Kepastian Hukum
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Kepastian Hukum Radbuch
sebagaimana dikutip oleh Riswandi (2005 : 167) mengemukakan
adanya tiga cita (idée) dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Keadilan menuntut agar hukum selalu
mengedepankan keadilan, kemanfaatan menuntut agar hukum selalu
mengedepankan manfaat, sedangkan kepastian hukum menuntut terutama
adanya peraturan hukum.
Kepastian
hukum dalam artian undang-undang maupun suatu peraturan
setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan pasti oleh pemerintah.
Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum
dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran
hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga (Suseno,
1988 : 79).
Dalam
perspektif hukum, tema kepastian pada prinsipnya selalu
dikaitkan dengan hukum. Mertokusumo (1999 : 145) menjelaskan,
kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan
dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Tema
kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakan tema
yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan dinyatakan
oleh Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan,
maka tugas penciptaan undang-undang itu ada di tangan pembentuk
undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas
menyuarakan isi undang-undang (Manullang, 2007 : 92-93).
Pendapat
Montesquieu, yang ditulis dalam bukunya De
l’esprit des lois (The Spirit of Laws)
pada tahun 1748, merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan
kaum monarki, dimana kepala kerajaan amat menentukan
sistem hukum. Peradilan pada saat itu secara nyata menjadi
pelayan monarki (Utrecht dan Djindang, 1989 : 388).
Pada
tahun 1764, seorang pemikir hukum Italia, Cesare Beccaria,
menulis buku berjudul De deliti e delle pene, yang menerapkan
gagasan Montesquieu dalam bidang hukum pidana. Baginya,
seorang dapat dihukum jika tindakan itu telah diputuskan oleh
legislatif sebelumnya dan oleh sebab itu, eksekutif dapat menindak
dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa
yang telah diputuskan oleh pihak legislatif. Gagasannya ini kemudian
dikenal sebagai azas nullum crimen sine lege, yang pada tujuannya
memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara terhadap
kesewenangan negara (Boot dalam Manullang, 2007 : 93).
Persoalan
kepastian karena selalu dikaitkan dengan hukum, memberikan
konsekuensi bahwa kepastian hukum di sini selalu mempersoalkan
hubungan hukum antara warga negara dengan negara. Sebagai
sebuah nilai, kepastian hukum tidak semata-mata selalu berkaitan
dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah
perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan. Maka itu, aktor-aktor
yang mungkin melakukan kesewenang-wenangan, tidak terbatas
pada negara saja, tetapi juga oleh sekelompok pihak lain di luar
negara (Manullang, 2007 : 94).
Dalam
diskursus orisinalnya, pada masa Yunani kuno, perdebatan
mengenai peran negara dan relasinya dengan hukum, dalam melindungi
warga negara merupakan salah satu topik utamanya (Suseno,
2003 : 79). Perlindungan terhadap warga negara memang terletak
pada negara, jika negara itu mengakui adanya konsep Rechtstaat. Dalam
konsep ini, suatu negara dianggap menganut prinsip Rechtstaat, apabila
dalam penyelenggaraan negara itu dilakukan menurut
hukum, yang dituangkan dalam konstitusi (Azhary dalam Manullang,
2007 : 94).
Apabila ada sekelompok pihak di luar negara yang
mempunyai kekuasaan dan berpotensi digunakan secara sewenang-wenang,
negaralah yang pertama-tama bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan bagi warga negaranya, karena negara adalah
subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum untuk melaksanakan
kepentingan umum menurut hukum yang baik.
Dengan adanya
negara dan hukum (konstitusi) yang pada dasarnya merupakan perwujudan
dari kehendak bersama rakyat yang berdaulat, oleh sebab itu
nilai kepastian yang berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang pada
prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara
dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum
memberikan tanggung jawab kepada negara untuk menjalankannya.
Di sinilah letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan
peranan negara terlihat (Manullang, 2007 : 95).