Landasan Filosofis Hukum Progresif
Monday, 6 February 2017
SUDUT HUKUM | Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan.
Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahankesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum progresif dikembangkan dari wacana menjadi sebuah teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap. Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide Satjipto Rahardjo harus dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius tidak hanya berhenti pada tataran wacana.
Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justru mengalami pengukuhan.
Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu termasuk hukum yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial.
Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang dilakukan di dalam ilmu hukum sehingga kebenarannya bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kemudian landasan aksiologis ilmu hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah.
Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik --dalam istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif—lebih mendominasi bidang hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku – dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal.
Interpretasi atas peraturan perundang-undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual.
Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi.
Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah. Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.
Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori Nilai menurut Runes adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science).
Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity).
Habermas mengatakan bahwa ilmu selalu memiliki kepentingan. Ia menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan.
Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain). Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah, dan lain-lain.
Sayangnya sampai sekarang tidak banyak kalangan yang berminat mempersoalkan akar filosofis dari pemikiran Satjipto Rahardjo. Sebagian orang bahkan memandang pemikiran hukum progresif tidak lebih daripada suatu kiat penemuan hukum (rechtsvinding).
Dalam perspektif konfigurasi aliran-aliran filsafat hukum, Satjipto Rahardjo sebenarnya tidak cukup jelas memposisikan letak pemikirannya. Ia juga memberikan beberapa label untuk pemikiran hukum progresif ini. Misalnya, suatu ketika ia mengatakan bahwa hukum progresif adalah suatu gerakan intelektual. Pada kesempatan lain ia menyebut hukum progresif merupakan suatu paradigma dan konsep mengenai cara berhukum. Bahkan, suatu ketika beliau juga pernah memberi predikat: ilmu hukum progresif.
Dalam satu buku yang ditulis oleh Bernard L. Tanya dkk. dan diberi kata sambutan oleh Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum progresif ini juga diposisikan sebagai suatu teori hukum dan tampaknya Satjipto Rahardjo pun tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan dengan pengklasifikasian ini. Teori beliau ditempatkan bersama-sama dengan teori hukum responsif dari Nonet dan Selznick sebagai kelompok teori hukum pada masa transisi.
Rujukan:
- Rizal Mustansyir dalam Hukum Progresif Tinjauan Filsafat Ilmu. Makalah diunduh pada tanggal 12 Februari 2011 di progresiflshp.com.
- Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Boston:.Beacon Press, 1971,
- Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009,
- Satya Arinanto & Ninuk Triyanto, ed., Memahami Hukum: dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009,