Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat
Monday, 13 February 2017
SUDUT HUKUM | Sejalan dengan diskusi tentang wasiat wajibah, yang telah
memenuhi para ahli hukum Islam di beberapa negara antara lain; Mesir,
Syiria, Maroko, Tunisia, dan Pakistan. Indonesia telah peran proaktif dalam
hal reformasi hukum ini dengan melahirkan peraturan yang berbeda dengan
negara-negara Islam yang lain. Keputusan yang diambil dalam hal kerabat dekat yang
menerima bagian warisan lewat wasiat wajibah dapat dipandang sebagai bentuk
keputusan yang sepenuhnya berkarakter Indonesia.
Waktu diadakan wawancara dengan kalangan ulama yang ada di
seluruh Indonesia pada saat pengumpulan bahan-bahan KHI, tidak
seorang ulama pun dari ulama tersebut yang dapat menerima penerapan status anak
angkat menjadi ahli waris.
Bertolak dari sikap reaktif dari para ulama tersebut,
perumusan KHI menyadari tidak perlu melangkah membelakangi ijma’ ulama. Hingga kemudian bagi anak angkat hanya diberikan hak wasiat wajibah dari
harta warisan yang ditinggalkan orang tua angkatnya.
Bentuk-bentuk reformasi terhadap hukum kewarisan mengenai
institusi wasiat wajibah ini secara jelas dilihat dalam pasal 209
KHI. Berbeda dengan para ahli hukum Islam pada umumnya, yang mengidentifikasikan
cucu yatim sebagai penerima wasiat wajibah. Para ahli hukum Islam Indonesia
melalui Kompilasi telah menggunakan wasiat wajibah untuk memperbolehkan anak
angkat dan orang tua angkat adalah penerima wasiat wajibah dengan maksimum
penerimaan sepertiga harta warisan.
Adapun, dasar hukum wasiat wajibah adalah karena
menganggap surat al-Baqarah 180, masih muhkam. Ayat tersebut berbunyi: “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu,
jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat
dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. Mufassirin atau mujtahid yang menganggap ayat ini masih
muhkam selanjutnya berpendapat bahwa sah berwasiat kepada ahli
waris.
Sebagian mufassirin atau mujtahid lain berpendapat bahwa
maksud dari ayat 180 al-Baqarah itu sudah dinasakh, dalam arti di-tabdil-kan atau digantikan (bukan dalam arti dialihkan atau di-takwil-kan atau dihapuskan), yakni oleh hadis Rasulullah yang maksudnya tidak sah berwasiat bagi ahli waris.
KHI kemudian memilih pendapat mufassirin atau mujtahid
kedua ini, seperti termuat dalam pasal 195 yang berbunyi: “Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.”
Pasal 174 jo. 171 huruf “c”
KHI secara terbatas menyebutkan hanya
dua sebab adanya hak warisan antara pewaris dan ahli waris
yaitu karena hubungan darah dan karena hubungan perkawinan. Faktor hubungan
darah ini dalam KHI sekaligus juga tidak mengakui dan tidak membenarkan
perubahan status anak angkat menjadi anak kandung seperti dikenal dalam
kekerabatan patrilineal genealogis dan parental pada masyarakat Jawa.
Hukum Islam menolak lembaga anak angkat dalam arti
terlepasnya anak tersebut dari kekerabatan orang tua kandungnya dan
termasuk dalam kekerabatan orang tua yang mengangkatnya. Singkatnya jalinan hukum
yang terjadi tidak mengakibatkan terwujudnya ikatan hubungan hukum perdata
yang bersifat keseluruhan sehingga anak tersebut tidak menjadi ahli
waris orang tua angkat dan tetap menjadi ahli waris orang tua kandung.
Agar menjadi lebih jelas, maka penegasan tentang
keberadaan anak angkat tehadap harta peninggalan orang tua angkatnya
kemudian diterobos KHI dengan konstruksi hukum wasiat wajibah.
Tampaknya nilai-nilai adat (‘urf), kemanusiaan dan keadilan melatarbelakangi berlakunya
konstruksi ini.
Berdasarkan konstruksi hukum wasiat wajibah terwujud suatu sistem hubungan hukum timbal balik antara anak angkat sebagaimana
yang dirumuskan dalam pasal 209 KHI:
- Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
- Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Idris Dja’far dan Taufik Yahya selanjutnya mengemukakan bahwa kata sebanyak-banyaknya dalam
pasal 209 KHI di atas, tidaklah cenderung menetapkan bagian sepertiga pada
perolehan dengan wasiat. Akan tetapi, sepertiga ini dapat berkurang bila
kepentingan ahli waris menghendaki dan dapat pula lebih bila ahli waris
menyetujuinya. Sedang bila antara ahli waris tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya
dilaksanakan sampai pada
batas sepertiga harta warisan.
Rujukan
- J. N. D.Anderson, “Recent Reforms in The Islamic Law of Inheritance”, International and Comparative Law Quarterly 14 (1965),
- M. Yahya Harahap, “Reformasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam,” Jurnal dua bulanan Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 5 Tahun III, (Jakarta: Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1992),
- Cik Hasan Bisri, dkk, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama, dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. ke-2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
- Wahbah al-Zuhaili, (ttp: tnp, 1989).