Sistem Kewarganegaraan
Monday, 13 March 2017
SUDUT HUKUM | Sistem kewarganegaraan
merupakan ketentuan/pedoman yang digunakan dalam menentukan kewarganegaraan
seseorang. Pada dasarnya terdapat tiga sistem yang secara umum dipergunakan untuk
menentukan kriteria siapa yang menjadi warga negara suatu negara, yaitu
kriteria yang didasarkan atas kelahiran, perkawinan dan naturalisasi.
1.
Sistem Kewarganegaraan Berdasarkan Kelahiran
Penentuan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran seseorang dikenal dengan dua asas kewarganegaraan yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman. Soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah, dan sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan demikian ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan atau keibubapakan.
Sebagai contoh, jika sebuah
negara menganut ius soli, maka
seorang yang dilahirkan di negara tersebut mendapatkan hak
sebagai warga negara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis, jika
sebuah negara menganut ius sanguinis, maka
seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki
kewarganegaraan suatu negara tertentu, Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak
mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.
A. Asas Ius
Sanguinis
Kewarganegaraan dari orang tua
yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang
dilahirkan dari orang tua yang berwarganegara Indonesia, ia dengan sendirinya
juga warga negara Indonesia. Asas Ius
sanguinis atau Hukum Darah (law of the blood) atau asas genealogis (keturunan) atau asas
keibubapakan, adalah asas yang menetapkan seseorang mempunyai kewarganegaraan
menurut kewarganegaraan orang tuanya, tanpa melihat di mana ia dilahirkan. Asas ini
dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan, seperti Eropa Kontinental dan
China. Asas ius sanguinis memiliki keuntungan, antara lain:
Baca Juga
- Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga negara;
- Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga negara yang lahir;
- Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme;
- Bagi negara daratan seperti China dan lain-lain, yang tidak menetap pada suatu negara tertentu tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir di tempat lain (negara tetangga).
B. Asas Ius Soli
Pada awalnya, asas
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli
saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di
suatu wilayah negara, maka otomatis
dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Asas ius
soli atau asas tempat kelahiran atau hukum tempat kelahiran (law
of the soil) atau asas teritorial adalah
asas yang menetapkan seseorang mempunyai kewarganegaraan menurut tempat
di mana ia dilahirkan. Asas ini dianut oleh negaranegara imigrasi seprti USA, Australia,
dan Kanada.
Tidak semua daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Di samping dan bersama-sama dengan prinsip ius sanguinis, prinsip ius soli ini juga berlaku di Amerika, Inggris, Perancis, dan juga Indonesia. Tetapi di Jepang, prinsip ius solis ini tidak berlaku. Karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga negara Jepang.
Untuk sementara waktu asas ius
soli menguntungkan, yaitu dengan lahirnya anakanak dari para imigran di negara
tersebut maka putuslah hubungan dengan negara asal. Akan tetapi dengan
semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak
hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain
ini juga berdasarkan realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua tersebut
melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya (misalnya di tempat ibunya).
Jika tetap menganut asas ius soli, maka si
anak hanya akan mendapatkan status
kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas status kewarganegaraan
bapaknya. Atas dasar itulah, maka asas ius sanguinis dimunculkan, sehingga si anak
dapat memiliki status kewarga-negaraan bapaknya.
Dalam perjalanan banyak negara
yang meninggalkan asas ius soli, seperti
Belanda, Belgia, dan lain-lain. Selain
kedua asas tersebut, beberapa negara yang menggabungkan keduanya misalnya
Inggris dan Indonesia.
2. Sistem Kewarganegaraan Berdasarkan Perkawinan
Selain hukum kewarganegaraan
dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat
dari sistem perkawinan. Di dalam sistem perkawinan, terdapat dua buah asas, yaitu
asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak berpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, suami-istri ataupun ikatan keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang
bulat. Untuk merealisasikan
terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-istri, maka semuanya harus tunduk pada
hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitment
menjalankan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak
terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga.
Menurut asas kesatuan hukum,
sang istri akan mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan
maupun kemudian setelah perkawinan berjalan. Negara-negara yang masih
mengikuti asas ini antara lain: Belanda, Belgia, Perancis, Yunani, Italia, Libanon, dan
lainnya. Negara yang menganut asas ini menjamin kesejahteraan para mempelai.
Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, melalui proses hemogenitas dan
asimilasi bangsa. Proses ini akan dicapai apabila kewarganegaraan istri adalah
sama dengan kewarganegaraan suami. Lebih-lebih istri memiliki tugas memelihara anak
yang dilahirkan dari perkawinan, maka akan diragukan bahwa sang ibu akan
dapat mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang baik apabila
kewarganegaraannya berbeda dengan sang ayah anak-anak.
B.
Asas Persamaan Derajat
Dalam asas persamaan derajat,
suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan
masing-masing pihak (suami atau istri). Baik suami ataupun istri tetap berkewarganegaraan
asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami-istri, mereka tetap
memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum diikatkan
menjadi suami istri. Negara-negara yang menggunakan asas ini antara lain:
Australia, Canada, Denmark, Inggris, Jerman, Israel, Swedia, Birma dan lainnya.
Asas ini dapat menghindari
terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing
ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau
berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah
melalui perkawinan dan orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang
diinginkannya, maka selanjutnya ia menceraikan istrinya. Untuk menghindari penyelundupan
hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas persamaan
derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.
3.
Sistem Kewarganegaraan Berdasarkan Naturalisasi
Walaupun tidak dapat memenuhi
status kewarganegaraan melalui sistem kelahiran maupun perkawinan, seseorang
masih dapat mendapatkan status kewarganegaraan melalui proses pewarganegaraan
atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedurpewarganegaraan ini di berbagai
negara sedikit-banyak dapat berlainan, menurut kebutuhan yang dibawakan oleh
kondisi dan situasi negara masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut Kartasapoetra. 1993: 216-7).
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut Kartasapoetra. 1993: 216-7).