Pengertian Statehood
Saturday, 4 March 2017
SUDUT HUKUM | Para ahli hukum telah mengemukakan sejumlah
definisi statehood. Sejak tahun 1918, Pasquale Fiore, serang ahli hukum
dari Italia, telah mendefinisikan statehood dengan memberi penekanan
pada kekuasaan politik dan hukum:
The State is an association of a considerable number of men living within a definite territory, constituted in fact as a political society and subject to the supreme authority of a sovereign, who has the power, ability and means to maintain the political organization of the association, with the assistance of the law, and to regulate and protect the rights of the members, to conduct relations with other states and to assume responsibility for its acts.
(Negara adalah sebuah asosiasi
sejumlah besar orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu, yang dibentuk
sebagai masyarakat politik dan tunduk pada otoritas tertinggi yang berdaulat,
yang memiliki kekuatan, kemampuan dan sarana untuk mempertahankan organisasi
politik asosiasi tersebut, dengan bantuan hukum, dan untuk mengatur dan
melindungi hak-hak para anggota, untuk melakukan hubungan dengan negara-negara
lain dan untuk memikul tanggung jawab atas tindakannya.)
Pada tahun 1930, Thomas Baty
dalam bukunya yang berjudul Canons of International Law, mendefinisikan
negara sebagai "kumpulan orang – orang yang terorganisir, yaitu, suatu
himpunan manusia dimana kehendak milik beberapa dari mereka selalu menjadi apa
yang berlaku." Definisi
ini memberi penekanan pada kedaulatan, yaitu kekuatan politik yang terorganisir
atas wilayah dan penduduknya. Baty memberi definisi yang sedikit lebih jauh
daripada beberapa ahli hukum lainnya dalam mendefinisikan karakter internal
negara. Menurutnya, negara
adalah suatu fungsi yang kompleks, yang unsur-unsurnya terdiri dari
orang-orang, budaya dan tradisi, tanah yang mereka tinggali, dan organisasi
mereka sebagai kesatuan yang utuh."
Juga berbeda
dari ahli – ahli lain, Hans Kelsen mencoba untuk mendefinisikan kenegaraan dari
segi hukum. Menurutnya, negara bukanlah merupakan individu - individunya,
melainkan serikat spesifik dari individu dan serikat ini adalah fungsi dari
hukum yang mengatur perilaku bersama mereka. Salah satu hasil teori hukum murni
adalah pengakuan bahwa peraturan koersif yang terdiri dari komunitas politik
yang kita sebut negara adalah tatanan hukum . Apa yang biasanya disebut tatanan
hukum negara, atau tatanan hukum yang didirikan oleh negara, adalah negara itu
sendiri . Hukum dan negara biasanya dianggap dua entitas yang berbeda.
Tetapi jika diakui bahwa negara pada dasarnya suatu peraturan atas perilaku manusia dan bahwa karakteristik penting dari perautan dan paksaan ini adalah elemen penting dari hukum, maka pandangan dualisme tradisional tidak bisa lagi dipertahankan.
Tetapi jika diakui bahwa negara pada dasarnya suatu peraturan atas perilaku manusia dan bahwa karakteristik penting dari perautan dan paksaan ini adalah elemen penting dari hukum, maka pandangan dualisme tradisional tidak bisa lagi dipertahankan.
Formulasi
Kelsen ini tidak menekankan kemerdekaan maupun kepemilikian wilayah sebagaimana
definisi sebelumnya. Mengingat perkembangan masa depan, yang paling penting
adalah merupakan unsur legalitas internasional. Meskipun negara – negara pada
tahun 1930 telah menyatakan keraguan apakah suatu entitas adalah negara jika
negara tersebut muncul melalui pelanggaran hukum internasional (misalnya ,
negara yang disponsori Jepang di Manchuria), Kelsen tidak menganggap pandangan
ini sebagai sesuatu yang penting.
Sebenarnya, sangatlah menarik bahwa seorang ahli hukum yang memikirkan gagasan statehood sebagai tatanan hukum – suatu konsepsi yang progresif dibandingkan dengan yang hanya didasarkan pada efektivitas - tidak banyak mengembangkan gagasan bahwa statehood memerlukan legalitas internasional. Kelsen tetap menawarkan gagasan kenegaraan yang didirikan atas dasar kekuasaan.
Sebenarnya, sangatlah menarik bahwa seorang ahli hukum yang memikirkan gagasan statehood sebagai tatanan hukum – suatu konsepsi yang progresif dibandingkan dengan yang hanya didasarkan pada efektivitas - tidak banyak mengembangkan gagasan bahwa statehood memerlukan legalitas internasional. Kelsen tetap menawarkan gagasan kenegaraan yang didirikan atas dasar kekuasaan.
Meskipun
tampak menjanjikan, definisi Kelsen tentang negara sebagai sistem hukum tidak
bertahan setelah Perang Dunia II. Hanya sedikit, kalaupun ada, penulis yang
tidak mementingkan peran wilayah dan jumlah penduduk. Hersch Lauterpacht,
misalnya, justru sangat menekankan faktor-faktor tersebut.
Gagasan Kelsen tentang legalitas dan kenegaraan akan tetap
ditinjau kembali dalam dimensi baru yang ia sendiri tampaknya telah abaikan -
dimensi internasional. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, Lauterpacht,
meskipun tidak selantang ahli – ahli lain yang menegaskan legalitas
internasional sebagai prasyarat untuk kenegaraan, mulai mengisyaratkan
pandangan yang sesuai dengan krisis Rhodesia dari tahun 1960-an dan 1970-an,
bahwa untuk membentuk kenegaraan, selain kontrol yang efektif, juga diperlukan
kepatuhan terhadap standar hukum internasional minimum.
Dalam usaha
untuk mendefinisikan statehood, masalah yang ada bukanlah tidak adanya
sumber-sumber akademis. Ahli – ahli hukum memberikan begitu banyak pandangan
tentang hal tersebut. Masalah yang ada, sesungguhnya, adalah kurangnya
sumber – sumber hukum lain. Meskipun ada berbagai literatur yang membahas
kenegaraan dan parameternya, sangatlah sedikit sumber otoritatif yang menawarkan
definisi yang bisa diterapkan negara.