Thaharah (Bersuci)
Wednesday, 28 February 2018
SUDUT HUKUM | Shalat tidak sah dikerjakan kecuali dengan bersuci terlebih dahulu. Demikian menurut ijma’. Para ulama sepakat tentang wajibnya bersuci dengan air jika air itu ada dan dapat digunakan, serta tidak ada keperluan lain –yang lebih mendesak, seperti untuk minum. Sementara itu, wajib tayamum dengan tanah [debu] jika tidak ada air.
Para fuqaha di kota-kota besar –seperti Kufah dan Basrah- telah sepakat bahwa air laut, baik yang tawar maupun yang asin, adalah suci dan mensucikan, seperti air-air yang lain. Namun terdapat beberapa ulama yang melarang berwudlu dengan air laut. Ada juga sekelompok ahli fiqih yang membolehkannya ketika dalam keadaan darurat saja. Sementara itu, ada ahli fiqih lain yang membolehkan tayamum walaupun ada air laut untuk berwudlu.
Para ulama sepakat bahwa bersuci tidak sah secuali dengan air. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dan al-‘Ashim tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan cairan yang lain.
Maliki, Syafi-i, dan Hanbali: Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air. Hanafi: Najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci.
Pendapat paling shahih dari Syafi-i: air panas karena terkena sinar matahari hukumnya adalah makruh. Sementara itu, pendapat yang dipilih oleh para pengikutnya yang kemudian adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh. Demikian juga menurut tiga imam yang lain, yaitu Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Air yang dimasak hukumnya tidak makruh, demikian menurut kesepakatan para ulama. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia memakruhkannya. Sementara itu, Hanbali memakruhkannya jika ia dipanaskan dengan api.
Air bekas bersuci (musta’mal) hukumnya adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Demikian pendapat yang masyur di kalangan madzab Hanafi, yang paling shahih dalam madzab Syafi-i, dan madzab Hanbali. Maliki: air musta’mal dapat mensucikan. Sementara itu, menurut sebagian riwayat dari Hanafi: air musta’mal adalah najis. Demikian juga menurut pendapat Abu Yusuf.
Air yang berubah karena bercampur dengan ja’faran atau benda-benda suci lain yang sejenis dan perubahannya sangat jelas, menurut Maliki, Syafi-i dan Hanbali: air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci. Hanafi dan para pengikutnya: boleh bersuci dengan air tersebut. Mereka berpendapat bahwa perubahan air oleh sesuatu yang suci tidaklah menghilangkan sifat mensucikan selama unsur-unsur airnya tidak hilang.
Air yang berubah karena terlalu lama disimpan atau tidak digunakan, hukumnya adalah suci. Hal ini berdasarkan kesepakatan ulama. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci.
Mandi dan berwudlu dengan air zamzam, menurut Hanbali: Hukumnya adalah makruh. Hal ini demi memelihara kemuliaannya.
Api dan matahari tidak dapat menghilangkan najis. Namun Hanafi berpendapat: api dan matahari dapat menghilangkan najis. Menurutnya jika ada kulit bangkai menjadi kering karena sinar matahari, maka hukumnya suci meskipun tidak disamak. Demikian pula jika di atas tanah terdapat najis, kemudian kering karena sinar matahari, maka tempat itu menjadi suci dan dapat digunakan untuk shalat. Namun, tempat itu tidak dapat dipergunakan untuk tayamum. Hanafi: api dapat menghilangkan najis.
Hanafi, Syafi-i dan Hanbali dalam salah satu riwayatnya: apabila air tenang kurang dari dua qullah, ia akan menjadi najis jika terkena benda najis walaupun sifat-sifatnya tidak berubah. Maliki dan Hanbali dalam riwayat yang lain: air tersebut suci selama sifat-sifatnya tidak berubah. Adapun jika air itu lebih dari dua qullah, yaitu 500 rithl Bagdad atau 180 rithl Damaskus, atau dalam volume 4x4x4 hasta, tidaklah menjadi najis –terkena benda najis- kecuali jika sifat-sifatnya berubah, demikian pendapat Syafi-i dan Hanbali.
Maliki: air yang berada di sebuah tempat dengan ukuran tersebut tidak najis jika terkena benda najis. Namun jika warna, rasa atau baunya berubah maka hukumnya adalah najis, baik air itu sedikit maupun banyak.
Hanafi: campurannya harus diperhatikan. Jika air itu bercampur dengan benda najis maka hukumnya adalah najis, kecuali jika air tersebut banyak. Air tersebut dikatakan banyak (ma’katsir) apabila digerakkan salah satu tepinya maka tepi lain tidak bergerak. Dalam keadaan demikian, hukumnya tidak najis –jika air tersebut terkena benda najis.
Hanafi, Hanbali, dan qaul jadid Syafi-i –yang menjadi pendapat paling kuat di dalam mahdzab Syafi-i: air yang mengalir hukumnya sama dengan air yang tenang. Maliki: air yang mengalir itu tidak menjadi najis –jika terkena benda najis- kecuali jika air tersebut berubah, baik ia air yang banyak maupun sedikit. Seperti itu pula qaul qadim Syafi-i yang dipilih oleh sekelompok shahabatnya, seperti al-Baghawi, Imam al-Haramain, dan al-Ghazali. Imam an-Nawawi, di dalam Syarh al Muhadzdzib, mengatakan bahwa inilah pendapat yang kuat.
Para ulama: penggunaan perkakas yang terbuat dari emas untuk makan, minum, dan berwudlu, baik oleh laki-laki maupun perempuan, adalah haram. Syafi-i berpendapat sebaliknya. Sementara itu Dawud berpendapat bahwa hal itu haram hanya jika digunakan untuk minum. Pendapat Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang mengharamkannya lebih kuat daripada pendapat Syafi-i.
Para ulama: menggunakan saluran air yang terbuat dari emas adalah haram. Adapun, menggunakan saluran air yang terbuat dari perak adalah haram menurut Maliki, Syafi-i, dan Hanbali jika alirannya besar dan untuk hiasan. Hanafi: menggunakan saluran air dari perak tidak haram.
Bersiwak adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan Dawud berpendapat bahwa hukumnya wajib. Sementara itu Ishaq berpendapat bahwa apabila bersiwak itu ditinggalkan dengan sengaja maka shalatnya batal.
Apakah bersiwak bagi orang yang berpuasa hukumnya adalah makruh? Hanafi dan Maliki: hal itu tidak makruh. Syafi-i: hal itu makruh. Dari Hanbali diriwayatkan dua riwayat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh.
Sumber: Fiqih Empat Madzab, Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi