-->

Intelijen Yustisial pada Kejaksaan Republik Indonesia

Perlu diketahui kitab perang legendaris “The Art of War”(Seni Perang), yang ditulis sekitar tahun 400-320 SM, karya Sun Wu Seorang filsuf China juga disebut sebagai Sun Tzu, seorang ahli militer dan Jenderal Besar di Kerajaan Wu China, dengan ga,blang menganjurkan untuk memahami pentingnya intelijen dalam lingkup yang universal. Ia mengatakan antara lain bahwa intelijen adalah “sizing up opponents to assess dangers dan distance is poper course of action” yang intinya, informasi yang benar tentang lawan dapat menentukan sikap yang tepat.

Secara etimologi istilah intelijen berasal dari kata inteligensi (intelligence) yang artinya kecerdasan. Hal ini memberi makna bahwa pekerjaan intelijen itu memerlukan suatu kecerdasan tertentu. Sementara dalam arti luas, intelijen adalah proses yang dalam pengelolaannya memerlukan pemikiran untuk menghasilkan informasi penting, tentang sesuatu yang telah dan akan terjadi.

Intelijen Yustisial pada Kejaksaan Republik Indonesia


Sementara itu berdasarkan ruang geraknya, intelijen bekerja tanpa batas. Artinya, ia dapat bekerja secara nasional (domestik) dan juga internasional. Dalam tataran internasional, intelijen dapat digunakan untuk melakukan identifikasi seluruh informasi secara rinci tentang kekuatan, rencana, dan potensi tindakan dari lawan atau negara lain. Sementara dalam tataran domestik, kontribusi intelijen dapat dilakukan untuk dua macam kegunaan. Pertama, mencegah pihak asing memperoleh informasi yang dapat melemahkan dan merugikan negara, dan sebaliknya dapat memperkuatkan lawan. Dengan alasan tersebut, maka lazim dilakukan pemilahan antara organisasi intelijen domestik (domestic intelligence) dan organisasi intelijen luar negeri (forgein intelligence). Kegunaan yang kedua membantu mencegah terjadinya situasi tanpa hukum (lawlessness) karena ada tindakan kriminal yang dapat membahayakan tegaknya public order. Dalam kaitan inilah maka kita mengenal istilah “intelijen yustisia” (law enforcementoriented intelligence) yang biasanya dilekatkan pada aparat penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa.

Kegiatan intelijen tidak dapat dipisahkan dari kegiatan komunikasi. Kegiatan komunikasi yang dimaksud disini mempunyai makna yang khusus, yaitu mempunyai tingkat kerahasiaan yang tinggi; tidak semua informasi dapat bebas disiarkan kepada publik. Semua ini dilakukan untuk menjaga tingkat kerahasian demi kepentingan keamanan nasional. Walaupun dalam komunikasi dikatakan bahwa semua komunikasi mempunyai tujuan, tetapi tujuan yang dimaksud disini adalah menggali data dan informasi, yang selanjutnya dianalisis melalui proses komunikasi take and give. Para petugas intel banyak melakukan proses komunikasi take and give ini untuk konsumsi intelijen bergerak dalam kondisi serba rahasia atau tertutup, karena itu sebagian besar kegiatannya disebut undercover communication.

Secara umum aktivitas intelijen dibagi ke dalam beberapa jenis. Aktivitas pertama adalah pengumpulan informasi. Berdasarkan metode pengumpulan informasi, aktivitas intelijen dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain pengumpulan informasi dari sumber data publik (open source intellience), aktivitas yang mengandalkan kemampuan manusia (human intelligence atau humint), aktivitas yang lebih mengandalkan kemajuan teknologi (technological intelligence atau techint); aktivitas yang menggunakan simbol, sinyal, dan lambang (signal intelligence atau signit) serta aktivitas yang menggunakan foto satelit (imagery intelligence atau imint).

Sesungguhnya ada lima perbedaan dalam “disiplin” sistem pengumpulan informasi (collection) dari intelijen, yaitu:
  • HUMINT : Human Intelligence/intelijen manusia; pengumpulan dan Pengolahan intelijen mentah dari agen klandestin yang bekerja di lapangan.
  • IMINT : Imagery Intelligence/intelijen citra atau gambar; pengumpulan, pemetaan, interpretasi foto udara atau satelit. Terkadang spesialisasi ini juga disebut PHOTINT.
  • MASINT : Measurement and Signature Intelligence/ intelijen pengukuran dan tanda-tanda; suatu istilah kolektif yang menyatukan elemen elemen lain yang tidak masuk dalam definisi intelijen sinyal, intelijen citra, atau intelijen manusia. Kategori ini biasanya terdiri atas intelijen akustik, intelijen radar, deteksi kuensi radio, radiasi yang tidak disengaja, dan pengambilan sampel dan spektro radiometrik. MASINT terutama digunakan untuk mendukung komando-komando militer dan pengguna-pengguna lainya pada skala nasional atau taktis.
  •  OSINT : Open Source Intelligence/ intelijen sumber bebas; Lebih daripada hanya mengkliping koran dan internet, OSINT melibatkan semua rentang sumber informasi swasta yang dapat diakses, diakui, dan tidak rahasia. Sekitar 80% dari OSINT tidak online, bukan dalam bahasa inggris, dan tidak tersedia di AS. Tujuannya adalah untuk memproduksi intelijen tepat waktu dan memadai, dan proses ini melibatkan penemuan, pemilahan, penyaringan, dan penyampaian.
  • SIGNT : Signals Intelligence/ intelijen sinyal, terdiri atas 4 subyek bidang:

  1. Commuincation intelligence/ intelijen komunikasi (COMINT);
  2. Analisis sinyal elektronik, terutama ELINT dan RADINT;
  3. Intelijen sinyal instrumen-instrumen asing (informasi teknis dan intelijen yang dihasilkan dari pengumpulan dan pengolahan telemetri, penggunaan radi beacon, dan sinyal-sinyal asing terkait). Biasanya disingkat menjadi TELINT dan;
  4. Informasi yang berasal dari pengumpulan dan pengolahan inframerah bukan citra dan sinyal cahaya koheren dan non spectrumspreading atau penangkapan frekuensi, yang biasanya disebut sebagai analisis konversi sinyal.
Penulis mengutip berbagai pandangan hukum. Antara lain dari Trasymachus, yang menjelaskan bahwa hukum kerap merupakan kendaraan untuk kepentingankepentingan mereka yang kuat. Menurut Machiavelli, hukum tidak lain adalah alat legitimasi kekuasaan, yang dalam keadaan tertentu dapat menjadi alat pembenaran bagi mereka yang tidak mempunyai kekuatan atau yang dalam posisi lemah.

Dengan demikian dapat di jelaskan, bahwa selain sebagai sarana ketertiban, hukum justru juga mempunyai potensi sebagai alat untuk membenarkan kekerasan, termasuk terorisme. Dalam konteks tertentu, eksistensi hukum dapat terlihat terpisah jauh dari dimensi moralitas dan etika. Dengan demikan, meskipun intelijen telah mendapatkan payung hukum yang berupa Undang-Undang Intelijen Negara, namun harus disadari bahwa hukum tidak selalu paralel dengan moral dan
etika.

Harus selalu diingat, bahwa aksi intelijen atau yang lebih dikenal sebagai operasi intelijen adalah suatu langkah intelijensia. Artinya, operasi intelijen membutuhkan kecerdasan intelektual. Berbagai siasat dapat dipilih oleh intelijen, baik dalam melakukan deteksi cermat untuk suatu serangan terhadap musuh, maupun deteksi dini dalam rangka kontra intelijen. Operasi kontra intelijen merupakan langkah guna mencegah meningkatnya potensi ancaman menjadi kekuatan nyata, yang dapat memporak-porandakan stabilitas sosial, keamanan dan ketertiban masyarakat kita.

Saat ini Indonesia memiliki beberapa intelijen di dalam menghadapi berbagai masalah pertahanan dan keamanan, baik nasional maupun internasional. Badanbadan intelijen tersebut antara lain ialah, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), Badan Intelijen Kepolisian (BIK), Intelijen Yustisial Kejaksaan Agung, Intelijen Ditjen Imigrasi, dan Intelijen Ditjen Bea Cukai.

Berkaitannya pada konsep menghadapi berbagai permasalahan pertahanan dan keamanan dalam negeri, Kejaksaan ikut berperan aktif terutama dalam bidang penertiban dan ketentraman umum, dimana kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, juga pencegahaan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Pada hal ini, tugas dan wewenang tersebut, oleh Jaksa Agung didelegasikan terhadap bahawannya yang dalam hal ini dibawah pengawasan Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel).

Pada proses informasi intelijen kita mengenal Roda Perputaran Intelijen (RPI) atau sering disebut daur intelijen atau intelligence Cycle.Ini Dimaksud sebagai proses pengembangan informasi dasar menjadi produk intelijen bagi pengguna (user) untuk pengambilan keputusan atau tindakan. Empat tahapan RPI adalah perencanaan dan pengarahan (planning and direction), pengumpulan (collection), proses pengolahan (processing), penggunaan dan distribusi (distribution) yang berlaku juga pada intelijen yustisial Kejaksaan.

Keterangan:
  1. Perencanaan dan pengarahan adalah organisasi dalam rangka mengidentifikasi data hingga menyajikan produk intelijen kepada pengguna (user). Tahap ini merupakan awal sekaligus akhir dari RPI, dalam arti awal dirumuskannya pengumpulan bahan keterangan, atau kebutuhan Unsur-unsur Utama Keterangan (UUK), atau Essentiall Element Intelligence (EEI), dan akhir dari rangkaian kegiatan RPI. Keseluruhan proses sangat tergantung dari perencanaan dan pengarahan pimpinan, atau pengambilan keputusan.
  2. Pengumpulan keterangan adalah pengumpulan informasi dasar untuk diolah menjadi produk intelijen. Ada banyak sumber informasi atau keterangan termasuk sumber terbuka seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, buku-buku, dan sejenisnya, yang mudah diperoleh secara terbuka. Di lain pihak, terdapat informasi yang harus diperoleh secara tertutup, yaitu melalui kegiatan rahasia atau clandestine.
  3. Pengolahan adalah menganalisis dan mengolah informasi dasar menjadi laporan intelijen. Kegiatan ini meliputi pencatatan, penilaian, interpretasi, integrasi, dan konklusi, menjadi produk intelijen yang siap digunakan/didistribusikan kepada pengguna (user).
  4. Penggunaan distribusi adalah kegiatan akhir RPI, yaitu penggunaan distribusi kepada pengguna (user) dan pihak lain yang membutuhkan. Proses RPI dapat berakhir atau akan kembali menjadi UUK-UUK yang lain jika dirasa belum lengkap oleh pengguna atau terdapat perkembangan baru.

Sistem informasi intelijen yustisial Kejaksaan memiliki level yang dikelola oleh struktur organisasi yang juga berlevel, “Noise  Data  Information  Intelligence  Knowledge.

Berdasarkan hal itu semua, maka pada kegiatan operasi intelijen yustisial Kejaksaan tersebut sejalan dengan diberikannya tugas Kejaksaan untuk mengawasi Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang membahayakan masyarakat dan negara dengan membentuk Tim Pengawas Kepercayaan dalam Masyarakat (PAKEM). Tim Pakem dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Selanjutnya diterbitkanPeraturanJaksaAgung RI nomor: PER-019/A/JA/08/2015 tanggal 16 September 2015 tentang Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarkat, dan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI tersebut telah diterbitkan Keputusan Jaksa Agung RI nomor: KEP-146/A/JA/09/2015 tanggal 25 September tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat Tingkat Pusat, dimana yang bertindak sebagai Ketua PAKEM dalam hal ini adalah Kejaksaan Agung RI selain masuknya Unsur Badan Intelijen Negara (BIN) dan unsure perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam kepengurusan Tim Koordinasi Pakem.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel