Tinjauan tentang Pengalihan Hak Atas Tanah
Wednesday, 1 February 2017
SUDUT HUKUM | Pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati
dengan pihak lain selain Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan
untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
Ada 2 (dua) cara dalam
mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni:
- Dengan pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini berarti ada pihak yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain yang mendapatkan suatu hak milik.
- Terjadinya hak milik sesuai dengan Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pada Pasal 22, yaitu:
- Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik tesebut, diawali dengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Desa. Dengan dibukanya tanah tesebut, belum berarti orang tersebut langsung memperoleh hak milik. Hak milik akan dapat tercipta jika orang tersebut memanfaatkan tanah yang telah dibukanya, menanami dan memelihara tanah tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Dari sinilah hak milik dapat tercipta, yang sekarang diakui sebagai hak milik menurut UUPA. Terjadinya hak milik dengan cara ini memerlukan waktu yang cukup lama dan tentunya memerlukan penegasan yang berupa pengakuan dari pemerintah.
- Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah, yaitu yang diberikan oleh pemerintah dengan suatu penetapan menurut cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berarti pemerintah memberikan hak milik yang baru sama sekali. Pemerintah juga dapat memberikan hak milik berdasarkan perubahan dari suatu hak yang sudah ada. Misalnya dengan peningkatan dari Hak Guna Usaha menjadi Hak Milik, Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadi Hak Milik.
Pemindahan hak atas tanah adalah
perbuatan hukum untuk memindahkan hak atas tanah kapada pihak lain.
Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang akan menguasai tanah memenuhi
persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang tersedia, dan pemegang hak atas
tanah tersebut bersedia untuk memindahkan haknya.
Secara khusus Herman Soesangobeng
mengatakan falsafah kepemilikan atas tanah dalam hukum adat, hakekat
dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan tanah dan alamnya dan bukan pada
hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan hubungan yang melahirkan
kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui proses intensitas hubungan antara
manusia dengan tanah tidak dari keputusan pejabat. Dalam filosofi
adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan mudah berubah sesuai dengan perubahan
yang terjadi dalam masyarakat, sehingga hak sesuatu yang tidak mutlak.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati
dengan pihak lain selain Pemerintah; Penjualan, tukarmenukar, pelepasan hak, penyerahan hak
atau cara lain yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus; Penjualan, tukarmenukar, pelepasan hak, penyerahan hak
atau cara lain kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Konsep hak-hak atas tanah yang
terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam
dua bentuk, yaitu:
- Hak-hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak-hak atas tanah yang
dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum
yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau
ahliwarisnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (lebih lanjut disingkat dengan UUPA) terdapat beberapa
hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu:
- Hak Milik atas tanah.
- Hak Guna Usaha.
- Hak Guna Bangunan.
- Hak Pakai.
- Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder
Yaitu hak-hak atas tanah yang
bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara, karena hak-hak
tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hak
atas tanah yang bersifat sementara dapat dialihkan kapan saja si pemilik
berkehendak. Terhadap beberapa hak, hak atas tanah yang bersifat sementara memiliki
jangka waktu yang terbatas, seperti Hak Gadai dan Hak Usaha bagi hasil. Kepemilikan
terhadap hak atas tanah hanya bersifat sementara saja.
Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara, yaitu:
- Hak Gadai.
- Hak Usaha Bagi Hasil.
- Hak Menumpang.
- Hak Menyewa atas Tanah Pertanian.
Tata cara memperoleh hak atas
tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah sebagai berikut:
- Permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika tanah yang diperlukan berstatus Tanah Negara.
- Pemindahan Hak, jika:
- Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak ;
- Pihak yang memerlukan tanah boleh memiliki hak yang sudah ada ;
- Pemilik bersedia menyerahkan tanah.
- Pelepasan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika:
- Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat;
- Pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang sudah ada;
- Pemilik bersedia menyerahkan tanahnya.
- Pencabutan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika:
- Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak;
- Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya;
- Tanah tersebut diperuntukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
Dalam sistem KUHPerdata maupun
dalam sistem UUPA kita kenal adanya pengalihan sebagai salah satu
cara untuk memperoleh hak milik. Pengalihan ini adalah salah satu kewajiban para
pihak dalam suatu peristiwa hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atas
suatu barang yang dilakukan diantara mereka. Seperti yang telah dikemukakan
bahwa di dalam KUHPerdata yaitu pada Pasal 584 KUHPerdata dinyatakan
bahwa ada lima cara untuk memperoleh hak milik atas suatu kebendaan. Kelima cara
tersebut antara lain adalah:
- Pendakuan (toeegening)
Pendakuan ini dilakukan terhadap
barang-barang yang bergerak yang belum ada pemiliknya (res nullius).
Contoh dari pendakuan ini yaitu yang terdapat di dalam Pasal 585 KUHPerdata yaitu
pendakuan dari ikan-ikan di sungai, binatangbinatang liar di hutan dan lain-lain.
- Ikutan (natrekking).
Hal ini diatur dalam Pasal 588 –
Pasal 605 KUHPerdata. Yaitu cara memperoleh benda karena benda itu
mengikuti benda yang yang lain. Contoh dari natrekking ini adalah:
hak-hak atas tanaman, hak itu mengikuti tanah yang sudah menjadi milik orang lain.
- Lampaunya waktu(Verjaring).
Yaitu cara memperoleh hak milik
atas suatu kebendaan karena lampaunya waktu. Artinya pemilik yang lama
dari benda tersebut tidak berhak lagi atas benda tersebut karena jangka waktu
kepemilikannya telah lewat waktu oleh hukum. hal ini diatur dalam Pasal 610
KUHPerdata dan diatur lebih lanjut dalam buku keempat KUHPerdata.
- Pewarisan (erfopvolging)
Yaitu cara memperoleh hak milik
atas suatu benda tidak bergerak karena terluangnya atau jatuhnya warisan
terhadap seseorang sehingga ia berhak atas benda tersebut.
- Pengalihan Dan Penyerahan (levering).
Ini adalah cara untuk memperoleh
hak milik yang paling penting dan paling sering terjadi di masyarakat.
Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan dengan cara mengalihkan
hak milik atas suatu kebendaan dari pemilik yang lama kepemilik yang baru.
Pasal 20 ayat 2 UUPA menyebutkan
bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dengan kata lain, sifat milik pribadi ini walau dibatasi oleh ketentuan Pasal 6 UUPA dapat
dioperkan hanya kepada orang lain dengan hak yang sama.
Umpamanya jika menjual,
menghibah, tukar menukar, mewariskan, ataupun memperoleh hak karena
perkawinan/kesatuan harta benda, maka hak atas tanah yang semula hak milik tetap akan
menjadi hak milik. Hak milik adalah: “Hak turun temurun, artinya hak itu dapat
diwariskan berturut-turut tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun hak itu
menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika terjadi perpindahan tangan.
Hak milik merupakan hak yang
terkuat dan terpenuh, namun hal ini berbeda dengan hak eeigendom vide
Pasal 571 KUHPerdata, di mana dikatakan bahwa hak milik tersebut mutlak tidak dapat
diganggu gugat. Hak milik menurut UUPA mengandung arti bahwa hak ini
merupakan hak yang terkuat, jika dibandingkan dengan hak-hak atas tanah
lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan lain-lain.
Luasnya hak milik juga meliputi
tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada di atasnya, sebagai suatu
penjelmaan dari ciri-ciri khas hukum adat yang menjadi dasar hukum Agraria Nasional.
Mengenai pertambangan diatur sendiri, yang artinya bahwa untuk melakukan
pertambangan di bumi memerlukan suatu izin khusus yang dinamakan kuasa pertambangan.
Dengan demikian hak milik ini masih ada pembatasannya, meskipun dikatakan
meliputi seluruh bumi dengan isinya.
Dalam pengalihan hak milik yang
merupakan pelaksanaan dari perikatan yang dimaksud, timbul persoalan apakah
antara perbuatan hukum lanjutan tersebut dan hubungan hukum yang menjadi
dasarnya atau dengan kata lain apakah pengalihan itu tergantung pada alas haknya
ataukah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya. Hubungan antara pengalihan dengan
alas haknya ada dua ajaran yaitu ajaran abstrak dan ajaran kausal (sebab
akibat). Baik ajaran abstrak maupun ajaran kausal sama-sama, menekankan bahwa
sahnya suatu pengalihan bertujuan untuk mengalihkan hak milik tersebut
tergantung pada alas haknya harus tegas dinyatakan, sedangkan menurut ajaran abstrak,
maka penyerahan itu tidak perlu adanya titel yang nyata, cukup ada alas hak atau
titel anggapan saja.
Dari uraian di atas, terlihat
hubungan jelas antara perjanjian obligatoir dari perbuatan hukum yang bertujuan
untuk mengalihkan hak milik atau benda tidak bergerak dengan balik nama yang
merupakan pengalihan hak milik itu sendiri. Ditegaskan oleh R. Subekti,
bahwa: menurut pendapat yang lazim dianut oleh para ahli hukum dan hakim, dalam
KUHPerdata berlaku apa yang dinamakan “kausal stelsel” di mana memang sah
tidaknya suatu pemindahan hak milik tergantung sah tidaknya perjanjian obligatoir”.
Berdasarkan uraian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa sahnya atau tidaknya suatu balik nama
tergantung pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir yang menimbulkan hak dan
kewajiban untuk menurut dan melaksanakan isi perjanjian yang berupa pengalihan
hak milik atas benda tidak bergerak tersebut. Di atas telah disebutkan bahwa sah
tidaknya suatu balik nama adalah tergantung pada sah tidaknya perjanjian obligatoir,
dengan demikian sah atau tidaknya perjanjian obligatoir yang menyebabkan
timbulnya suatu kewajiban untuk mengalihkan suatu kepemilikan benda tidak bergerak,
adalah merupakan syarat sahnya balik nama.
Selanjutnya untuk mengetahui
sahnya perjanjian obligatoir, maka harus diketahui pula tentang sah atau tidaknya
perbuatan-perbuatan hukum yang menyebabkan timbulnya kewajiban untuk
mengalihkan benda tidak bergerak yang merupakan objek dari perbuatan hukum tersebut.
Jual beli, tukar menukar maupun penghibahan, adalah merupakan suatu perbuatan hukum
yang disebut perjanjian atau dengan istilah lain “perikatan” dan oleh karena itu
untuk sahnya suatu perbuatan hukum tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.