Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Wednesday, 8 March 2017
SUDUT HUKUM | Pembuktian adalah penyajian
alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada
hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil
tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh
dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.
Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah
kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung
dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau
dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Subekti, mantan
Ketua MA RI dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat
bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan,
diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.
Menurut Sudikno Mertokusumo,
membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu:
- Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.
- Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi kepastian tetapi bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
- Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
- Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga disebut conviction raisonee.
- Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata), tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Pada tahapan penyelesaian
perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap terpenting untuk
membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu,
atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan. Pada tahap pembuktian juga, pihak tergugat dapat
menggunakan haknya untuk menyangkal dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat.
Melalui pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti inilah, hakim akan
memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu
perkara.
Hukum pembuktian (law of
evidence) dalam beperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam
proses ligitasi. Kompleksitas itu akan semakin rumit karena pembuktian
berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past
event) sebagai suatu kebenaran (truth).
Meskipun kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang demikian pun tetap menghadapi kesulitan.
Baca Juga
Meskipun kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang demikian pun tetap menghadapi kesulitan.
Sampai saat ini sistem
pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan ketentuan-ketentuan
yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal
1865 - Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine Indonesische Reglement (HIR)
berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam
Pasal 162 – Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 – Pasal 177, dan dalam Rechtreglement
Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah
luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 282 – Pasal 314.
Teori Kekuatan Pembuktian
Suatu Alat Bukti
Ketika membahas tentang
penilaian pembuktian, alat bukti yang diajukan oleh para pihak ke persidangan
akan dilakukan penilaian, yang dalam hal ini yang berwenang untuk melakukan
penilaian adalah Hakim. Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur
sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk
undang-undang dapat mengikat Hakim pada alat-alat bukti tertentu (misalnya alat
bukti surat), sehingga Hakim tidak bebas menilainya. Salah satu contohnya
adalah alat bukti surat yang mempunyai kekuatan pembuktian mengikat bagi Hakim
maupun para pihak.
Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan pada Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya keterangan saksi yang mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya diserahkan pada Hakim untuk menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi.
Pada saat menilai alat bukti,
hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh Undang-undang, dalam hal ini
terdapat dua teori, yaitu:
- Teori Pembuktian Bebas
Hakim bebas menilai alat-alat
bukti yang diajukan oleh para pihak yang beperkara, baik alat-alat bukti yang
sudah disebutkan oleh Undang-Undang, maupun alat-alat bukti yang tidak
disebutkan oleh Undang-Undang.
- Teori Pembuktian Terikat
Hakim terikat dengan alat
pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang beperkara. Putusan yang
dijatuhkan, harus selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan dalam
persidangan. Lebih lanjut teori ini dibagi menjadi:
1) Teori Pembuktian Negatif
Hakim terikat dengan larangan
Undang-Undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
2) Teori Pembuktian Positif
Hakim terikat dengan perintah
Undang-Undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
3) Teori Pembuktian Gabungan
Hakim bebas dan terikat dalam
menilai hasil pembuktian. Dalam menilai pembuktian, seorang hakim harus pula
mengingat asas-asas yang penting dalam hukum pembuktian perdata.
Kekuatan pembuktian alat bukti
surat dapat dibedakan antara yang berbentuk akta dengan bukan akta. Surat yang
berbentuk akta juga dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta di bawah
tangan. Kekuatan pembuktian suatu akta dapat dibedakan menjadi:
- Kekuatan pembuktian luar
Suatu akta otentik yang
diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik, kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta otentik. Selama tidak
dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar.
Maksud dari kata memiliki daya pembuktian luar adalah melekatkan prinsip
anggapan hukum bahwa setiap akta otentik harus dianggap benar sebagai akta
otentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.
- Kekuatan pembuktian formil
Berdasarkan Pasal 1871
KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar
diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu
segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta otentik dianggap
benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan.
Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada
keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya
tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta:
mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus
dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh
para pihak dan hakim.
- Kekuatan pembuktian materil
Mengenai kekuatan pembuktian
materil akta otentik menyangkut permasalahan benar atau tidak keterangan yang
tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah
persoalan pokok akta otentik.
Asas-asas Hukum Pembuktian
Suatu sistem hukum merupakan suatu kesatuan aturan-aturan hukum yang berhubungan satu dengan lainnya, dan telah diatur serta disusun berdasarkan asas-asas. Asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok yang tidak dapat lagi dijabarkan lebih lanjut, diatasnya tidak lagi ditemukan aturan-aturan yang lebih tinggi lagi. Asas hukum merupakan dasar bagi aturan-aturan hukum yang lebih rendah.
Perbedaan antara asas hukum
dengan peraturan yang lebih rendah adalah bahwa asas hukum lebih abstrak,
apabila asas hukum tidak dimasukkan dalam undang-undang, tidak mengikat bagi
hakim, melainkan hanya sebagai pedoman saja. Akan tetapi, bila asas itu secara
tegas dituangkan dalam undang-undang, mempunyai kekuatan mengikat sebagai
undang-undang sehingga hakim berkewajiban untuk menerapkan asas tersebut secara
langsung terhadap semua kasus-kasus nyata yang atasnya tidak terdapat
aturan-aturan khusus.
Asas-asas dalam Hukum Pembuktian adalah sebagai berikut:
Asas-asas dalam Hukum Pembuktian adalah sebagai berikut:
- Asas ius curia novit
Hakim dianggap mengetahui akan
hukum, hal ini berlaku juga dalam pembuktian, karena dalam membuktikan, tentang
hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi dianggap
harus diketahui dan diterapkan oleh hakim.
- Asas audi et altera partem
Asas ini berarti bahwa kedua
belah pihak yang bersengketa harus diperlakukan sama (equal justice under
law). Kedudukan prosesual yang sama bagi para pihak di muka hakim. Ini
berarti bahwa hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan
kedudukan para pihak secara seimbang. Dengan demikian kemungkinan untuk menang
bagi para pihak haruslah sama.
- Asas actor sequitur forum rei
Gugatan harus diajukan pada
pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal. Asas ini dikembangkan dari asas presumption
of innocence yang dikenal dalam hukum pidana. 35
- Asas affirmandi incumbit probatio
Asas ini mengandung arti bahwa
siapa yang mengaku memiliki hak maka ia harus membuktikannya.
- Asas acta publica probant sese ipsa
Asas ini berkaitan dengan
pembuktian suatu akta otentik, yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak
sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang telah ditentukan, akta itu
berlaku atau dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Beban pembuktiannya
terletak pada siapa yang mempersoalkan otentik tidaknya akta tersebut.
- Asas testimonium de auditu
Merupakan asas dalam pembuktian
dengan menggunakan alat bukti kesaksian, artinya adalah keterangan yang saksi
peroleh dari orang lain, saksi tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri
melainkan mendengar dari orang lain tentang kejadian tersebut. Pada umumnya,
kesaksian berdasarkan pendengaran ini tidak diperkenankan, karena keterangan
yang diberikan bukan peristiwa yang dialaminya sendiri, sehingga tidak
merupakan alat bukti dan tidak perlu lagi dipertimbangkan. Hal ini sesuai
dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 15 Maret 1972 No. 547 K/Sip/1971,
yang menentukan: Keterangan saksi de auditu bukan merupakan alat bukti.
- Asas unus testis nullus testis
Yang berarti satu saksi bukan
saksi, artinya bahwa satu alat bukti saja tidaklah cukup untuk membuktikan
kebenaran suatu peristiwa atau adanya hak. Pasal 169 HIR/306 RBg menyebutkan
bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dapat
dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 665 K/Sip/1973, yang menentukan: “Satu surat bukti saja
tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain tidak dapat diterima sebagai pembuktian”.
Mengenai asas testimonium de auditu dan asas unus testis nullus
testis akan dibahas lebih lanjut pada bagian alat bukti saksi di bawah ini.
Teori Beban Pembuktian
Di dalam pembagian beban
pembuktian dikenal asas, yaitu siapa yang mendalilkan sesuatu dia harus
membuktikannya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 163 HIR/283 RBg. Hal
ini secara sepintas mudah untuk diterapkan. Namun, sesungguhnya dalam praktik merupakan
hal yang sukar untuk menentukan secara tepat siapa yang harus dibebani
kewajiban untuk membuktikan sesuatu.11 Menurut Peneliti, kewajiban untuk membuktikan sesuatu
tersebut, terletak pada siapa yang mendalilkan seperti dalam gugatan, dalam hal
ini adalah penggugat, namun apabila tergugat mengajukan dalil bantahannya, maka
dia dibebani pula untuk membuktikan dalil bantahannya,
dalam hal ini kesempatan untuk membuktikan dalilnya adalah penggugat yang kemudian
diikuti oleh tergugat.
Membicarakan tentang penilaian
keabsahan penggunaan alat bukti di dalam hukum acara pidana, terdapat prinsip
yang sama dengan yang diatur dalam hukum acara perdata sebagaimana dimaksud
Pasal 294 ayat (1) HIR. Pasal 183 KUHAP, pada asasnya mengatur tentang:13 ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukanya” Sedangkan, di dalam hukum acara perdata dalam
rangka penilaian keabsahan penggunaan alat bukti tidak terdapat ketentuan
semacam di atas, dan hanya mengenal prinsip pembuktian sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 163 HIR/283 RBg jo. Pasal 1865 KUHPerdata yang menentukan bahwa: “Barangsiapa
menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikannya”
Dari peristiwa itu, yang harus
dibuktikan adalah kebenarannya. Dalam hukum acara perdata, kebenaran yang harus
dicari oleh hakim adalah kebenaran formal, artinya bahwa hakim tidak boleh
melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak yang beperkara. Pasal 178
ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg, melarang
hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan
mengabulkan lebih dari yang dituntut.
Dengan demikian, berdasarkan
rumusan Pasal 163 HIR/283 RBg jo. Pasal 1865 KUHPerdata tersebut, maka kedua
belah pihak, baik itu penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan beban
pembuktian oleh hakim. Hal tersebut bermakna bahwa hakim wajib memberikan beban
pembuktian kepada penggugat untuk membuktikan dalil atau peristiwa yang dapat
mendukung dalil tersebut, yang diajukan oleh penggugat, sedangkan bagi
tergugat, hakim wajib memberikan suatu beban pembuktian untuk membuktikan
bantahannya atas dalil yang diajukan oleh penggugat. Penggugat tidak diwajibkan
membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat
tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh
penggugat. Dengan demikian, jika penggugat tidak bisa membuktikan dalil atau
peristiwa yang diajukannya, ia harus dikalahkan, sedangkan jika tergugat tidak
dapat membuktikan bantahannya, ia harus dikalahkan.
Ada suatu peristiwa yang tidak
memerlukan pembuktian lagi karena kebenarannya sudah diakui umum, yang disebut
peristiwa notoir (notoir feiten, noticeable facts). Setiap orang
pasti mengetahuinya, sehingga majelis hakim harus yakin sedemikian
adanya. Misalnya, sedang berlaku larangan keluar malam, tak seorangpun boleh
keluar rumah kecuali petugas keamanan.
Teori-teori yang berkaitan
dengan beban pembuktian yang dapat menjadi pedoman bagi hakim, yaitu:
- Teori Hukum Subyektif
Teori ini berpendapat bahwa
suatu proses perdata selalu merupakan pelaksanaan dari hukum subyektif, dan
siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai hak harus membuktikannya. Dalam
hal ini penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Penggugat berkewajiban
membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak,
sedangkan tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa
(syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat
menghalang-halangi dan bersifat membatalkan.
- Teori Hukum Obyektif
Menurut teori ini, penggugat
harus membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukannya dan kemudian
mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. Hakim yang
tugasnya menerapkan hukum objektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak,
hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum
objektif ada.
- Teori Hukum Publik
Mengatakan bahwa mencari
kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik,
sehingga hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran.
Disamping itu, ada kewajiban para pihak yang sifatnya hukum publik, yaitu untuk
membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi
pidana.
- Teori Hukum Acara
Asas kedudukan prosesual yang
sama bagi para pihak di muka hakim (audi et alteram partem), merupakan
pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, asas ini membawa akibat
bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu,
hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.
Mengenai alat-alat bukti dan
hukum pembuktian, selain diatur dalam HIR dan RBg, juga diatur dalam
KUHPerdata. Akan tetapi, karena hukum pembuktian perdata merupakan bagian dari
hukum acara perdata, pengadilan pada prinsipnya dalam menangani perkara perdata
harus mendasarkan pada hukum pembuktian dari HIR dan RBg, sedangkan KUHPerdata
hanya sebagai pedoman saja apabila diperlukan, misalnya dalam suatu perkara
perdata harus dilaksanakan suatu peraturan hukum perdata yang termuat dalam
KUHPerdata dan pelaksanaan ini hanya tepat jika hukum KUHPerdata yang diikuti.
Pembuktian dalam perkara
perdata, khususnya di Indonesia tidaklah terlepas dari Buku keempat KUHPerdata
yang mengatur mengenai Pembuktian dan Daluwarsa. Selain KUHPerdata, masalah
pembuktian perkara perdata di Indonesia juga diatur dalam Reglemen Indonesia
yang dibaharui, Staatblaad 1941, Nomor 44 (RIB) dan di dalam Regelement
Buiten Gewesten (RBG) atau Reglemen Daerah Seberang (RDS). HIR atau RIB
hanya diperuntukkan bagi Jawa dan Madura, sedangkan RBG atau RDS diperuntukkan
di luar Jawa dan Madura. Pembuktian dalam buku keempat KUHPerdata adalah aspek
materiil dari hukum acara perdata, sedangkan pembuktian dalam RIB dan RDS
mengatur aspek formil dari hukum acara perdata.