Sejarah Perkembangan Kontrak Karya
Friday, 10 February 2017
SUDUT HUKUM | Sistem kontrak dalam dunia
pertambangan Indonesia telah dikenal sejak masa penjajahan Hindia Belanda,
khususnya ketika mineral dan logam mulai menjadi komoditas yang menggiurkan.
Melalui Indische Mijnwet 1899, Hindia Belanda mendeklarasikan penguasaan
mereka atas mineral dan logam di perut bumi Nusantara. Sejak saat itu,
perbaikan kebijakan dilakukan, antara lain tahun 1910 dan 1918, juga dilengkapi
dengan Mijnordonnantie (Ordonansi Pertambangan) pada tahun 1906.
Perbaikan pada 1910 menambahkan pula Pasal 5a Indische Mijnwet, yang
menjadi dasar bagi perjanjian yang sering disebut “5a contract”. Inti
ketentuan Pasal 5a Indische Mijnwet (IMW) adalah sebagai berikut:
- Pemerintah Hindia Belanda mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan eksploitasi.
- Penyelidikan dan eksploitasi itu dapat dilakukan sendiri dan mengadakan kontrak dengan perusahaan minyak dalam bentuk kontrak 5a atau lazim disebut dengan sistem konsesi.
Sistem konsesi merupakan sistem
di mana di dalam pengelolaan pertambangan umum kepada perusahaan pertambangan
tidak hanya diberikan kuasa pertambangan, tetapi diberikan hak menguasai hak
atas tanah. Jadi, hak yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan adalah kuasa
pertambangan dan hak atas tanah.
Perbedaan
antara konsesi dan kontrak karya adalah dalam sistem konsesi, kontraktor
diberikan keleluasaan untuk mengelola minyak dan gas bumi, mulai dari
eksplorasi, produksi hingga penjualan minyak dan gas bumi. Pemerintah sama
sekali tidak terlibat di dalam manajemen operasi pertambangan, termasuk dalam
menjual minyak bumi yang dihasilkan. Jika berhasil, kontraktor hanya membayar
royalti, sejumlah pajak dan bonus kepada Pemerintah. Dalam Indische Mijnwet (1899),
royalti kepada Pemerintah ditetapkan sebesar 4 persen dari produksi kotor dan
kontraktor diwajibkan membayar pajak tanah untuk setiap hektar lahan konsesi.
Prinsip-prinsip kerjasama di
dalam sistem konsesi secara umum adalah sebagai berikut. Pertama, kepemilikan
sumber daya minyak dan gas bumi dihasilkan berada di tangan kontraktor (mineral
right). Kedua, kontraktor diberi wewenang penuh dalam mengelola operasi
pertambangan (mining right). Ketiga, dalam batas-batas tertentu,
kepemilikan aset berada di tangan kontraktor. Ke empat, negara mendapatkan
sejumlah royalti yang dihitung dari pendapatan kotor. Kelima, kontraktor
diwajibkan membayar pajak tanah dan pajak penghasilan dari penghasilan bersih,
sedangkan kontrak karya (contract of work) diterapkan dengan terbitnya
UU No 37 Prp tahun 1960 tentang Pertambangan, sekaligus mengakhiri berlakunya Indische
Mijnwet (1899). Tidak seperti model konsesi, model kontrak karya ini hanya
berlaku dalam periode yang relatif singkat, antara tahun 1960 – 1963. Dalam
kontrak karya, kontraktor diberi kuasa pertambangan, tetapi
tidak memiliki hak atas tanah permukaan. Prinsip kerjasamanya adalah profit
sharing, atau pembagian keuntungan antara Pemerintah dan kontraktor.
Kontrak karya sedikitnya memuat
lima ketentuan pokok. Pertama, setiap perusahaan minyak harus bertindak menjadi
salah satu kontraktor perusahaan negara: Pertamina dan Permigan. Kontraktor
yang sebelumnya tunduk pada sistem konsesi sebagaimana diatur dalam Indische
Mijnwet (1899) harus melepaskan hak konsesinya. Kedua, perusahaan yang
sudah beroperasi sebelumnya diberikan masa kontrak dua puluh tahun untuk
melanjutkan eksploitasi di daerah konsesi yang lama. Mereka juga diberikan ijin
untuk menyelidiki dan mengembangkan daerah baru yang berdampingan dengan daerah
konsesi yang lama, dengan jangka waktu kontrak tiga puluh tahun. Ketiga,
fasilitas pemasaran dan distribusi diserahkan kepada perusahaan negara yang
mengontrak dalam jangka waktu lima tahun dengan harga yang telah disetujui
bersama.
Perusahaan asing setuju menyerahkan hasil minyak kepada organisasi
distribusi dengan harga pokok ditambah US$ 0,1 per barel. Keempat, fasilitas
kilang akan diserahkan kepada Indonesia dalam waktu sepuluh sampai lima belas
tahun dengan nilai yang disetujui bersama. Perusahaan asing bersedia memasok
minyak mentah untuk kilang-kilang tersebut dengan harga dasar pokok ditambah
US$ 0,2 per barel untuk jangka waktu tertentu dan dalam jumlah hingga 25 persen
dari minyak mentah lapangan minyak di Indonesia. Kelima, split antara
Pemerintah dan kontraktor asing sebesar 60:40. Pemerintah akan menerima
minimal
20 persen dari pendapatan kotor minyak yang dihasilkan setiap tahun oleh
kontraktor asing.
Pada awal kemerdekaan Indonesia hingga akhir kekuasaan
Orde Lama, sistem kontrak pertambangan tidak berkembang. Bahkan pemerintah
Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi modal asing sehingga membatalkan
semua kontrak pertambangan yang pernah ada. Pada masa pemerintahan Soeharto,
kontrak karya di bidang pertambangan umum mengalami perkembangan yang cukup significant.
Investasi di bidang pertambangan dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Empat bulan setelah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diundangkan
bulan Januari 1967, pemerintah pada bulan April menandatangani kontrak
pertambangan pertama dengan Freeport McMoran dari Amerika. Kontrak tersebut
dikenal dengan sebutan kontrak karya generasi I. Akibatnya warna Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sangat
kental dipengaruhi oleh kepentingan investor asing. Pasal 8 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyatakan dengan eksplisit bahwa:
“penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan atas suatu kerja sama
dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan disebut dengan eksplisit bahwa: “menteri dapat menunjuk pihak lain
sebagai kontraktor untuk pekerjaan yang belum mampu dikerjakan sendiri.
Pemerintah mengawasi pekerjaan tersebut sedangkan perjanjiannya harus disetujui
dahulu oleh pemerintah dengan berkonsultasi dengan DPR”.
Model awal kontrak karya
bukanlah konsep yang dirancang Pemerintah Indonesia, melainkan hasil rancangan
PT Freeport Indonesia. Awalnya Menteri Pertambangan Indonesia menawarkan kepada
Freeport konsep “bagi hasil” berdasarkan petunjuk pelaksanaan kontrak
perminyakan asing yang disiapkan pada waktu Pemerintahan Soekarno. Freeport
menyatakan kontrak seperti itu hanya menarik untuk perminyakan yang dapat menghasilkan
dengan cepat, tetapi tidak untuk pertambangan tembaga yang memerlukan investasi
besar dan waktu lama untuk sampai pada tahap produksi. Ahli hukum, Freeport Bob
Duke, menyiapkan sebuah dokumen yang didasarkan pada model “kontrak karya” yang
pernah digunakan Indonesia sebelum diberlakukan “kontrak bagi hasil”.
Secara singkat kontrak karya
mengambil jalan tengah antara model konsesi pada zaman kolonial Belanda di mana
kontraktor asing mendapat hak penuh terhadap mineral dan tanah, dengan model
kontrak bagi hasil di mana negara
tuan rumah langsung mendapatkan hak atas perlatan dan prasarana dan dalam waktu
singkat seluruh operasi menjadi milik negara. Sejak Tahun 1967, kontrak karya
yang dikenal pengusaha asing sebagai contract of work mengalami
perubahan. Setiap perubahan dijadikan dasar sebutan bagi generasi kontrak.Oleh
karena itu, dikenal kontrak karya generasi I hingga generasi VII. Padahal tidak
ada perbedaan mendasar antara generasi I dengan lainnya kecuali kewajiban
keuangan yang harus dipenuhi pada pemerintah.