekelompok pedagang sayuran keliling yang mengontrak
secara bertetangga kamar ukuran 2×3 meter, melakukan permainan kartu
remi. Bukannya menikmati aksi pemain bola, tetapi malah datang petugas
polsek menangkap dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu,
dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,-.
Pertanyaan saat ini adalah
mungkinkah paradigma penegakan hukum progresif diterapkan di
Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji terlebih dahulu mengenai
dimensi-dimensi perubahan atau pembaharuan hukum nasional.
Ismail Saleh mengemukakan bahwa dalam rangka pembaharuan dan
pengembangan hukum nasional, terdapat tiga dimensi utama, yaitu:
- Dimensi Pemeliharaan
Dimensi pemeliharaan adalah
dimensi yang berkaitan dengan pemeliharaan (maintenance)
tatanan hukum yang telah ada. Pemeliharaan di sini tidak diartikan sebagai
mempertahankan tatanan hukum yang ada secara penuh, tetapi
mempertahankan tatanan dengan berpijak pada situasi atau kondisi yang sudah berubah. Inilah yang
kemudian melahirkan pemahaman dan penerapan hukum
secara holistik dalam rangka mencapai nilai-nilai dan tujuan substantif
hukum.
- Dimensi Pembaruan
Aksentuasi dimensi pembaruan
adalah peningkatan dan penyempurnaan pembangunan hukum nasional. Dalam
konteks pembaruan ini dianut kebijaksanaan bahwa pembangunan
hukum nasional disamping pembentukan peraturan-peraturan
perundang-perundangan yang baru, dilakukan pula usaha
penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang telah ada sesuai dengan konteks
dan kebutuhan hukum.
- Dimensi Penciptaan
Dimensi ini disebut juga dengan
dimensi kreatifitas. Perkembangan yang pesat pada berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan
bernegara, khususnya di bidang ekonomi yang melahirkan gagasan baru,
lembaga baru, dan digitalisasi transaksi keuangan. Hal ini membutuhkan
peraturan baru yang berarti bahwa harus diciptakan peraturan
perundang-undangan baru yang mengakomodir hal tersebut, sehingga fungsi hukum
sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social
engineering)
dapat terlaksana dengan baik.
Dengan melihat dimensi
pembaharuan hukum nasional tersebut, dapat dipahami bahwa pada
dasarnya pembaharuan hukum nasional menuju hukum progresif merupakan proses
yang sistemik dan berkelanjutan. Penegakan hukum progresif sebagai
unit dari sistem hukum progresif sebagai gagasan yang dikembangkan oleh
Satjipto Rahardjo, sangat mungkin diterapkan di Indonesia, paling
tidak karena beberapa hal. Pertama, landasan pemikiran penegakan hukumprogresif sudah mengalami perkembangan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi
hukum. Satjipto Rahardjo, sebagai tokoh yang mencetuskan ide hukum
progresif telah menanamkan dasar-dasar sistem hukum modern yang holistik
dan berorientasi pada pencapaian tujuan substantif hukum, yaitu keadilan.
Kritik atas model penegakan hukum
yang hanya ―mengeja undangundang‖ oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan
dengan proposisi filsafati, yaitu penegakan hukum harus dilakukan
sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu proses untuk menggali dan
menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak dijalankan secara
pasif. Lebih lanjut, hukum dalam perspektif hukum progresif merupakan upaya
berkesinambungan, kreatif, inovatif, dan berkeadilan. Ufran mengemukakan
bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya melibatkan kecerdasan
intelektual belaka, melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional dan
spiritual. Dengan
kata lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilandasi
determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan
disertai dengan keberanian untuk mencari jalan lain yang berbeda dengan
jalan atau cara konvensional.
Kedua, secara faktual riak
penegakan hukum progresif telah ada dan mulai dikampanyekan oleh sebagian
penegak hukum. Kepolisian misalnya secara massif mengkampanyekan
iklan maupun slogan yang esensinya membuat pencitraan positif
kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi polisi sebagai mitra dan pelayan
masyarakat merupakan upaya sistemik yang bertujuan untuk meningkatkan
kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus mengembangkan kerja sama yang
padu dengan masyarakat dalam menegakkan hukum.
Ketiga, masyarakat, dalam hal ini
direpresentasikan oleh LSM-LSM semakin menunjukkan kepekaannya
terhadap upaya penegakan supremasi hukum. Lembaga-lembaga independen
seperti ICW, MTI, dan LBH semakin menunjukkan kontribusinya dalam
mengawal penegakan hukum di Indonesia.
Tidak jarang kritik tajam
ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap lamban dan tidak serius dalam
menangani perkara. Kondisi-kondisi faktual demikian
sesungguhnya merupakan aset dalam menghidupkan penegakan
hukum yang progresif. Sejatinya, untuk membangun suatu sistem penegakan
hukum yang baik diperlukan kerja sama dari semua unsur dalam sistem.
Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan roda penegakan hukum secara
berkelanjutan.
Dalam konteks ini pula, penegakan
hukum progresif harus dilihat sebagai upaya menyeluruh. Upaya
tersebut tidak hanya pada unsur struktur dan kultur hukum, melainkan
merangsek ke unsur substansi hukum, terutama hukum formil. Pembaruan
aturan-aturan dalam perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan, sehingga esensi
penegakan hukum progresif benar-benar dapat dilaksanakan.
101 Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. viii.
77
91 Sacipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, op.cit, hlm. 78.
92 Ibid.
93 Ibid.
94 Bahkan data TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesia
Corruption Watch) menyebutkan angka tidak kurang dari 50% terdakwa kasus korupsi yang
ditangani di Pengadilan Negeri divonis bebas.
73