Dasar Pemikiran Plato
Monday, 13 March 2017
SUDUT HUKUM | Plato belum mengenal wahyu atau
ketuhanan, namun bisa dilihat dalam kehidupannya Plato lebih memaksimalkan
bukti inderawi dan akal dalam pemikirannya. Gaya berfikir Plato ia peroleh dari
guru-guru filsafatnya khususnya Sokrates guru yang sangat dikagumi oleh Plato,
di mana Sokrates mengajar kepada Plato tentang nilai-nilai kesusilaan yang
menjadi norma-norma dalam diri dan kehidupan manusia.
Sebelum Plato mempelajari
filsafat Sokrates, ia belajar filsafat dari Kartylos, Kartylos murid dari
Heraklitos, Heraklitos mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang tetap dan tidak
berubah. Karena segala sesuatu senantiasa bergerak dan berubah maka pada
dasarnya seluruh realitas senantiasa dalam proses menjadi yang terus-menerus.
Bagaikan api yang selalu bergerak, demikian pula
segala sesuatu itu terus-menerus bergerak dan berubah-ubah. Bagaikan air yang
mengalir, demikian pula segala sesuatu itu senantiasa bergerak, berubah
mengalir berlalu dan meniada, tetapi juga menjadi dengan tiada putus-putusnya.
Maka tidak mungkin ada pengenalan dan pengetahuan yang pasti dan benar.
Baca Juga
Pengaruh pemikiran berikutnya
adalah Parmanides yang bertolak pikiran dari Heraklitos. Bagi Parmanides 'yang ada itu
ada. Dan yang tidak ada itu tidak ada. Parmanides mengatakan tidak ada yang
berubah, tidak ada yang mengalir dan berlalu serta menjadi. Yang ada itu ada
dan adanya menjadi'.
Selanjutnya adalah Orphisme
atau sering disebut sebagai mystri orphic, yakni suatu gerakan agamis
dan filsafat yang terbesar di Yunani pada abad ke-6 SM. Orphisme mengajarkan
dualisme tubuh dan jiwa manusia. Jiwa terpenjara dari tubuh dan tugas manusia
untuk membebaskan jiwa, semua itu hanya mungkin tercapai lewat upacara kudus
dan pertarakan yang ketat, bahkan hubungan seksual pun dilarang. Penganut
Orphisme meyakini akan adanya kehidupan sesudah kematian. Elemen utama ajaran
Orphisme itu tampak juga dalam konsep Plato tentang manusia.
Dualisme antropologik Plato, sedikit banyaknya menunjukkan pengaruh ajaran Orphisme itu dalam pemikiran-pemikiran Plato. Menurut Plato, manusia memang terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa itu senantiasa berada dalam ketegangan dan saling tarik-menarik. Tubuh adalah musuh jiwa karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan, oleh sebab itu tubuh merupakan penjara jiwa.
Dualisme antropologik Plato, sedikit banyaknya menunjukkan pengaruh ajaran Orphisme itu dalam pemikiran-pemikiran Plato. Menurut Plato, manusia memang terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa itu senantiasa berada dalam ketegangan dan saling tarik-menarik. Tubuh adalah musuh jiwa karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan, oleh sebab itu tubuh merupakan penjara jiwa.
Pengaruh pemikiran yang lain
adalah Phytagoreanisme tentang tubuh dan jiwa sebagai soma-sema yang
artinya tubuh (soma) adalah kubur (sema) jiwa. Pemikiran Plato tidak hanya
bersumber pada pemikiran para-Soktarik, tetapi juga pada ajaran para sofis,
walaupun lebih banyak secara negatif, yakni merupakan kecaman terhadap para
sofis itu. Plato sangat menentang skeptisisme dan relativisme moral yang
disebar luaskan oleh para sofis. Dengan latar belakang pemikiran tersebut Plato lebih
mengedepankan gaya fikir inderawi dan akali. Namun tidak dipungkiri Plato juga
mengenal keilahian.