Lingkup Sistem Peradilan Pidana
Monday, 20 March 2017
SUDUT HUKUM | Istilah sistem berasal dari
bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun
dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts. Secara sederhana
sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk
mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan
dari yang rendah sampai yang tinggi.
Stanford Optner menyebutkan:”sistem
tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk
mencapai tujuan keseluruhan”. Hagan membedakan pengertian antara “Criminal
Justice Process” dan “Criminal Justice System” yang pertama adalah setiap tahap dari
suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang
membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi
antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan.
Sistem yang tersusun dari
sekumpulan unsur-unsur ini dapat dilihat pada sistem peradilan pidana yang bertujuan
untuk menegakkan hukum secara proporsional yang dilakukan baik secara
normatif maupun secara filosofis. Sistem peradilan pidana berarti terdapat suatu
keterpaduan pendapat, sikap dan langkah terhadap pencegahan serta pemberantasan
kejahatan dalam masyarakat. Terpadu dalam sistem peradilan, adalah
keterpaduan hubungan antar penegak hukum. Masingmasing komponen dalam proses peradilan
pidana tidak mungkin akan dapat menanggulangi pencegahan dan
pemberantasan kejahatan menurut kepentingan dan lembaganya sendiri.
Masing-masing komponen merupakan sub-sistem dalam keseluruhan sistem peradilan
pidana.
Adapun komponen sistem peradilan
pidana ini terkandung didalamnya gerak sistemik dari subsistem-subsistem
pendukungnya, yakni yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, lembaga permasyarakatan, dan advokat yang secara keseluruhan dan merupakan
satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan yang menjadi
tujuan sistem peradilan pidana. Masalah pencegahan dan penanggulangan
kejahatan, adalah salah satu tujuan hukum sistem peradilan pidana yang
dipengaruhi oleh kelembagaan yang diatur oleh sistem peradilan pidana. Salah
satu faktor mendasar yang menghalangi efektivitas sistem peradilan pidana ini adalah
ketidakteraturan dari penyelenggaraan peradilan pidana.
Muladi menyatakan bahwa sebagai
suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau
sub-sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar
dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Sub-Subsistem ini
berupa polisi, jaksa, Pengadilan dan lembaga koreksi baik yang sifatnya
institusional maupun yang nonkonstitusional. Dalam hal ini mengingat peranannya yang
semakin besar, penasihat hukum dapat dimasukkan sebagai quasi
sub-system.
Kombinasi antara efisiensi dan
efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu efisiensi
masing-masing sub-sistem, dengan sendirinya menghasilkan efektivitas. Kegagalan pada
sub-sistem akan mengurangi efektivitas sistem tersebut, bahkan dapat menjadikan
sistem tersebut disfungsional. Menurut Marjono Reksodiputro, apabila
keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada tiga kerugian
yang dapat diperkirakan:
- Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
- Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing instansi sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana ; dan
- Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
Romli Atmasamita memberikan
penjelasan bahwa pengertian sistem pengendalian dalam batasan tersebut di atas
merupakan bahasa manajemen yang berarti mengendalikan atau menguasai atau
melakukan pengekangan (mengekang). Dalam istilah tersebut terkandung
aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan sedangkan apabila
sistem peradilan pidana diartikan sebagai suatu penegakan hukum atau law
enforcement maka didalamnya terkandung aspek hukum yang menitikberatkan kepada
rasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi
kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum (certainty) dilain pihak,
apabila pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social
defense yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan
masyarakat maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang
menitik beratkan pada kegunaan (espediency).
“Sistem peradilan pidana menuntut
adanya keselarasan hubungan antara Subsistem secara administrasi
dalam implementasi sistem peradilan pidana yang terpadu (the administration of
justice). Secara pragmatis, persoalan adminsitrasi peradilan dalam sistem peradilan
pidana menjadi faktor yang signifikan dalam prinsip penegakan hukum dan
keadilan melalui subsistem sistem peradilan pidana yang terpadu. Sebab apabila
masalah administrasi peradilan tidak bagus dalam konsep dan implementasinya,
tujuan yang ingin dicapai oleh adanya sistem peradilan pidana yang terpadu,
tidak mungkin bisa terwujud dan yang terjadi justru akan sebaliknya, yakni
kegagalan dari prinsip-prinsip dan asas hukum yang menjadi dasar dari kerangka
normatif sistem peradilan pidana terpadu.
Berdasarkan pandangan tersebut,
maka dapat digambarkan bahwa kajian terhadap sistem peradilan pidana, selalu
mempunyai konsekuensi dan implikasi sebagai berikut:
- Semua subsistem akan saling tergantung (interdependent), karena produk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi subsistem lain.
- Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and cooperation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi dari keseluruhan sistem.
- Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu subsistem akan berpengaruh pada subsistem lain.
Pelaksanaan sistem peradilan
pidana sesuai dengan fungsi yang sebenarnya akan membuat masyarakat terlindungi
dari kejahatan. Fungsi yang harus dijalankan dalam penyelenggaraan sistem
peradilan pidana:
- Melindungi masyarakat melalui upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasitasi terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap masyarakat.
- Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum, dengan menjamin adanya due process dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.
- Menjaga hukum dan ketertiban.
- Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut.
- Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan.
Sistem peradilan pidana merupakan
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana
materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan
jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana
berupa ketidakadilan.
Sistem peradilan pidana di
Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem, pertama substansi,
merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu
serangkaian ketentuan sistematis untuk memberikan arahan atau petunjuk
kepada aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas
sehari-harinya, kedua, Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga permasyarakatan, Ketiga,
Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.
Dengan kata lain kultur merupakan penggerak atau bensin dari sistem peradilan
pidana.
Berbagai pandangan mengenai
sistem peradilan pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang
yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan kontruksi sosial yang
menunjukkan proses interaksi manusia (didalamnya ada aparatur hukum,
pengacara, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun
dunia realitas yang mereka ciptakan. Berkaitan dengan pemikiran di
atas Muladi menegaskan bahwa: “Sistem peradilan pidana
mempunyai dua dimensi fungsional ganda.
Di satu pihak berfungsi sebagai
sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada
tingkatan tertentu (crime containment system). Di lain pihak
sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder (secondary
prevention), yakni mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka
yang pernah melakukan tindak kejahatandan mereka yang bermaksud melakukan
kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana”.
Sistem peradilan pidana (Criminal
Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Menanggulangi berarti di sini adalah usaha untuk mengendalikan
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini
dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat
yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”, dengan
diajukannya pelaku kejahatan ke sidang Pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana.
Rujukan:
- Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama,Bandung, 2004
- Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet. 1, Jakarta, 1986.
- Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII, Yogyakarta, 2005.
- Loebby Loqman, Pidana dan Pemidanaan. Datacom, Jakarta, 2002
- Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, 1995
- Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbitan Universitas Diponogoro, Semarang, 2002,
- Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Edisi Pertama, Cet. Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1999.