Pengertian Hak Ulayat
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Sebelum berlakunya UUPA, hukum
pertanahan di Indonesia bersifat dualisme yaitu sebagai akibat politik
pemerintahan Hindia Belanda, sehingga timbul berbagai kelembagaan hak atas
tanah yang bersumber pada hukum barat dan hukum adat. Hak atas tanah yang
bersumber pada hukum adat salah satunya adalah hak ulayat. Pada masa
penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah, lebih
berorientasi pada sistem hukum barat sehingga pada kenyataannya kepentingan
golongan bumi putera (pribumi) yang memberlakukan hukum adat selalu dalam
posisi yang lemah bahkan tidak menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi
hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan masyarakat hukum adat
termasuk hak ulayatnya atas tanah.
Hak ulayat adalah nama yang
diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret
antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang
disebut hak ulayat. Oleh Van Vollenhoven dalam Tolib setiady (2013:312), hak
ulayat disebut sebagai “beschikkingrescht”.
Istilah ini dalam Bahasa Indonesia (juga dalam bahasa-bahasa daerah) merupakan
suatu pengertian baru, dikarenakan dalam bahasa indonesia istilah yang
dipergunakan itu lebih mengarah kepada pengertian sebagai “lingkungan
kekuasaan”, sedangkan “beschikkingrescht” itu lebih mengarah kepada
hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah itu sendiri.
Adapun
istilah-istilah daerah yang mengandung pengertian lingkungan kekuasaan, wilayah
kekuasaan ataupun “tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai masyarakat hukum
adat” antara lain yaitu; Patuanan (Ambon), Pawatasan (Kalimantan), Wewengkon
(Jawa), Prabumian (Bali), Tatabuan (Bolaang Mongondow), Limpo (Sulawesi
Selatan), Nuru (Buru), Ulayat (Minangkabau), Torluk (Angkola), Paer (Lombok),
Golat (Batak), dan lain sebagainya.
Oleh berbagai
pakar hukum adat, hak ulayat diartikan dalam berbagai perumusan, namun
mempunyai berbagai persamaan pemahaman, meski istilah yang dipergunakanya berbeda-beda,
tidak selalu dalam istilah hak ulayat. Beberapa pakar hukum adat yang
mengemukakan pendapatnya tentang hak ulayat yakni Roestandi Ardiwilaga dalam
Ida Nurlinda (2009:68), mengemukakan bahwa hak ulayat adalah hak dari
persekutuan (masyarakat) hukum adat untuk menggunakan dengan bebas tanah tanah
yang merupakan hutan belukar dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan
persekutuan hukum itu sendiri dan anggota anggotanya; juga untuk kepentingan
orang-orang di luar persekutuan hukum itu dengan izin terlebih dahulu, dan
membayar pengakuan/recognisi.
Imam Sudiyat
(1981:2), menamakan hak ulayat dengan sebutan hak purba yaitu hak yang dipunyai
oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond)
atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya
dalam lingkungan wilayahnya. Berangkat dari pengertian tersebut, Imam sudiyat
mengemukakan ciri-ciri hak ulayat sebagai berikut:
- Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah ulayat yang merupakan bagian dari hak ulayat dalam wilayah kekuasaanya;
- Orang dari luar persekutuan yang hendak menggunakan tanah ulayat tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari persekutuan hukum yang ada;
- Warga persekutuan hukum dapat mengambil manfaat dari tanah merupakan bagian dari hak ulayat untuk kepentingan pribadi dan keluarganya;
- Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayah kekuasaanya;
- Hak ulayat tidak boleh dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk selamanya;
- Hak ulayat meliputi juga hak-hak yang telah digarap oleh perseorangan.
Baca Juga
Boedi Harsono
(1999:185), mengartikan hak ulayat sebagai seperangkat wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya,
yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut ada yang
termasuk ke dalam bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak
bersama; dan ada yang termasuk ke dalam bidang hukum publik, yaitu berupa tugas
kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan,
dan pemeliharaanya.
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh ketiga pakar hukum adat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang
keberadaanya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat hukum adat itu sendiri.
Spesifik dan khas, karena meskipun hak ulayat tersebut merupakan hak suatu
komunitas masyarakat hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya pihak
lain di luar komunitas tersebut, untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut dengan
berbagai persyaratan. Artinya meskipun hak ulayat itu eksklusif, tetapi tidak
mengedepankan eksklusivitasnya (Maria Sumardjono, 2007:55).