Rukun dan syarat kewarisan
Thursday, 13 April 2017
SUDUT HUKUM | Rukun-rukun dalam pembagian kewarisan ada tiga macam yaitu:
- Mauruts, yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang bakal dipussakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun disebut juga tirkah atau turats.
- Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupum mati hukmy. Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati.
- Warits, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan , hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si muwaris.
Dalam syariat Islam ada tiga syarat supaya pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberi hak kepada seorang atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu:
- Orang yang mewariskan (muwarris) benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak termasuk kedalam kategori waris mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.
- Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termassuk dalam pengertian hidup di sini adalah:
- Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
- Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup. Apabila dalam waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian warisannya dibagikan kembali kepada ahli waris. Apabila dua orang mempunyai hubungan nasab meninggal dunia bersamaan waktunya, atau tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal dunia, maka keduanya tidak saling mewarisi, karena ahli waris harus hidup ketika orang yang mewariskan meninggal dunia.
- Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yaitu:
- Hubungan Nasab : (keturunan, kekerabatan), baik pertalian garis lurus keatas (Ushul al-Mayyit), seperti Ayah, Kakek dan lainnya, atau pertalian lurus kebawah (Furu’al al-Mayyit) seperti : anak, cucu, atau pertalian mendatar / menyamping (al-Hawasyi) seperti saudara, paman dan anak turunannya.
- Hubungan perkawinan, yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan. Yang dimakhsud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah menurut Syariat Islam, dimulai sejak akad nikah sampai putusnya ikatan perkawinan ( telah habis masa idah).
- Hubungan perbudakan (wala), yaitu seseorang berhak mendapatkan warisan dari bekas budak (hamba) yang telah dimerdekakannya (dibebaskannya). Pembebasan seorang budak (hamba) berarti pemberian kemerdekaan, sehingga budak mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia lainnya. Apabila yang dimerdekakan itu meninggal dunia dan ia tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan nasab atau pernikahan, maka bekas tuan yang membebaskannya (Mu’tiq) berhak menerima warisan padanya. Akan tetapi, apabila bekas tuannya meninggal dunia, bekas budak yang dibebaskan itu tidak berhak menerima warisan dari harta warisan bekas tuannya.
- Karena hubungan agama Islam, yaitu apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi, maka hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal (perbendaharaan negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat Islam.