Perkawinan Sirri
Monday, 13 March 2017
SUDUT HUKUM | Istilah kawin sirri, sebenarnya
bukan masalah baru dalam masyarakat islam, sebab kitab Al-Muwatha’,
mencatat bahwa istilah kawin sirri berasal dari ucapan Umar
bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang
tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah sirri dan aku tidak
memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam”.
Secara bahasa iatilah “sirri”
berasal dari Kata sirri (bahasa Arab), sirra, israr, berarti rahasia
atau diam-diam. Berdasar arti harfiah tersebut kawin sirri dapat dijabarkan
sebagai proses ikatan suami istri yang dilakukan secara diam-diam atau
rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain selain orang-orang yang
menyaksikan perkawinan tersebut.
Istilah kawin sirri, sebenarnya
bukan masalah baru dalam masyarakat islam, sebab kitab Al-Muwatha’,
mencatat bahwa istilah kawin sirri berasal dari ucapan Umar
bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang
tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah sirri dan aku tidak
memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam”.
Dalam konteks fiqh, nikah sirri
didefinisikan sebagai nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui
oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan
kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan
tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad
tersebut kepada orang lain. Jadi dalam definisi ini, kawin sirri
cenderung menunjukkan pada makna tersembunyinya status perkawinan
seseorang dari masyarakat banyak.
Ibnu Taimiyyah mendefinisikan
kawin sirri sebagai perkawinan yang mana laki-laki menikahi
perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya.56 Pendapat
tersebut juga dinyatakan oleh Gus Mus (Mustofa Bisri)
sebagaimana dikutip oleh Nawar yang menjelaskan tentang kawin sirridalam dua lingkup. Pertama, berarti perkawinan diam-diam tanpa saksi
dan ini menurut kesepakatan ahlul ilmi dari kalangan sahabat nabi dan
tabi’in jelas tidak sah. Kedua, kawin siri/nikah siri dengan memenuhi
ketentuan hukum agama (islam) di mana ada wali, maskawin dan dua orang
saksi. Kawin siri dalam konteks sudah memenuhi sarat ketentuan agama
ini sudah sah. Kawin siri seperti ini juga sah menurut undang-undang
perkawinan no 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka dapat diketahui bahwa perkawinan sirri memiliki makna
perkawinan yang:
- tanpa kejelasan kehadiran saksi dan wali
- tanpa keinginan diketahui oleh masyarakat banyak
- dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, perkawinan sirri dimaknai sebagai perkawinan yang sah menurut agama namun tidak tercatat dalam administrasi negara.
Penyebab kawin sirri
Ada beberapa penyebab yang dapat
menimbulkan perkawinan sirri. Menurut Syarnubi, ada empat sebab
adanya perkawinan sirri, yakni:
- Karena sudah bertunangan
Untuk menunggu waktu perkawinan
yang sah menurut undang-undang dan untuk menghindari dari
perzinaan, maka tidak jarang pasangan yang sudah bertunangan memilih untuk
melakukan perkawinan sirri terlebih dahulu setelah
pertunangan. Perkawinan sirri tersebut kemudian akan dilegalkan dalam
perkawinan yang sah pada waktu yang telah disepakati.
- Untuk menghemat ongkos dan menghindari prosedur administratif yang dianggap berbelit-belit
Prosedur perkawinan sah yang
seringkali dianggap sulit dan berbelit-belit tidak jarang menyebabkan
masyarakat enggan untuk mengurus dan kawin dalam prosedur
perundang-undangan. Kemudahan dan kesederhanaan proses dalam kawinsirri dengan tidak mengurangi legalitas agama terhadap status
perkawinan banyak menyebabkan masyarakat lebih memilih kawin
sirri daripada kawin melalui prosedur perundang-undangan.
- Calon istri terlanjur hamil di luar nikah
Untuk menutupi malu akibat
keadaan tersebut, masyarakat lebih memilih kawin sirri. Sebab jika
dilakukan perkawinan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,
maka perkawinan untuk keadaan seperti itu adalah termasuk
perkawinan wanita hamil. Terlebih lagi dengan kawin sirri, keadaan
wanita yang hamil akan sedikit tertutupi karena perkawinan sirri akan
dapat diakui kapan saja karena tidak ada detail waktu perkawinan dalam
bentuk catatan.
- Untuk menghindari tuntutan hukum dari pihak istri
Umumnya hal ini dilakukan pada
perkawinan yang kedua atau berikutnya. Sehingga dengan
adanya perkawinan sirri, suami tidak akan khawatir jika pada suatu
hari terjadi permasalahan dalam rumah tangganya. Sebab dalam perkawinan
sirri, permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga tidak dapat
diproses secara hukum.
Sementara itu, Syahfekran
menyebutkan bahwa sebab-sebab terjadinya perkawinan sirri
adalah sebagai berikut:
- Image yang buruk terhadap poligami dan UU yang mengikat
Selama ini poligami menjadi salah
satu polemik yang banyak menjadi bahan perbincangan di kalangan
masyarakat; mulai dari konteks sosial hingga kajian hukum dan
dampaknya. Untuk menghindari hal tersebut, maka tidak sedikit masyarakat
yang lebih memilih untuk melaksanakan perkawinan sirri
pada perkawinan kedua atau berikutnya. Sebab dengan
perkawinan sirri, masyarakat sedikit yang tahu perihal tentang perkawinan
kedua atau berikutnya sehingga berpeluang untuk menghindari
image (imej) negatif dari orang lain.
- Tingginya biaya pernikahan
Murah dan mudahnya prosedur
perkawinan sirri membuat masyarakat lebih memilih untuk melakukan
perkawinan sirri daripada perkawinan yang sah menurut
perundang-undangan.
- Dominasi orang tua
Dominasi orang tua kepada anak
tidak jarang menjadikan anak sebagai obyek keinginan orang tua.
Umumnya, dominasi orang tua dalam perkawinan sirri identik dengan
keuntungan-keuntungan yang ingin diperoleh orang tua dari
perkawinan sirri anaknya.
- Pudarnya keharmonisan rumah tangga
Akibat dari pudarnya keharmonisan
rumah tangga kadang membuat pihak suami mencari pasangan
baru. Namun untuk menjaga keutuhan rumah tangganya maka suami lebih
memilih mencari perempuan lain dan mengawininya secara sirri.
Dengan demikian, hubungan yang terjalin antara suami dengan
perempuan barunya tersebut dapat terjalin tanpa diketahui oleh istri yang
sah.
Dampak Kawin Sirri
Menurut Syarnubi Som, dalam
tulisannya yang berjudul “Nikah Sirri Merugikan Perempuan
Menguntungkan Laki-Laki” dampak perkawinan sirri dapat mengena
kepada tiga elemen dasar keluarga yakni ayah (suami), ibu (istri), dan
anak. Dampak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Terhadap istri (ibu)
Secara hukum perempuan yang
dinikah sirri tidak dianggap sebagai isteri yang sah. Dengan
kata lain perkawinan itu dianggap tidak sah. Karena itu isteri
sirri tidak berhak atas nafkah dan harta warisan suami jika suami
meninggal dunia. Isteri sirri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi
perceraian. Isteri sirri tidak berhak mendapat tunjangan istri dan
tunjangan pensiun dari suami, karena namanya tidak tercatat di kantor
suami.
Sedangkan secara sosial, isteri
sirri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan
perkawinan bawah tangan sering dianggap masyarakat tinggal
serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo)
malahan banyak yang dianggap sebagai istri simpanan. Akibatnya
akan mengurangi hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.
Mereka rentan untuk dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung
jawab karena mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat,
mudah ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup dan tidak ada
kepastian status dari suami, karena nikah sirri tidak diakui oleh
hukum.
- Terhadap anak
Secara hukum, anak-anak yang
berasal dari perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahirannya
tidak dicatatkan pula secara hukum. Jika kelahiran anak tidak dapat
dicatatkan secara hukum, berarti melanggar hak asasi anak (Konvensi Hak
Anak). Anak-anak tersebut berstatus sebagai anak diluar perkawinan,
yang berstatus sebagai anak tidak sah dan tidak memiliki hubungan
perdata dengan ayahnya. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 42 dan 43 Undang Undang
Perkawinan dan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam).
Akibat tidak memiliki akta kelahiran,
sulit baginya untuk mendaftar di sekolah negeri.
Kalaupun akte kelahirannya diterbitkan, yang dicantumkan sebagai
orangtuanya adalah nama ibu yang melahirkannya. Tidak tercantumnya
nama ayahnya pada akte kelahiran anak, akan memberi dampak yang sangat
mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan
ibunya. Karena status anak bukan anak yang sah menurut hukum, anak-anak
tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan,
termasuk nafkah dan warisan dari ayahnya.
Anak-anak juga sangat rentan dengan
kekerasan. Mereka kurang memperoleh kasih sayang
yang utuh dari ayah dan ibunya, karena hubungan antara ayah dan
anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal
bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya. Akibatnya, anak jadi
terlantar dan tidak dapat bertumbuh dengan baik. Alhasil, anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan sirri dapat dikatakan sebagai seorang
anak yang tidak mempunyai ayah.
- Terhadap suami (ayah)
Seorang suami yang nikah sirri
justru memperoleh keuntungan, bukannya merugi. Suami bebas
untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya sebagai
perkawinan dibawah tangan, dianggap tidak sah dimata hukum.
Disisi lain, suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajiban untuk
memberi nafkah kepada istri maupun dan anak-anaknya. Suami
juga tidak berkewajiban secara hukum untuk membagi harta gono
gini, nafkah, harta warisan dan sebagainya.
Jika ditelusuri, kerugian
terbesar akibat perkawinan sirri dialami oleh pihak istri dan anak. Paling
tidak ada enam kerugian yang diderita oleh istri dan anak dalam
perkawinan sirri. Kerugian-kerugian tersebut adalah:
- Isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
- Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adapt dan tidak dapat dilakukan melalui jalur hukum formil kenegaraan.
- Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidha) karena tidak tercatat secara hukum.
- Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran. Karena untuk memperoleh akte kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.
- Isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
- Apabila suami sebagai pegawai, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
Berdasarkan penjelasan mengenai
dampak-dampak dari perkawinan sirri di atas, maka
dapat diketahui bahwasanya perkawinan sirri mengandung akibat yang
tidak baik bagi istri dan anak dalam lingkup sosiologis dan hukum.
Jenis Kawin Sirri dan Pendapat Ulama terhadapnya
Berdasarkan definisi perkawinan
sirri, maka secara tidak langsung dapat diketahui klasifikasi dari
perkawinan sirri itu sendiri. Klasifikasi perkawainan sirri dapat
dijelaskan sebagai berikut:
- Perkawinan yang tidak terpenuhi jumlah wali dan ataupun saksinya
Seperti telah dijelaskan di atas,
sejarah perkawinan sirri terjadi pada masa Umar bin Khattab.
Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i
berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika itu terjadi
harus difasakh (batal). Hal
ini karena untuk mencapai tujuan pernikahan
itu, diperlukan persyaratan khusus yang harus dipenuhi sebagaimana
yang telah disyari’atkan oleh Islam. Pernikahan dianggap sah misalnya,
jika dalam pernikahan itu melibatkan wali dan dua orang
saksi. Kedudukan wali dalam pernikahan sangat urgen, agar
perempuan yang hendak menikah mendapat kontrol positif dari
pihak keluarga yang secara simbolikoperasional diwakili oleh wali pihak
perempuan.
Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, fungsi
wali sangat penting agar perempuan yang hendak menikah mendapat
pertimbangan yang matang menyangkut siapa calon suaminya.
Wali sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam
perwaliannya secara otomatis akan melakukan penelusuran atas
asal-usul dan latar belakang laki-laki yang akan menjadi calon suami
perempuan itu. Dan secara timbal balik, wali punya kewajiban pula untuk
meminta persetujuan perempuan yang akan dinikahkan.
- Perkawinan yang tidak dikabarkan (diumumkan)
Apabila saksi telah terpenuhi
tapi para saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan
yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik
memandang perkawinan itu pernikahan sirri dan harus
difasakh, karena yang menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan adalah
pengumuman (I’lan). Keberadaan saksi hanya pelengkap. Maka
perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan
yang tidak memenuhi syarat.
Namun Abu Hanifah, Syafi’i, dan
Ibnu Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah.Abu
Hanifah dan Syafi’i menilai nikah semacam itu bukanlah nikah sirri
karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman (I’lan). Karena itu
kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus.
Kehadiran saksi pada waktu melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili
pengumuman, bahkan meskipun minta dirahasiakan, sebab
menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang. Dengan
demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu berkaitan
dengan fungsi saksi. Ulama sepakat bahwa fungsi saksi adalah
pengumuman (I’lan wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya
perkawinan.
- Perkawinan yang tidak tercatat dalam catatan administrasi kenegaraan
Perkawinan sirri jenis ini
merupakan konsekuensi hukum dari keberadaan perundang-undangan di
Indonesia. Menurut jumhur ulama Indonesia, perkawinan jenis ini
sah menurut agama namun tidak memiliki kekuatan hukum dalam
lingkup perundang-undangan kenegaraan sebagai konsekuensi
dari tidak terdaftarnya perkawinan tersebut.