Masyarakat Hukum Adat
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Memahami hukum yang berlaku
dalam suatu masyarakat tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa pemahaman
terhadap struktur dari masyarakat itu. Struktur masyarakat menentukan sistem
(struktur) hukum yang berlaku pada masyarakat itu, demikian juga halnya dalam
memahami segala hubungan hukum dan peristiwa hukum yang terjadi di lingkungan
hukum adat, hanya dapat dilakukan dengan memahami struktur masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen)
itu terlebih dahulu.
Mengutip pendapat Van
Vollenhoven yang dikemukakan pada pidatonya tertanggal 2 Oktober 1901, maka
Soepomo dalam Soerjono Soekanto (1942:106) menyatakan “bahwa untuk mengetahui hukum, terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah mana
jugapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang
yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari”. Soepomo berpendapat, bahwa
penjelasan mengenai badan-badan persekutuan tersebut, hendaknya tidak dilakukan
secara dogmatis, akan tetapi atas dasar kehidupan yang nyata dari masyarakat
yang bersangkutan.
Masyarakat (persekutuan) hukum adat ini menurut Van
Vollenhoven dalam Ida Nurlinda (2009:43), menempati tempat yang sentral karena
pada dasarnya hak atas tanah ulayat dipegang oleh persekutuan hukum adat. Di antara
masyarakat hukum adat yang
ada di Indonesia, masing-masing mempunyai perbedaan dalam tata susunannya dan
membawa akibat pada perbedaan aturan hukum adatnya.
Masyarakat
hukum adat dapat terbentuk baik karena faktor genealogis (keturunan) maupun
karena faktor teritorial (wilayah). Masyarakat hukum adat yang berstruktur
genealogis adalah masyaraakat hukum adat yang anggotanya merasa terikat dalam
suatu ketertiban dan kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang
sama. Masyarakat hukum adat yang berstruktur teritorial adalah masyarakat hukum
adat yang anggotanya merasa bersatu dan karenannya merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat, sehingga terasa ada ikatan antara mereka dengan tanah
tempat tinggalnya. Landasan yang mempersatukan anggota masyarakat ini adalah
ikatan antara orang yang menjadi anggota masyarakat hukum adat itu dengan tanah
yang didiami secara turun-temurun. Ikatan dengan tanah ini menjadi inti dari
asas teritorial.
Secara
teoretis, pengertian masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat berbeda.
Kusumadi Pujosewojo dalam Maria Sumardjono (2007:56), mengartikan masyarakat
hukum sebagai suatu masyarakat yang menetap, terikat dan tunduk pada tata
hukumnya sendiri. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara
spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau oleh
penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainya, dengan rasa solidaritas yang
sangat besar diantara para anggota, yang memandang bukan anggota masyarakat
sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang
hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang
luar harus melaui izin dan pemberian imbalan tertentu.
Menurut
Hollemann dalam Otje Salman Soemadiningrat (2011:29), ada beberapa ciri pokok
masyarakat hukum adat yaitu merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai
kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perseorangan, mempunyai batas
wilayah tertentu dan mempunyai kewenangan tertentu. Selain ciri tersebut,
masyarakat hukum adat juga memiliki sifat dan corak yang khas yaitu; pertama,
magis religius yaitu sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada religiusitas
dan bersifat sakral. Kedua, komunal yaitu memiliki asumsi bahwa setiap
individu atau anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat
secara keseluruhan. Ketiga, konkret yang diartikan sebagai corak yang
serba jelas atau nyata, menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum tidak dilakukan
secara diam-diam atau samar. Keempat, kontan yang mengandung arti
sebagai kesertamertaan atau seketika, terutama dalam hal pemenuhan prestasi.
Selama ini,
perdebatan mengenai istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat menjadi
persoalan yang terus berlangsung terutama berkaitan dengan Rancangan
Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang
masih dalam tahap penyusunan. Ada beragam istilah yang digunakan, bahkan di
dalam peraturan perundang-undangan pun digunakan berbagai istilah untuk merujuk
sesuatu yang sama atau yang hampir sama itu. Mulai dari istilah masyarakat
adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat
tradisional, komunitas adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai
pada istilah desa atau nama lainnya.
Dari berbagai
istilah yang ada, istilah hukum yang paling banyak digunakan adalah istilah
“Masyarakat Hukum Adat”. Istilah masyarakat hukum adat digunakan sebagai bentuk
kategori pengelompokkan masyarakat yang disebut masyarakat (persekutuan) hukum
(rechts gemeenchappen) yaitu masyarakat yang seluruh anggota
komunitasnya terikat sebagai satu kesatuan berdasarkan hukum yang dipakai,
yaitu hukum adat. Istilah ini merupakan penerjemahan dari istilah Adatrechts
gemenschaapen yang dipopulerkan oleh pemikir hukum adat seperti Van
Vallenhoven (Tolib Setiady, 2013:75).
Istilah
masyarakat hukum adat juga mengandung kerancuan antara “masyarakat-hukum adat”
dengan “masyarakat hukum-adat”, yang satu menekankan kepada masyarakat-hukum
dan yang lain menekankan kepada hukum adat. Pada pihak lain, kalangan yang
keberatan dengan penggunaan istilah “masyarakat hukum adat” berargumen bahwa
“masyarakat hukum adat” hanya mereduksi masyarakat adat dalam satu dimensi
saja, yaitu hukum, padahal masyarakat adat tidak saja tergantung pada dimensi
hukum, melainkan juga dimensi yang lainnya seperti sosial, politik, budaya,
agama, ekonomi dan ekologi. Inilah salah satu hal yang kemudian diperjuangkan
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), agar kedepannya, pemerintah
benar-benar jeli melihat tentang keberadaan masyarakat adat di Indonesia.
Di lain hal,
istilah masyarakat hukum adat semakin sering digunakan karena mendekati istilah
yang dipergunakan dalam UUD 1945 yaitu istilah kesatuan masyarakat hukum adat,
sehingga memberikan kesan bahwa istilah inilah yang paling sahih dan sesuai
dengan konstitusi. Berkaitan dengan penulisan tesis ini, dan untuk tidak
terjebak terlalu dalam mengenai perdebatan istilah tersebut, maka penulis
menggunakan persamaan konsep mengenai istilah tersebut dan mengambil istilah yang paling
banyak digunakan dari berbagai istilah yang ada. Istilah hukum yang paling
banyak digunakan adalah istilah “Masyarakat Hukum Adat”. Dalam Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 3 PMNA/KBPN No.5 Tahun 1999, Masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau pun atas dasar
keturunan.