Sifat dan Ciri Hak Ulayat
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Hubungan antara masyarakat
hukum adat dengan tanahnya diliputi oleh suatu sifat yang disebut Religio
magis, yang artinya para warga persekutuan hukum (masyarakat) yang
bersangkutan alam pikiranya masih kuat dipengaruhi oleh serba roh, yang
menciptakan gambaran bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan
pemanfaatan atau pendayagunaan tanah harus dilakukan secara hati-hati karena
adanya potensi-potensi yang gaib. Dampak positif dari adanya pandangan hidup
yang demikian menimbulkan kepartisipasian segenap warga masyarakat tersebut
dalam cara-cara pemanfaatan dan atau pendayagunaan tanah (Kartasapoetra,1985:90).
Secara konseptual, hak ulayat
merupakan hak tertinggi dalam sistem hukum adat. Di bawah hak ulayat hak
kepala/tetua adat yang merupakan turunan dari hak ulayat dan semata-mata
beraspek hukum publik. Selanjutnya, barulah hak-hak individual yang secara langsung
maupun tidak langsung juga bersumber dari hak ulayat dan beraspek hukum
keperdataan.
Menurut Van Vollenhoven dalam Ida Nurlinda (2009:69),
masyarakat hukum adat tidak dapat memindahtangankan hak ulayat (beschikkingsrecht)
yang dimilikinya. Selain bersifat tidak dapat dipindahtangankan, dalam hak
ulayat pun dikenal adanya hak milik perseorangan. Hanya saja daya kerja hak
milik itu dibatasi oleh keberadaan hak ulayat tersebut. Artinya, dalam hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat hukum adat), hak
milik tersebut haruslah mengalah. Hubungan hak ulayat ini berlangsung terus
menerus tanpa terputus. Secara yuridis, hak ulayat menunjukan hubungan hukum
antara masyarakat hukum sebagai subyek hak dan tanah beserta wilayah dimana
tanah itu terletak, sebagai obyek hak.
Obyek hak
ulayat meliputi tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat, baik yang
sudah dihaki maupun yang belum sehingga dalam lingkungan wilayah hak ulayat
tidak ada tanah yang res nullius, sehingga tidak ada satupun perbuatan
hukum, baik yang bersifat perdata maupun publik, dapat terjadi tanpa adanya
campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu sistem
kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Selanjutnya, menurut menurut Van
Vollenhoven, keberadaan suatu tanah dengan hak ulayat masyarakat hukum adat,
diketahui melalui beberapa tanda/ciri yaitu:
- Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta warganya yang dapat dengan bebas mempergunakan tanah liar yang terletak dalam wilayahnya.
- Orang asing (luar masyarakat hukum adat) boleh mempergunakan tanah itu dengan izin. Penggunaan tanah tanpa izin dipandang sebagai suatu delik. Untuk penggunaan tanah tersebut, kadang-kadang bagi warga masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang luar masyarakat hukum adat selalu dipungut recognisi.
- Masyarakat hukum adat tidak dapat melepaskan, memindahtangankan, ataupun mengasingkan hak ulayatnya secara menetap.
- Masyarakat hukum adat masih mempunyai campur tangan (baik insentif maupun kurang insentif) terhadap tanah-tanah yang sudah diolah.
Berdasarkan
tanda-tanda/ciri-ciri hak ulayat tersebut di atas, maka kiranya harus dipahami
bahwa hak ulayat suatu masyarakat hukum adat tetap melekat pada masyarakat
tersebut sepanjang eksistensi dan kenyataan masyarakat hukum adat itu ada
sehingga harus diakui dan dihormati oleh semua pihak.