Istilah dan pengertian hukum adat
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Van Vollenhoven dalam Otje
Salman Soemadiningrat (2011:7), menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli
yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda,
telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat
asli tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat. Istilah hukum adat pada
dasarnya bukan berasal dari bahasa indonesia, tetapi merupakan terjemahan dari
Bahasa Belanda yaitu “het adatrecht”, yang untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh C.Snouck Hurgonje di dalam bukunya yang berjudul “ De Atjehers”. Snouck
Hurgonje, memberikan arti hukum adat sebagai “Die rechtsgevolgen hebben”
(adat-adat yang mempunyai akibat hukum).
Istilah het adatrecht tersebut,
kemudian lebih dipopulerkan oleh Prof. Dr. Cornelis Van Vollenhoven sebagai
ilmu pengetahuan. Van Vollenhaven didalam bukunya “Het Adatrecht van
nederlandsch–indie”, menulis bahwa hukum adat adalah “perangkat kaidah yang
berlaku bagi penduduk asli dan golongan timur asing yang di satu pihak
mempunyai sanksi (karena itu merupakan “ilmu”) dan di pihak lain tidak
dikodifikasikan (karena itu merupakan “adat”).
Dikalangan
masyarakat, jarang sekali dipergunakan atau dipakai istilah hukum adat bahkan
tidak dikenal secara serius. Dalam hal ini yang lajim dipergunakan adalah
istilah adat saja, dan istilah adat pun berasal dari kata (istilah/bahasa) Arab
yang berarti kebiasaan. Kebiasaan merupakan perilaku masyarakat yang selalu dan
senantiasa terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Tolib setiady
2013:5).
Soerjono
Soekanto dalam Otje Salman Soemadiningrat (2011:11), mengemukakan bahwa jika
suatu kebiasaan (yang pada hakekatnya merupakan keteraturan) diterima sebagai
kaedah, kebiasaan tersebut memiliki daya mengikat, menjadi tata kelakuan yang
ciri-ciri pokok yaitu merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga
masyarakat; merupakan kaedah yang memerintahkan atau sebagai patokan yang
membatasi aspek sepak terjang warga masyarakat; mengidentifikasikan pribadi
dengan kelompok; dan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan
solidaritas masyarakat. Selanjutnya, menurut Otje Salman Soemadiningrat,
terdapat 3 (tiga) prasyarat untuk menjadikan kebiasaan sebagai hukum. Pertama,
masyarakat meyakini adanya keharusan yang harus dilaksanakan. Kedua,
pengakuan atau keyakinan bahwa kebiasaan tersebut bersifat mengikat (kewajiban
yang harus ditaati) atau dikenal dengan prinsip opinio necessitas. Ketiga,
adanya pengukuhan yang dapat berupa pengakuan (erkenning) dan/atau
penguatan (bekrachtiging) dari keputusan yang berwibawa (atau pendapat
umum, yurisprudensi dan doktrin)
Dengan
demikian, Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat
(kebiasaan) istiadat, yakni kaedah-kaedah sosial yang dibuat dan dipertahankan
oleh para fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa) dan berlaku serta
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat. Pengaturan
tata tertib masyarakat oleh hukum adat ini mengindikasikan, hukum adat
mengandung sanksi yang dikenakan jika aturan tersebut dilanggar.
Hukum adat pun
dibentuk dan diliputi oleh nilai-nilai agama, sebagaimana Soepomo dalam Otje
Salman Soemadiningrat (2011:14), memandangnya sebagai hukum tidak tertulis dan
dipertahankan fungsionaris hukum serta mengandung sanksi yang disana sini
mengadung unsur agama. Dengan demikan, Soepomo mengartikan hukum adat merupakan
hukum yang menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, dan sebagai hukum
rakyat hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti
hidup masyarakat itu sendiri.
Hukum adat
mempunyai corak yang hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh
bilamana diketahui tentang ajaran-ajaran hukum adat yang menjadi jiwannya.
Ajaran-ajaran tersebut dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah dan kiasan-kiasan
yang lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja. Hal tersebut
memberikan kepercayaan yang besar dan penuh kepada fungsionaris adat untuk
melaksanakan hukum adat, serta menjadikan masyarakat menjadi pokok perhatiannya
atau mempunyai corak komunal (M.Koesnoe 1979:9).
Sesungguhnya,
sangat banyak ditemukan rumusan-rumusan tentang hukum adat dalam berbagai
literatur, namun dari pengertian dan rumusan tersebut, kiranya sudah cukup
untuk memberikan gambaran tentang apa itu hukum adat. Hukum adat merupakan adat
(kebiasaan) istiadat yang menjadi hukum adat yang pada umunya tidak tertulis,
mempunyai sanksi, adanya prosedur penegakan hukum oleh fungsionarisnya, serta
mengandung unsur agama.