Kebijakan Publik
Monday, 20 March 2017
SUDUT HUKUM | Implementasi desentralisasi
pada dasarnya sangat ditentukan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala
daerah masing-masing. Karena itu, pendelegasian wewenang yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada daerah mesti dijalankan sebagaimana yang diamanatkan
dalam undang-undang UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dengan
adanya undang-undang tersebut, otonomi daerah diharapkan dapat berjalan agar
pelayanan negara, dalam hal ini pemerintah, bisa dirasakan oleh masyarakat
secara langsung, sebagaimana tujuan otonomi daerah, yaitu untuk lebih
mendekatkan pelayanan negara kepada masyarakat.
Berbicara masalah kebijakan,
ada beberapa rujukan yang perlu dijelaskan. Menurut Harold D. Lasswell dan
Abraham Kaplan, dalam M. Irfan Islamy (1984 15), kebijakan (policy) diartikan
sebagai “a projected program of goals, values and practices” (“suatu
program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah”).
Sedangkan Carl J. Frederick
dalam M. Irfan Islamy (1984 15), menjelaskan definisi kebijakan sebagai
berikut: … a proposed course of action of a person, group, or government
with in a given environment providing opstacles and opportunities which the
policy was proposed to utilize and overcome in an effert to reach a goal or realize
an objective r a purpose” (…serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu”).
James E. Anderson dalam M.
Irfan Islamy (1984 15), juga menjelaskan bahwa kebijakan adalah: “A
purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing
with a problem or matter of cancern”. (“serangkaian tindakan yang mempunyai
tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu”).
Sedangkan Amara Raksasataya
mengemukakan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk
mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen,
yaitu:1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai; 2. Taktik atau strategi
dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; 3. Penyediaan
berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau
strategi.
Public policy juga memiliki sejumlah definisi dari berbagai para
ahli. Public policy atau yang biasa dikenal dengan kebijakan negara
memiliki beberapa persamaan. Menurut Thomas R. Dye, (dalam M. Irfan Islamy,
1984: 18) kebijakan negara sebagai “is whatever governments choose to do or
not to do” (apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan”).
Sementara itu David Easton
memberikan arti kebijakan negara sebagai: “the authoritative allocation of
values for the whole society” (“pengalokasian nilai-nilai secara paksa (syah)
kepada seluruh anggota masyarakat”). Sedangkan menurut M. Irfan Islamy (1984:
20), kebijakan negara (public policy) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan
atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Menurut Oxvord advanced
learner’s dictionary of current englishkebijakan (policy) bermakna:
1. Plan of action, statement of aims and ideals, esp. One made by a government,
political parties, businees company; 2. Wise, sensible conduet; art of
government. Public policy is authoritative guide for carrying out governmental
action is national, state, regional and municipal jurisdictions. (william
dunn dalam Ibnu Syamsi, 1983: 31).
Sedangkan menurut Ibnu Syamsi sendiri,
pelaku dari kebijakan publik (public policy) itu adalah:
- Pejabat pemerintah (dan ini merupakan kemungkinan besar),
- Bukan pemerintah, misalnya dari partai politik.
Sementara itu menurut Miriam
Budiardjo, kebijakan umum (public policy,
beleid) adalahsuatu kumpulan keputusan yang diambil oleh
seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk
mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan
itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. (2008: 20). Sedangkan menurut
Richard Rose dalam Leo Agustino (2008: 7), kebijakan publik sebagai sebuah
rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan
memiliki konsekwensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.
Carl Frederich, dalam buku yang
sama, mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan dan kemungkinan-kemungkinan dimana
kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai
tujuan yang dimaksud.
Kebijakan publik merupakan keputusan
politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Karena itu,
karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik
tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut David Easton (dalam Leo Agustino),
yaitu sebagai “otoritas” dalam sistem politik, yaitu: “para senior, kepala
tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasihat, para
raja, dan sebagainya.”
Sedangkan Leo Agustino sendiri
mendefinisikan kebijakan publik, pertama, pada umumnya kebijakan publik
perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu
dari pada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya
mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah
dari pada keputusan yang terpisah-pisah.(2008: 8).
Dari berbagai definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan publik adalah suatu
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga politik yang pada
prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan
untuk melaksanakannya.
Setelah mengetahui kebijakan
publik, maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana seorang kepala daerah
dalam mengambil keputusan (decision making). Menurut J. Kaloh, salah satu
kewajiban kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan adalah
pengambilan keputusan. Kemampuan pengambilan keputusan banyak dipengaruhi oleh
variabel pribadi dari kepala daerah itu sendiri. (2003: 169).
Chester I. Bernard menguraikan
beberapa hal yang berkenaan dengan pengambilan keputusan kepala daerah harus
hati-hati:
- “in not deciding prematurely” jangan mengambil keputusan terlalu cepat, kalau masih ada kesempatan untuk mengendapkan masalah-masalah yang akan diputuskan;
- in not deciding question that are not now pertinent” jangan mengambil keputusan mengenai masalah-masalah yang saat itu belum memerlukan keputusan, dengan maksud untuk mencari saat (waktu) yang tepat (proper timing). Mengingat situasi dan kondisi dapat saja berubah dalam perjalanan waktu, keputusan yang telah diambil (sebelum waktunya) menjadi tidak cocok sama sekali, sehingga perlu diambil keputusan baru;
- in not making decisions that can not be made effective” jangan mengambil keputusan yang tidak dapat dilaksanakan. Hal ini untuk mencegah keragu-raguan di kalangan bawahannya yang dapat menghilangkan kepercayaan dan wibawa kepala daerah; d. in not making decisions that others should make” jangan mengambil keputusan yang seharusnya dibuat oleh orang lain. (Pamudji dalam J. Kaloh, 2003: 170).