Hukum Puasa di Kutub
Friday, 24 March 2017
SUDUT HUKUM | Buat orang
yang tinggal di kutub Utara atau Selatan, secara
geografis mereka akan mengalami beberapa ‘keajaiban’
alam. Terutama terkait dengan waktu terbit dan terbenam
matahari. Padahal, waktu-waktu shalat sangat ditentukan
dengan terbit dan terbenamnya matahari.
1.
Kemungkinan Pertama
Ada wilayah
yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama
24 jam dalam sehari. Dan sebaliknya, pada bulan-bulan
tertentu akan mengalami sebaliknya, yaitu mengalami
malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam kondisi
ini, masalah jadwal puasa -dan juga shalat-
disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat
dengannya di mana masih ada pergantian siang dan
malam setiap harinya.
2.
Kemungkinan Kedua
Ada wilayah
yang pada bulan teretntu tidak mengalami hilangnya mega
merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh.
Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat
maghrib dengan mega merah saat shubuh.
Dalam kondisi
ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan
waktu shalat 'isya'nya saja dengan waktu di wilayah lain
yang terdekat yang masih mengalami hilannya mega merah
maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start
puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang
masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan
masih bisa membedakan antara dua mega itu.
3.
Kemungkinan Ketiga
Ada wilayah
yang masih mengalami pergantian malam dan siang
dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali
atau sebaliknya.
Dalam kondisi
ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai
dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai
sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00
dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam
meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam.
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid... (QS. Al-Baqarah: 187).
Sedangkan bila
berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih
dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan dan
membawa kepada penyakit di mana hal itu dikuatkan juga
dengan keterangan dokter yang amanah, maka
dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban
menggantinya di hari lain.
Dalam hal ini
berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang
yang sakit, di mana Allah memberikan rukhshah atau keringan
kepada mereka.
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185).
Penjelasan
seperti ini bisa kita dapat dari fatwa Majelis Majma' Al-Fiqh
Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir
1402 H betepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M.
Selain itu
kita juga bisa merujuk kepada ketetapan dari Hai'ah Kibarul
Ulama di Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor
61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H. Namun ada juga
pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah
ditetapkan oleh dua lembaga Fiqih dunia itu. Di antaranya apa
yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqa' rahimahullah.
Alasannya,
apabila perbedaan siang dan malam itu sangat
mencolok di mana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau
sebaliknya, di mana siang hanya terjadi hanya 15 menit
misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan? Terbayangkah
seseorang melakukan puasa di musim panas dari
terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit.
Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama
15 menit?
Karena itu
pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang
mengalami pergantian siang malan yang ekstrim seperti
ini, maka pendapat lain mengatakan:
- Mengikuti Waktu Hijaz
Jadwal puasa
dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz
(Makkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap
tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu
diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk
dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
- Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat
Pendapat lain
mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat
orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam
yang terdekat. Di mana di negeri ini bertahta Sultan atau
Khalifah muslim. Namun kedua
pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan
kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.