Pengertian Tradisi Peusijuek
Monday, 5 March 2018
SUDUT HUKUM | Kata peusijuek berasal dari akar kata sijuek yang artinya dingin. Umumnya peusjuek (menepung tawar) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu baik yang berkaitan dengan benda maupun orang. Oleh karenanya peusijuek dalam masyarakat Aceh dilakukan ketika menempati tempat baru, rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja dan lain-lain.
Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Semua peusijuek ini ditunjukan sebagai penyataan rasa syukur pada Allah. Atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai pemohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain itu peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan.[1]
Peusijuek bermakna mendinginkan, orang Melayu menyebutnya tepung tawar. Orang Melayu melihat dari segi bahannya, sedangkan orang Aceh lebih menitik beratkan pada proses dan hasilnya. Dengan adanya peusijuek seseorang telah diadatkan secara terhormat serta didinginkan jiwa raganya.[2]
Peusijuek pada dasarnya berperan dalam kehidupan manusia sebagai suatu simbol ungkapan terima kasih kepada Allah yang dilambangkan dengan beras padi, karena kehidupan masyarakat sejak dahulu pada umumnya mengantungkan hidupnya dari hasil persawahan.
Dapat dikatakan bahwa peusijuek merupakan penghormatan dan rasa syukur atas segala limpahan kebaikan kepada benda dan orang yang dipeusijuek dan untuk mendapatkan keselamatan serta berfungsi pula sebagai pelindung dari segala perbuatan yang kotor dan negatif. Dengan adanya peusijuek, maka diharapkan supaya dapat menyelesaikan semua masalah yang ada dalam masyarakat, sehingga terikatlah hubungan kekeluargaan bagi keluarga yang dipeusijuek tersebut lebih erat.
Tradisi ini biasanya sering dilakukan hampir semua kegiatan adat masyarakat Aceh, seperti pernikahan adat, perayaan adat, syukuran dan upacara adat lain-lain. Masyarakat Aceh percaya, bahwa tradisi Peusijuek ini merupakan hasil kearifan budaya local yang diajarkan Nenek moyang mereka. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam masyarakat tentang budaya peusijuek, akan tetapi tidak mengurangi makna dari peusijuek itu sebagai bentuk adat yang senantiasa menjadi pemersatu dalam masyarakat Aceh. Dimana budaya dan agama harus dijalankan secara berdampingan dengan segala kebaikan yang ada di dalamnya. Sehingga yang harus hormati dan dijaga keberadaannya.
Peusijuek merupakan tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan dalam masyarakat Aceh. Peusijuek mengawali berbagai acara-acara besar dalam masyarakat Aceh. Masyarakat menganggap peusijuek sebagai suatu tradisi Aceh, bukan amalan agama yang harus dilakukan. Dapat dipahami bahwa, penampilan upacara peusijuek, akibat aneka macam momen maupun kejadian yang dialami masyarakat yang menjadikan simbol-simbol yang bertujuan untuk memperoleh kedamaian, memperkokoh ukhwah silaturrahmi antar sesama manusia, serta memantapkan rasa syukur melalui doa kepada Allah.[3]
Dari beberapat pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Peusijuek adalah suatu upacara adat yang sudah melekat pada masyarakat Aceh, dilakukan terus menurus, budaya Peusijuek bukanlah suatu adat kebiasaan Peusijuek merupakan tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan dalam masyarakat Aceh. Peusijuek mengawali berbagai acara-acara besar dalam masyarakat Aceh. Masyarakat menganggap peusijuek sebagai suatu tradisi Aceh, bukan amalan agama yang harus dilakukan. Dapat dipahami bahwa, penampilan upacara peusijuek, akibat aneka macam momen maupun kejadian yang dialami masyarakat yang menjadikan simbol-simbol yang bertujuan untuk memperoleh kedamaian, memperkokoh ukhwah silaturrahmi antar sesama manusia, serta memantapkan rasa syukur melalui doa-doa kepada Allah.
RUJUKAN
- Rusjdi Ali Muhammad, Kearifan Tradisional Lokal Penyerapan Syariat Islam Dalam Hukum Adat Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh. 2011), hlm. 5
- Yusri Yusuf, Kearifan Lokal Masyarakat Aceh, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm. 118-119.
- Essi Hemaliza, Peumulia Jamee, (Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2011), hlm. 19.