Penerapan Hukum Islam di Indonesia
Saturday, 11 March 2017
SUDUT HUKUM | Di Indonesia perkembangan hukum
Islam mengalami berbagai fase perkembangan, mulai dari masa sebelum dan sesudah
penjajahan Belanda. Masa penjajahan Jepang
sampai pada masa setelah Indonesia Merdeka. Proses sejarah hukum Islam di
Indonesia diwarnai benturan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan
kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil
oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu yang dapat menjadi bahan telaah
penting pada masa datang.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk kawasan nusantara yang dimulai dari kawasan utara pulau Sumatera, sehingga kawasan itu dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah bagi para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air, pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai, di wilayah Aceh Utara.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk kawasan nusantara yang dimulai dari kawasan utara pulau Sumatera, sehingga kawasan itu dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah bagi para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air, pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai, di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat
menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa
kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.
Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri
Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri
Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate dan Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut
sebagaimana tercatat dalam sejarah itu tentu saja kemudian menetapkan hukum
Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum
positif di setiap kesultanan tersebut, tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah
masyarakat muslim masa itu.
Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara sekitar abad 16 dan 17. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran organisasi perdagangan Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan karena pemerintah kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu, disamping menjalankan fungsi perdagangan VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja, dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan, ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa kompromi yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara sekitar abad 16 dan 17. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran organisasi perdagangan Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan karena pemerintah kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu, disamping menjalankan fungsi perdagangan VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja, dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan, ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa kompromi yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
- Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam
- Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
- Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pada pertengahan abad 19,
Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik hukum yang sadar, yaitu
kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum
di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr.
Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan
undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan
asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar teori resepsi yang
dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922
kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama di
Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan dengan alasan, ia belum diterima
oleh hukum adat setempat. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal
134 ayat 2 Indische Staatsregeling yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement,
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama
Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain
oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan
Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. Ketika Indonesia di jajah
oleh Jepang, pemerintah Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik
simpati umat Islam di Indonesia, antara lain:
- Janji panglima militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa,
- Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri,
- Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU,
- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan Oktober 1943,
- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA, dan
- Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian dimentahkan oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada
perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa
kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah
39
posisi Islam. Islam tidak
memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan
Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam.
Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu
kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan. Hukum Islam di Indonesia pada
masa setelah kemerdekaan mulai berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh K.H.
Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba
mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat
fraksi-fraksi Islam di DPR-GR.
Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-Undang No.14 Tahun 1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan undang-undang ini, dengan sendirinya–menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal orde baru, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil pada bulan Februari 1988 Soeharto sebagai Presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama pada tahun 1991.
Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-Undang No.14 Tahun 1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan undang-undang ini, dengan sendirinya–menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal orde baru, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil pada bulan Februari 1988 Soeharto sebagai Presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama pada tahun 1991.
40
Peraturan tentang hukum keluarga
Islam di Indenesia terdapat dalam beberapa undang-undang yang terpisah, antara
lain; Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang
Perwakafan, Undang-Undang Pengelolaan Zakat, dan beberapa peraturan lainnya dan
terakhir dengan kodifikasi hukum Islam yang dinamakan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Pemasalahan hukum Islam yang dapat diselesaikan di Pengadilan Agama juga
sangat terbatas, tidak seluas hukum keluarga Islam di negeri Pulau Pinang. Di
Indonesia, hukum keluarga Islam hanya mengatur masalah keperdataan dan tidak
termasuk masalah pidana terhadap pelanggaran peraturan keluarga Islam tersebut.
Kewenangan Pengadilan Agama masih sebatas:
Kewenangan Pengadilan Agama masih sebatas:
- AHWAL AL SYAKHSHIYAH (Hukum Keluarga) meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, kecuali wakaf, hibah dan shadaqah, yaitu:
- Pencegahan Perkawinan,
- Penolakan Perkawinan oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN),
- Pembatalan Perkawinan,
- Kelalaian atas kewajiban suami atau isteri,
- Cerai Talak,
- Cerai Gugat,
- Harta Bersama,
- Penguasaan anak,
- Nafkah anak oleh Ibu karena ayah tidak mampu,
- Pengesahan anak,
- Pencabutan kekuasaan orang tua,
- Hak-hak bekas isteri,
- Pencabutan kekuasaan wali,
- Penunjukan wali,
- Asal Usul anak,
- Penolakan kawin campuran,
- Izin kawin,
- Dispensasi kawin, dan
- Wali adhol.
- MUAMALAT (Hukum Perdata) yang meliputi :
- Jual beli, hutang piutang;
- Qiradh (Permodalan);
- Musaqah, muzara‘ah. Mukhabarah (bagi hasil pertaniah);
- Wakilah (kuasa), Syirkah (perkongsian);
- Ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf‘ah (hak Langgeh), rahnun (gadai);
- Ihwalul mawat (pembukaan lahan), ma‘adin (tambang), luqathah (barang temuan);
- Perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful;
- Perburuhan;
- Wakaf, hibah, shadaqah, dan hadiah.
Setelah melalui perjalanan yang
panjang, di era reformasi ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya
secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka
peluang lahirnya peraturan perundang-undangan yang berlandaskan hukum Islam.
Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang
42
menegaskan bahwa peraturan daerah
yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia perlu
ditampung, dan peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan
yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya
kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan
lainnya telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya
adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari‘at Islam. Aturan
inipun masih berlaku hanya untuk daerah Aceh dan belum merambah ke daerah lain.
Hal itupun hanya sebatas pidana ringan meliputi:
Hal itupun hanya sebatas pidana ringan meliputi:
- Hudud yang meliputi:
- Zina,
- Menuduh berzina (qadhaf),
- Mencuri,
- Merampok,
- Minuman keras dan napza,
- Murtad, dan
- Pemberontakan (bughaat).
- Qishash/diat yang meliputi:
- Pembunuhan,
- Penganiayaan;
- Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syari‘at selain hudud dan qishash/diat seperti:
- Judi,
- Khalwat, dan
- Meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.
#sejarah hukum islam di indonesia pdf, teori fictie hukum adalah, makalah sejarah hukum islam, pengertian teori fictie hukum, makalah sejarah hukum islam di indonesia, sejarah hukum islam di dunia, sejarah hukum islam pdf, sejarah hukum islam di indonesia masa kerajaan islam.