Tinjauan tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Secara terminologis, “pengakuan” berarti proses, cara, perbuatan
mengaku atau mengakui, sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan
dalam konteks ilmu hukum internasional, misalnya terhadap keberadaan suatu
negara/pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan
de jure. Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk
menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de
facto. Pengakuan tersebut bersifat sementara, karena pengakuan ini
ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan yang
baru. Apabila kemudian dipertahankan terus dan makin bertambah maju, maka
pengakuan de facto akan berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de
jure yang bersifat tetap dan diikuti dengan tindakan-tindakan hukum
lainnya.
Pengakuan secara hukum (de
jure) adalah pengakuan suatu negara terhadap negara lain yang diikuti dengan
tindakan-tindakan hukum tertentu, misalnya pembukaan hubungan diplomatik dan
pembuatan perjanjian antara kedua negara (Moh. Kusnadi dan Bintan R Saragih,
1989:82). Hans Kelsen dalam Otje Salman Soemadiningrat (2002:2), menguraikan
terminologi “pengakuan” dalam kaitannya dengan keberadaan suatu negara yaitu;
terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan
hukum. Tindakan politik mengakui suatu negara berarti negara mengakui
berkehendak untuk mengadakan
hubungan-hubungan politik dan hubungan-hubungan lain dengan masyarakat yang
diakuinya. Tindakan hukum adalah prosedur yang dikemukakan di atas yang
ditetapkan oleh hukum internasional untuk menetapkan fakta negara dalam suatu
kasus kongkrit.
Berdasarkan
rujukan diatas, dalam kaitannya dengan pengertian pengakuan dan perlindungan
hukum terhadap hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat, mengarah pada
pengertian pengakuan dari negara/pemerintah baik secara politik maupun secara
hukum, melalui pengaturan hak dan kewajiban pemerintah dalam memberikan
penghormatan, kesempatan dan perlindungan bagi berkembangnya masyarakat hukum
adat beserta hak ulayat atas tanah yang dimiliki dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa negara/pemerintah
telah mengakui, menyatakan sah/benar atau menyatakan masyarakat hukum adat
berhak atas sumber daya alam yang dimiliki dan mewajibkan pemerintah untuk
melindungi hak-hak tersebut dari ancaman/gangguan pihak lain. Pengakuan
tersebut merupakan pengakuan yang diformulasikan dalam bentuk hukum negara
terhadap hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya.
Pengakuan
melalui hukum negara (hukum positif), menurut Austin dalam Otje Salman
Soemadiningrat (2002:2), diartikan sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau
lembaga yang memiliki kedaulatan, dan pengakuan tersebut diberlakukan terhadap
anggota-anggota masyarakat politik yang merdeka (independet political
society), dan mengakui kedaulatan atau supremitas yang dimiliki orang atau
lembaga-lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, kebiasaan
menurutnya hanya akan berlaku sebagai hukum jika undang-undang menghendaki atau
menyatakan dengan tegas atas keberlakuan kebiasaan tersebut.
Konsekuensi
dari adanya konsep pengakuan tersebut, sebagai turunan langsung dari konsep
negara hukum, adalah bahwa jika ternyata terdapat eksistensi masyarakat hukum
adat berikut hak-hak dan kepentingannya yang bertentangan dengan kepentingan
negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada aturan hukum adat yang
bertentangan dengan aturan hukum positif negara, maka keberadaan masyarakat
adat beserta kepentingan-kepentingan dan hak-haknya yang diatur dalam hukum
adat tersebut bisa diabaikan. Konsepsi Austin tentang penetapan melalui hukum
negara sebagai satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat tersebut,
dikritik oleh para pengikut mazhab sejarah yang meyakini bahwa setiap
masyarakat memiliki ciri khas masing-masing tergantung pada riwayat hidup dan
struktur sosial yang hidup dan berkembang untuk mengatur
kepentingan-kepentingan mereka.
Sebagai tokoh
utama mazhab sejarah, Von Savigny dalam Satjipto Rahardjo (2010:12)
mengemukakan pendapat bahwa hukum itu tidak dibuat secara sengaja, tetapi
muncul dari dalam masyarakat itu sendiri, maka hukum itu akan selalu ada selama
masyarakatnya juga masih ada. Hukum itu akan lenyap seiring dengan punahnya
masyarakat. Dengan demikian, kehadiran hukum negara tidak serta merta atau
menggantikan secara sempurna hukum sebagai suatu kaidah alami. Hal tersebut
mengingat bahwa hukum itu harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat. Von Savigny melihat hukum sebagai fenomena historis, sehingga
keberadaan setiap hukum adalah berbeda,bergantung kepada tempat dan waktu
berlakunya hukum. Hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau
rohani suatu bangsa (volksgeist).
Pengakuan hak
ulayat masyarakat hukum adat atas tanah tidak hanya terbatas pada bentuk
pengakuan dalam hukum negara, tetapi karena secara faktual masyarakat Indonesia
bersifat majemuk (plural), maka pengakuan juga dapat diperoleh melalui hukum
yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum adat. Hal ini selaras dengan pendapat
Van Vollenhoven dalam Otje Salman Soemadiningrat (2011:10) bahwa sistem
pemberlakuan hukum adat tidak didasarkan pada peraturan-peraturan yang dibuat
oleh pemerintah atau alat kekuasaan lainnya, yang menjadi sendinya dan diadakan
sendiri oleh kekuasaan pemerintah yang ada, melainkan pada tindakan-tindakan
yang oleh adat dan oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat, disamping itu
penduduk memiliki keyakinan yang sama menyatakan bahwa aturan-aturan adat harus
dipertahankan oleh kepala adat dan petugas-petugas lainnya dan memiliki sanksi.
Dalam kamus
besar Bahas Indonesia (www.artikata.com), perlindungan berasal dari kata
lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi. Selanjutnya perlindungan merupakan proses, cara, perbuatan tempat
berlindung, hal (perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan
berlindung). Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “Perlindungan”
dan “Hukum”. Artinya perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia, agar kepentingan
manusia terlindungi maka hukum harus dilaksanakan, sehingga menciptakan
masyarakat yang tertib dan teratur (Sudikno Mertokusumo, 2002:71).
Ada 2 (dua)
macam perlindungan hukum bagi masyarakat, yaitu perlindungan hukum yang
preventif dan perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan
pemerintahan yang berdasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif, pemerintah terdorong untuk bersikap
hati-hati dalam mengambil keputusan yang berdasarkan pada diskresi (Philipus M.
Hadjon, 1987:2).
Dengan
demikian, perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu
konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaatan dan kedamaian. Perlindungan hukum yang dimaksud adalah suatu bentuk
kepastian, kejelasan, jaminan yang diberikan oleh hukum yang berlaku kepada
masyarakat untuk dilindungi/diperhatikan kepentingan-kepentingannya dan
hak-haknya sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian
perlindungan hukum dapat ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini pengertiannya juga mencakup pada nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakat, tetapi dalam arti sempit, perlindungan hukum itu
hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja (Hartono
Sunarjati, 1986:53). Bentuk-bentuk perlindungan hukum yaitu berupa peraturan
yang merupakan bentuk tertulis dari hukum itu sendiri yang mengatur hubungan
antara masyarakat dengan masyarakat dan dengan negaranya, serta pelaksanaan
dari peraturan-peraturan yang telah ada oleh aparatur negara khususnya aparatur
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan terlaksanannya peraturan-peraturan
untuk terciptanya perlindungan hukum.
Berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat,
apabila masyarakat hukum adat yang mempunyai hak-hak ulayat dirugikan oleh
pemerintah setempat, yang berarti terjadi perselisihan antara masyarakat dengan
pemerintah. Pada kondisi yang demikian, masyarakat perlu mendapatkan suatu
perlindungan hukum, yang berarti perbuatan untuk memberikan perlindungan baik
dari segi peraturan perundang-undangan maupun pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tersebut. Dengan demikian, subyek hukum sebagai pemegang hak
atas tanah sangat memerlukan perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingannya
mengenai hak atas tanah yang dikuasainya, baik yang dipunyai perorangan ataupun
masyarakat hukum adat. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut
sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar
hak-hak atas tanah ulayatnya tidak dilanggar oleh siapa pun.
Para pendiri
bangsa ini, telah menyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia merupakan
negara hukum dan bersifat demokratis, negara tidak dapat sewenang-wenang dengan
rakyatnya dan begitu pun sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan adanya
pembatasan-pembatasan oleh hukum itu sendiri. Berkaitan dengan sifat demokratis
tersebut, maka demokrasi dan otonomi merupakan satu kesatuan semangat sebagai
bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai penentu yang utama dalam
negara (HM. Agus Santoso, 2013:126).
Dalam arti
formal, otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materiil otonomi daerah mengandung
makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan dan pemencaran kekuasaan. Oleh
karena itu, otonomi daerah diharapkan sebagai jembatan bagi masyarakat hukum
adat untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum, dikarenakan masyarakat
hukum adat juga mempunyai hak dan kewajiban secara demokratis untuk mendapatkan
kesejahteraan melalui upaya-upaya termasuk upaya dalam memperoleh pengakuan dan
perlindungan hukum tehadap hak ulayatnya atas tanah. Cita-cita kedaulatan
rakyat memang dapat terwujud dalam suasana sentralistis, namun melalui desentralisasi
keadaannya akan lebih demokratis.