Hukum Membuat Perjanjian Pra Nikah dan Pemenuhannya Dalam Hukum Islam
Saturday, 16 December 2017
SUDUT HUKUM | Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuatnya.(Syarifuddin, 2007:146) Namun kalau sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian pra nikah itu menjadi perbincangan oleh para ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukunnya wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW:
Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (perempuan)”.(HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)
Al-Syaukaniy juga menjelaskan bahwa alasan syarat perkawinan menjadi yang paling berhak dipenuhi sebagaimana hadist diatas yaitu karena urusan pernikahan itu sebagai perkara yang paling hati-hati dan pintunya yang paling sempit.(Mustafa, 1994:535)
Al-Kaththabi menjelaskan bahwa syarat-syarat dalam pernikahan berbeda-beda, diantaranya ada yang wajib dipenuhi karena cara yang ma’ruf, dan diantaranya ada yang tidak perlu ditepati.(Ibnu, 2008:403) Oleh karena itu, kewajiban dalam memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian perkawinan tergantung kepada persyaratan yang ada dalam perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu menjadi tiga, yakni sebagai berikut :
- Syarat yang wajib dipenuhi
Syarat yang wajib dipenuhi adalah syarat yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami istri dalam perkawinan, merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri, sesuai dengan maksud akad dan misi syariat. Artinya syarat-syarat yang diberikan termasuk dalam rangkaian dan tujuan pernikahan, tidak mengurangi hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami istri bergaul secara baik, isteri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan istri harus memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu.
Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk pertama ini wajib dilaksanakan. Pihak yang berjanji terikat dengan persyaratan tersebut. Namun apabila pihak yang berjanji tidak memenuhi persyaratan tersebut, tidak menyebabkan batalnya perkawinan dengan sendirinya.(Syarifuddin, 2007:147)
- Syarat yang tidak wajib dipenuhi
Syarat yang tidak wajib dipenuhi adalah syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan atau yang secara khusus dilarang untuk dilakukan atau memberi mudharat kepada pihak-pihak tertentu, bertentangan dengan maksud akad serta melanggar hukum Allah dan syariat-Nya. Syarat-syarat ini semuanya batal dengan sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum pernikahan dan mengurangi hak-hak suami isteri.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami tidak memberikan nafkah, tidak mau bersetubuh, tidak memberikan mahar, memisahkan diri dari istrinya atau istri yang harus memberi nafkah, atau istri mempersyaratkan tidak akan beranak, isteri mensyaratkan suami menceraikan isteri-istreinya terlebih dahulu, suami mempersyaratkan membayar mahar atau nafkah, atau suami meminta isterinya mencari nafkah yang tidak halal.
Dalam hal syarat bentuk ini maka para ulama sepakat bahwa perjanjian itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang yang melanggar perjanjian, meskipun menepati perjanjian itu asalnya
adalah diperintahkan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah ayat 1. Adapun akadnya sendiri tetap sah karena syarat-syarat tadi berada diluar ijab qabul yang menyebutnya tidak berguna dan tidak disebutkanpun tidaklah merugikan. Oleh karena itu, secara umum dapat dijelaskan bahwa perjanjian pra nikah mempunyai syarat yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Maka apapun bentuk perjanjian itu bertentangan dengan syari’at, maka hukum perjanjian tidak boleh (tidak sah).(Ghazaly, 2006:120-121)
- Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’ untuk dilakukan (Syarifuddin, 2007:147), artinya bahwa syarat ini tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah serta persyaratan ini mengandung kemaslahatan bagi salah satu pasangan.(Abu, 2007:241)
Misalnya isteri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan memadunya, hasil pencarian dalam rumah tangga milik bersama, istri tidak mau pergi bersama suaminya, atau suami tidak boleh menyuruh istri keluar rumah atau kampung. Mengenai wajib atau tidaknya pemenuhan perjanjian bentuk ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifat, Syafi’I dan sebagian besar ulama berpendapat bahwa syarat-syarat tersebut tidak berlaku dan suami
tidak harus memenuhinya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil, yaitu :
a) Rasulullah bersabda :
Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelisihnya), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram”.(H.R At-Thirmidzi No.1352 dan Abu Dawud No.3596 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Menurut mereka, syarat yang mengharamkan yang halal tersebut diantaranya yaitu bermadu, melarang keluar rumah dan pergi bersama, yang semua dihalalkan oleh agama.
b) Rasulullah berssabda :
Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734)
Menurut para ulama yang berpendapat tidak wajib melaksanakan perjanjian tersebut, dikarenakan syarat tersebut tidak ada didalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya dalam agama.(Afandi, 1997:53)
Sedangkan beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat tersebut wajib dipenuhi diantaranya Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi Waqash, Mu’awiyah, Amru bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, Auza’i, Ishaq dan golongan mazhab Ahmad bin Hambal. Pendapat ini didasarkan pada beberapa argument,(Sabiq, 2006:536-537) yaitu :
1) Allah SWT berfirman :
Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan janjia-janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)
2) Rasulullah bersabda:
orang islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian) mereka”.(HR. Tirmidzi:2498)
3) Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Uqba bin Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (perempuan)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)
4) Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya sendiri, ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dan berjanji untuk tetap tinggal di rumahnya (istri). Kemudian suaminya bermaksud mengajaknya pindah lalu mereka (keluarganya) mengadukannya kepada Umar nim Khattab, maka Umar memutuskan bahwa perempuan itu berhak atas janji suaminya (disini hak suami atas istri batal karena adanya perjanjian).
5) Karena janji-janji yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada calon isterinya mengandung manfaat dan maksud, asalkan tidak menghalangi pernikahan, maka hukumnya sah, sebagaimana kalau perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi lagi.
Pendapat yang mewajibkan dipenuhinya perjanjian ini semakin dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, yang pendapatnya melemahkan pendapat yang pertama. Ia berkata bahwa perjanjian/ syarat tersebut bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi memberikan kepada perempuan hak untuk meminta cerai jika suami tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Selain itu, hal ini merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuan karena apa yang bisa menjadi suatu maslahat bagi suatu pihak yang mengadakan akad, berarti pula menjadi suatu kemaslahatan didalam akadnya.(Sabiq, 2006:537-538)
Ibnu Rusyd pun sependapat dengan pendapat kedua, kemudian menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dikarenakan mempertentangkan antara dalil yang umum dan yang khusus, yang dimaksud dalil yang umum adalah hadist Rsulullah SAW yang bersabda dalam suatu khotbahnya:
Syarat (persyaratan) yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).
Adapun dalil yang khusus adalah hadist dari Uqba bin Amir, sabda Rasulullah SAW:
Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)
Kedua hadist ini shahih, tetapi menurut para ahli ushul fiqh, yang termasyur dipakai adalah memenangkan dalil yang khusus dari yang umum, yang dalam hal ini adalah memenuhi janji-janji yang diadakan dalam pernikahan.(Sabiq, 2006:538)
Adapun pendapat Ibnu Taimiyah dalam perjanjian ini, mengatakan bahwa bagi orang yang sehat akalnya, apabila mengadakan perjanjian mengandung kebaikan dari tujuan yang hendak dicapainya, tidaklah ia mau undur atau menghianatinya. Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna daripada dibiarkan tanpa syarat, atau lebih berguna lagi daripada kalau tidak diberi syarat sama sekali.(Sabiq, 2006:538)
Secara lebih terperinci ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya wajib dipenuhi, karena dikatakan hal ini sangat relevan untuk mengurangi terjadinya poligami yang tidak bertanggungjawab.(Syarifuddin, 2007:149) Sedangkan untuk perkara yang secara khusus tidak ditemukan larangan maupun perintahnya dalam nash-nash syara’, maka dibuka kesempatan untuk hal itu. Akan tetapi, dalam literature yang berbeda dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menjelaskan bahwa perjanjian pra nikah yang tergolong perjanjian yang tidak dilarang atau diperintahkan oleh Allah ini hukum pemenuhannya adalah mubah, sehingga boleh dilakukan (ditaati) dan boleh juga ditinggalkan.(Kamal, 2007:246)