Hukum Adat dalam Perundang-undangan
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(UUD 1945) sebelum amandemen, tidak secara tegas menunjukkan kepada kita
mengenai pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Suatu hal yang menarik
untuk diamati, bahwa sekalipun oleh banyak kalangan, hukum adat diterima
sebagai salah satu sumber hukum namun UUD 1945 sama sekali tidak menyebutkan.
Apabila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang
ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945,
yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa,
yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa:
Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”
Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacum)
terhadap permasalahan-permasalahan yang belum diatur dalam perundang-undangan.
Mengingat pada waktu proklamasi kemerdekaan dan sampai saat ini belum ada satu
ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenai peranan dan kedudukan hukum
adat, maka aturan-aturan yang mengatur tentang hukum adat untuk sebagian masih
dapat dipandang berlaku. Melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sudah cukup
memadai sebagai sebuah pedoman bahwa di luar hukum perundang-undangan, masih
diakui pula berlakunya hukum-hukum yang tidak tertulis (Otje Salman
Soemadiningrat, 2011:152).
Setelah
amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945
Pasal 18B ayat (2) yang menentukan bahwa: Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pengakuan
negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, sekaligus sebagai pengakuan
terhadap hukum adatnya. Dengan demikian, berlakunya hukum adat bukanlah
tergantung kepada penguasa negara atau tergantung kepada kemauan politik
penyelenggara negara, melainkan bagian dari kehendak konstitusi.
Pada tataran
praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut hak
menguasai negara, hal ini diangkat dari hak ulayat, yang secara tradisional
diakui dalam hukum adat. Hal tersebut sesuai dengan amanat konstitusi yaitu
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang secara jelas mengatur hubungan antara negara
dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh
negara, dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Sebagai tindak
lanjut dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya lebih
dikenal dengan sebutan UUPA. Menurut Pasal 5 UUPA, hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat. Selanjutnya ketentuan
tersebut menetapkan syarat-syarat hukum adat yang menjadi dasar hukum agraria,
yaitu tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa; tidak bertentangan dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA; dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainya.
Mengacu pada
ketentuan Pasal 5 UUPA di atas, maka secara hukum, kedudukkan hukum adat berada
pada posisi yang penting dalam tatanan sistem hukum agraria nasional. Boedi
Harsono dalam Otje Salman Soemadiningrat, (2011:163) menyebutkan beberapa
alasan bahwa hukum adat yang berlaku sebelum kemerdekaan mengandung cacat-cacat
yang seharusnya dihilangkan. Oleh karena itu, hukum adat yang dimaksudkan oleh
UUPA adalah hukum adat yang telah di-saneer (disaring). Hukum adat dalam
UUPA didasarkan pada hukum adat yang telah disempunakan dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Selanjutnya
menurut, kedudukan hukum adat yang telah di-saneer ini menjadi sumber
utama dalam pembangunan hukum tanah nasional, sekaligus juga menjadi sumber
pelengkap/sekunder bagi hukum tanah nasional itu sendiri. Sebagai sumber utama,
maka asas, nama dan lembaga hukum adat diangkat sebagai sumber pembentukkan
UUPA itu sendiri dan peraturan perundang-undangan lainya sebagai pelaksana
UUPA. Sebagai sumber pelengkap/sekunder, maka asas, nama, dan lembaga hukum
adat digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah-masalah yang belum diatur
secara tegas dalam peraturan perundang-undangan pertanahan nasional. Dengan
demikian, jika suatu hal belum diatur dalam hukum tanah yang tertulis (UUPA),
maka yang berlaku terhadap sesuatu hal tersebut adalah hukum adat setempat,
yaitu hukum adat yang berlaku di daerah terjadinya suatu kasus, atau pada waktu
diselesaikanya kasus itu.
Dengan
demikian, kedudukkan hukum adat dikemudian hari tetap menjadi acuan pembangunan
(hukum) indonesia, baik untuk memberi bahan-bahan dalam pembentukkan kodifikasi
hukum, maupun langsung diterapkan pada lapangan hukum yang belum mungkin untuk
dikodifikasi. Bahkan dalam lapangan hukum yang telah dapat dikodifikasi pun,
hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis, akan tetap menjadi
sumber hukum baru atas hal-hal yang tidak atau belum ditetapkan dalam undang-undang.
Menanggapi hal
tersebut, Satjipto Rahardjo (2010:120) perlu kiranya untuk diperhatikan yaitu
apabila politik hukum agraria nasional kita menempatkan hukum adat sebagai
landasan hukumnya, maka negara harus turut menjaga kelestarian atau keberadaan
hukum adat termasuk masyarakat hukum adat dan hak-hak masyarakat hukum adat
yang ada, sedangkan apa yang terjadi adalah berseberangan dengan hal tersebut,
karena hukum adat malah “dibunuh secara perlahan-lahan”. “Pembunuhan” tersebut
terjadi karena negara membiarkan hukum adat bersaing dengan hukum nasional atau
hukum negara yang penuh dengan kekuatan jauh di atas hukum adat. Politik hukum
seperti itu adalah ibarat “memasukan kambing dan macam dalam satu kandang”.
Mengetahui kelemahan hukum adat berhadapan dengan hukum nasional, maka negara
dan pemerintah semestinya cepat-cepat mengeluarkan peraturan yang menjaga agar
hukum adat tetap ada.