Putusan Mahkamah Konstitusi
Saturday, 11 March 2017
SUDUT HUKUM | Selain hal pokok, sehubungan
dengan putusan MK, maka ada beberapa hal lain yang juga harus
diperhatikan, yaitu ketiadaan upaya hukum terhadap putusan MK yang diatur pada pasal 10 ayat
(1) UU MK. MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Putusan bersifat final
karena tidak ada lembaga lain yang berhak melakukan review terhadap putusan
tersebut.
Hal lain adalah adanya asas
non-retroaktif yang diatur dalam pasal 58 UU MK. Pasal 58 UU MK yang berbunyi:
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ini berarti, putusan MK yang
menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945
tidak berlaku surut, dan akibat hukum yang timbul dihitung sejak putusan itu
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini. Pengecualian terhadap asas
non-rektroaktif ini terdapat pada MK negara lain, sebut saja MK Korea Selatan
dan Italia. UU MK Korea mengatur hal yang sangat berbeda dengan pasal 58 UU
MK, karena membuat pengecualian tetap berlaku surut bagi undang-undang
hukum pidana. Di Italia, akibat hukumnya bahkan lebih luas. Jika seorang
terdakwa dihukum atas undang-undang pidana yang akhirnya dinyatakan
inkonstitusional, maka putusan yang mendakwanya menjadi batal, dan dengan
sendirinya terdakwa harus dibebaskan.
Maruarar Siahaan memiliki
pandangan bahwa putusan MK yang diucapkan dihadapan sidang yang
terbuka untuk umum memiliki 3 kekuatan, yaitu:
- Kekuatan Mengikat
Bahwa Putusan yang dihasilkan MK
tidak hanya mengikat pihak yang berperkara saja seperti halnya
putusan pada pengadilan umum, namun mengikat seluruh komponen masyarakat Indonesia,
termasuk lembaga negara dan badan hukum Republik Indonesia. Ia
berlaku sebagaimana hukum yang diciptakan para pembuat undang-undang, itulah
sebabnya hakim MK disebut sebagai negative legislator karena
putusannya bersifat erga omnes, yaitu ditujukan pada semua orang.
- Kekuatan Pembuktian
Dalam perkara konstitusi, maka
permohonan pengujian yang menyangkutvmateri yang sama yang sudah
pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan MK yang
telah berkekuatan hukum tetap tersebut dapat diajukan sebagai alat bukti
dengan kekuatan pasti bahwa apa yang diputus hakim itu dianggap telah benar.
- Kekuatan Eksekutorial
Putusan MK tidak memiliki
kekuatan eksekutorial seperti yang dimiliki pada peradilan umum. Jika pada
peradilan umum, perdata misalnya, pihak yang menang berhak meminta putusan
tersebut dieksekusi atau memnta pihak yang kalah melakukan suatu pembayaran
atau melakukan sesuatu, maka tidak pada lembaga MK. Pada MK, eksekusi
dianggap telah terwujud dengan pengumuman putusan tersebut pada Berita
Negara seperti yang diatur dalam pasal 57 ayat (3) UU MK. Sampai hari ini, belum ada
lembaga yang memberikan hak pada pemohon yang permohonannya
dikabulkan MK, untuk meminta dilaksanakannya putusan tersebut dalam bentuk
perubahan undang-undang yang sudah dianulir MK tersebut.