Sejarah Islam Liberal
Saturday, 22 July 2017
Menurut Luthfie, Islam liberal ini mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau Jaringan Islam Liberal, Nurcholish Madjid.
Selanjutnya Luthfie menjelaskan tentang agenda-agenda Islam Liberal, “Saya melihat, paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim selama ini yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansiapasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik.
Agenda pertama adalah agenda politik. Yang dimaksud dengan agenda ini adalah sikap politik kaum muslimin dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku sistem teologis. Persoalan ini boleh dibilang sudah selesai, khususnya setelah para intelektual muslim, semacam Ali Abd Ar-Raziq, Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Tabqani (Iran), dan Nurcholish Majid (Indonesia), menganggap persoalan tersebut sebagai persoalan ijtihad yang diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin.
Agenda kedua adalah agenda toleransi agama ini adalah Islam sangat menghormati kebebasan berkeyakinan dan menjadikannya sebagai asas dalam memeluk suatu kepercayaan. Seseorang hendaknya memilih agama yang diterimanya tanpa paksaan dan provokasi, hendaknya menjadikan pemikiran rasional melindungi agama yang dipeluknya, hingga ia tidak dipaksa untuk memilih selain apa yang dituntutnya. Dengan demikian kebebasan berkeyakinan terbentuk dari tiga unsur, yaitu:
- Pemikiran bebas tanpa dibatasi oleh sesuatu yang telah ada sebelumnya, baik etnis maupun tradisi.
- Mencegah pemaksaan untuk memeluk sesuatu kepercayaan tertentu maka tidak boleh ada pemaksaan dengan ancaman pembunuhan atau semacamnya.
- Melaksanakan tuntutan sesuai dengan apa yang diyakini dan dengan keagamaannya.
Agenda ketiga adalah agenda emansipasi wanita ini adalah dari sini jelaslah bahwa pandangan Islam terhadap wanita sama dengan pandangan terhadap pria dilihat dari segi kemanusiaan. Wanita adalah manusia dan pria pun adalah manusia, masing-masing tidak berbeda dari segi kemanusiaannya.
Bahwa tidak ada keistimewaannya bagi yang satu atas yang lainnya dari sudut ini. Atas dasar inilah pandangan Islam terhadap pria dan wanita adalah sama.
Sesungguhnya kaum wanita adalah setara dengan kaum pria (H.R. Abu Dawud).
Agenda keempat adalah agenda kebebasan berekspresi. Didalam berdemokrasi dibebaskan berbicara, berpikir dan mengemukakan pendapat (freedom to speech and expression) tidak mungkin menghalang-halangi aspirasi masyarakat, apapun bentuknya, senang dan tidak senang. Demokrasi tidak membungkam pemikiran-pemikiran tertentu meskipun pemikiran tersebut dengan nilai demokrasi, karena pembungkaman itu bertentangan dengan masalah demokrasi itu sendiri. Negara-negara yang sudah dewasa dalam berdemokrasi menunjukkan bahwa variasi ideologi dan pemikiran dilindungi oleh negara namun justru disinilah problemnya, karena dalam demokrasi adalah kebebasan penghormatan atas pluralitas, maka demokrasi kelihatan begitu “loyo” untuk menghadapi radikalisme agama.
Mekanisme demokrasi tidak bisa berbuat lagi membiarkannya untuk berkompetisi dengan gagasan dan ide-ide lain. Islam Liberal juga “mendewakan modernitas”, sehingga Islam harus disesuaikan dengan kemodernan. “Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal,” kata Luthfie.
Kajian “Islam Liberal” pada dasarnya berusaha memposisikan Islam sebagai agama yang liberal (membebaskan) karena seharusnya agama (Islam) adalah rahmat bagi seluruh alam. Ulil Abshar Abdalla menggawangi buku pemikiran ini dengan membentuk gagasannya dengan konteks ke-Indonesia-an, mencoba menciptakan atmosfir Islam yang liberal, adil dan toleran.
Bagi muslim tradisional, bahasa al-Qur’an merupakan landasan bagi pengetahuan mutlak tentang dunia. Bagi muslim liberal, bahasa al-Qur’an sederajat dengan hakekat wahyu, namun isi dan makna pewahyuan pada dasarnya tidak bersifat harfiah-verbal. Karena kata-kata dalam Al-Qur’an tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan, maka diperlukan upaya pemahaman yang berbasis pada kata-kata, namun yang tidak hanya terbatas pada kata-kata, dan mencari apa yang sesungguhnya hendak diungkapkan atau diwahyukan melalui bahasa.
Wacana rasional agama Islam bertujuan menyelaraskan antara amalan dengan norma wahyu, sejarah, nalar, atau penafsiran, sedangkan wacana rasional dalam pemikiran liberal selalu mengarah kepada kesepakatan yang berlandaskan kemauan baik. Pemikiran liberal Barat tidak memprediksikan bahwa wacana rasional akan selalu menuju kesepakatan entang bangun institusi yang sama –yakni negara demokrasi ideal– namun meyakini bahwa kesinambungan politik – budaya dalam peradaban Barat terlaksana berkat upaya yang kontinu dalam menerapkan wacana rasional, meski dengan pengalaman sejarah yang heterogen.
Keyakinan ini mulai memudar di bawah pengaruh pragmatisme, behaviorisme epistemologis dan eksistensialisme ontologis, yang pada akhirnya membentuk toleransi menjadi agnastisme dan netralitas moral – terutama yang berkenaan dengan agama dan jati diri keagamaan. Jika masyarakat Barat yakin bahwa superioritas moral mereka bersandar pada perpaduan wacana rasional dan praktek politik mereka, maka contoh praktis dari Barat Liberal akan mendorong adanya interpretasi liberal terhadap ajaran Islam. Namun, jika Barat mulai meragukan superioritas moralnya, maka norma rasionalitas liberal Barat tidak lagi dianggap sebagai penjelasan yang meyakinkan mengenai pengalaman politik di dunia. Bila sudah demikian, praktek-praktek tradisional Islam tidak lagi perlu dijelaskan panjang lebar atau bahkan sekedar dijelaskan. Adapun yang membedakannya dari praktek-praktek Barat tidak lain adalah adanya keinginan untuk mempertahankan otentisitas Islam.
Pertanyaan yang muncul akibat berubahnya sudut pandang ini ialah, apakah wacana liberal Islam bukan merupakan bentuk kesadaran semu, orientalisme Timur atau ketundukan membabi buta terhadap wacana yang diagung-agungkan oleh masyarakat kapitalis dan imperialis Barat sekuler, atau apakah dalam prakteknya ia bersifat rasional dan membebaskan.
Berkurangnya tekanan budaya Barat menjadikan Islam Liberal justru tunduk kepada tekanan muslim tradisional dan fundamentalis lantaran tidak lagi kukuh mempertahankan bermacam aspek liberalisme Barat, kaum muslim liberal menjadi lebih mudah untuk rujuk kembali dengan golongan tradisionalis dan fundamentalis. Wajarlah jika kebangkitan politik Islam pada dekade 1980-an didominasi oleh penolakannya terhadap maksud dan tujuan liberalisme Barat dan tekadnya untuk kembali kepada kejayaan Islam demi mewujudkan inspirasi politik dan budaya otentik yang lepas dari pengaruh Barat. Ciri paling menonjol dari kebangkitan politis Islam masa kini adalah kemauannya untuk berdialog. Oleh sebab itu, kita tidak selayaknya mengabaikan arti penting dari dialog yang telah sekian kali dilakukan.
Dialog akan sia-sia jika tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau peningkatan pemahaman diri. Inilah persoalan yang terselip disela-sela akar perdebatan seputar orientalisme. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Edward Said bukan sekedar, atau sepenuhnya. Kritik susastera, tidak pula ia identik dengan upaya-upaya apologis dari para pembela Islam.
Edward Said menyinggung tentang persoalan filosofis yang sangat kompleks dalam menafsirkan budaya lain. Pendapat Said, mengikuti Faucault, bahwa orientalisme lebih merupakan pembentukan wacana daripada sebuah dialog, perlu kita pertimbangkan untuk bisa memahami argumentasinya. Pembentukan wacana menuntut adanya hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, sedangkan dialog dimaksudkan untuk menghasilkan kesepakatan diantara pihak-pihak yang sederajat. Said menyangkal bahwa dialog lebih mengarah pada bentukan wacana yang represif, hegemonik daripada kesepakatan yang sederajat.
Richard Rorty menempatkan diri di antara pesimisme Faucault dan optimisme Gadamer, dan posisi tengah-tengah inilah yang paling sesuai dengan prasyarat logika liberalisme politik. Rorty tidak menyangkal “faktualita” kesadaran atau peristiwa mental, tidak pula dia mengingkari bahwa kita memiliki hak istimewa untuk mengalami peristiwa-pristiwa mental semacam itu. Dia cenderung menyangkal penegasan Cartesian-Kantian bahwa kesadaran merupakan landasan untuk menentukan benartidaknya sesuatu. Rorty membedakan antara pengalaman subyektif tentang “perasaan” atau rasa nyeri, atau “corak warna”, dan pengalaman sosial yang dapat membentuk kesadaran melalui sarana percakapan. Berbeda dengan mereka yang menyatakan, tanpa bukti meyakinkan, bahwa kesadaran bersifat menggunakan wacana rasional, dan bahwa kritikan terhadap bentuk-bentuk kesadaran yang ada justru akan membebaskan.
Toleransi beragama dengan berlandaskan asumsi yang berlawanan justru akan membentuk sekat antara agama disatu sisi dan etika serta politik disisi lain, atau justru akan menolak upaya menyelaraskan agama dengan liberalisme politik, jika agama membuat claim atas negara liberal, maka ia sendiri harus terbuka terhadap dialektika kritik, nalar, dan wacana, selain itu harus mengajukan pertanyaan tentang kadar kerepresifan dari bentuk-bentuk kesadaran agama tertentu.
Apa yang hendak ditunjukkan oleh kenyataan ini adalah, bahwa sejarah liberalisme Islam di Indonesia minimal memperlihatkan semakin terhisapnya Islam kedalam wacana negara nasional. Islam tidak bisa lagi memperkukuh dirinya lagi sebagai wacana bebas yang universal.
Dengan melihat kenyataan semacam ini, kita tidak usah heran lagi kalau menyaksikan apa yang oleh pengamat sering disebut dengan nada yang sarat “harapan”, rekonsiliasi Islam dan negara. Barangkali kata “rekonsiliasi” harus diralat disini. Rekonsiliasi, biasanya, mengandaikan suatu kekuatan yang setara, setimbang, mungkin yang lebih pas adalah penaklukan, karena sesungguhnya sejarah Islam modern di mana-mana, juga di Indonesia, adalah sejarah “penaklukan”, conquest, penundukan: penundukan Islam terhadap modernitas.