Landasan dan Kedudukan KHI
Monday, 13 February 2017
SUDUT HUKUM | Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan KHI
di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991. Instruksi presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama. Ini adalah merupakan
Instruksi dari Presiden RI kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang sudah
disepakati tersebut. Diktum keputusan ini menyatakan:
Pertama:
Menyebarluaskan KHI, yang terdiri dari:
- Buku I tentang Hukum Perkawinan
- Buku II tentang Hukum Kewarisan
- Buku III tentang Hukum Perwakafan
Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama
Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1998 untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakatnya yang
memerlukannya. Kedua:
Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggungjawab.
Sedangkan konsideran instruksi tersebut menyatakan:
- Bahwa ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari tahun 1998 telah menerima baik rancangan Buku KHI, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang HukumKewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan;
- Bahwa KHI tersebut dalam huruf “a” oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut;
- Bahwa oleh karena itu KHI tersebut dalam huruf “a” perlu disebarluaskan.
Dalam konsideran secara tersirat hal ini telah ada dan
disebutkan bahwa Kompilasi ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam
penyelesaian segala masalah di bidang-bidang yang telah diatur, yaitu bidang
hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, oleh Instansi Pemerintah serta
masyarakat yang memerlukannya. Berdasarkan penegasan tersebut, maka
kedudukan kompilasi ini boleh dibilang hanyalah sebagai “pedoman” atau berarti dapat digunakan sebagai pedoman.
Sehingga, terkesan dalam hal ini kompilasi tidak
mengikat, artinya bahwa para pihak atau instansi dapat memakainya dan dapat
tidak memakainya. Hal ini, tentu saja tidak sesuai dengan apa yang menjadi
latar belakang dari penetapan kompilasi ini. Oleh karena itu, menurut
Abdurrahman bahwa pengertian sebagai pedoman di sini, harus bermakna sebagai tuntutan
atau petunjuk yang memang harus dipakai baik oleh Pengadilan Agama maupun
masyarakat dalam menyelesaikan sengketa mereka di bidang tertentu.
Adapun yang menjadi dasar dan landasan lebih lanjut dari
kompilasi ini adalah keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal
22 Juli 1991 No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1991. Dalam diktumnya pada bagian kedua berkaitan dengan
kedudukan KHI yang intinya agar supaya seluruh lingkungan Instansi
(dalam kasus ini terutama sekali yang dimaksud tentunya adalah Instansi Peradilan
Agama) agar “sedapat mungkin menerapkan KHI tersebut di samping peraturan
perundang-undangan lainnya”.
Kata “sedapat mungkin” dalam keputusan Menteri Agama ini
kiranya mempunyai keterkaitan yang cukup erat dengan kata-kata “dapat digunakan” dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, sebagaimana
telah dikemukakan di atas harus diartikan bukan dalam artian kompilasi hanya dipakai
kalau keadaan memungkinkan, akan tetapi sebagai suatu anjuran untuk
lebih menggunakan kompilasi ini dalam penyelesaian sengketa-sengketa
tertentu yang ada dan terjadi di kalangan ummat Islam.
Selain itu, kata yang digunakan kemudian adalah “di samping” peraturan perundang-undangan. Hal ini, menunjukkan adanya
kesederajatan kompilasi ini dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai
perkawinan dan perwakafan yang sekarang berlaku dan dengan ketentuan
perundangan kewarisan yang nantinya akan ditetapkan berlaku bagi ummat Islam
untuk menyelesaikan berbagai
permasalahannya yang berkaitan di dalamnya.