-->

Pengertian dan Latar Belakang di Syariatkanya Zakat Fitrah

SUDUT HUKUM | Zakat menurut syara’ adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta. madzhab Maliki mendefinisikannya dengan, “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai haul (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian”.

Sedangkan menurut madzhab Hanbali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu mustahiq. Berdasarkan QS. Al-Baqarah: 110, menjelaskan:
Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS: Al-Baqarah: 110)
Jika dirumuskan, zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu dan syarat-syarat tertentu pula. Syarat-syarat tertentu itu adalah nisab, haul dan kadar-nya.

Menurut garis besarnya, zakat dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Pertama, zakat harta (zakat al-maal): Misalnya, zakat emas, perak, binatang ternak, hasil tumbuh-tumbuhan baik berupa buah-buahan maupun biji-bijian, dan harta perniagaan.

Kedua, zakat jiwa (zakat al-nafs): yang biasa dikenal dengan zakat fitrah, yaitu zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim pada bulan Ramadhan menjelang shalat Idul Fitri.

Penulis membatasi pembahasan ini mengenai zakat fitrah saja. Zakat secara bahasa berarti al-namaa’ (tumbuh), al-ziyadah (bertambah), al-sholah (perbaikkan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya. Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.

Ada pula ulama yang menyebut zakat ini dengan sebutan “fithrAh”, yang berarti fitrah/ naluri. Al-Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”. Istilah ini digunakan oleh para pakar fiqh. Sedangkan menurut istilah, zakat fitrah berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.

Zakat fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin dibulan Ramadhan sampai menjelang salat Idul Fitri. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibnu Umar:
Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada setiap muslim, masing-masing satu sho' kurma atau satu sho' gandum (makanan pokok), baik orang yang merdekamaupun hamba sahaya,laki-laki ataupun perempuan, kecil maupun besar. Dan Rasulullah SAW memerintahkan pembayaran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menghadiri salat hari raya”.(HR. Bukhari).
Menurut Mohammad Daud Ali, zakat fitrah adalah pengeluaran wajib yang dilakukan oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari nafkah keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idul Fitri, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. karena telah selesai menunaikan ibadah puasa.

Zakat fitrah bagi umat Islam bukan hanya sebuah rutinitas yang berdimensi sosial yang mengiringi ibadah puasa di bulan Ramadhan, akan tetapi lebih dari itu, zakat fitrah merupakan kewajiban yang diperuntukkan bagi terwujudnya kesempurnaan ibadah puasa yang dilakukan.

Zakat fitrah ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, dua hari sebelum berakhir puasa Ramadhan, pada tahun itu Nabi Muhammad SAW berpidato di Masjid menerangkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah sebelum pergi ketempat sembahyang melaksanakan shalat Idul Fitri. Ukuran zakat perjiwa yang dikeluarkan adalah satu sho’ (gantang = 3,5 liter) makanan pokok seperti kurma, gandum, atau beras dan sebagainya atau berupa uang seharga makanan pokok tersebut.

Zakat tidak diwajibkan atas para nabi. Hal ini disepakati para ulama, karena zakat dimaksudkan sebagai penyucian untuk orang-orang yang berdosa, sedangkan para nabi terbebas dari hal demikian. Lagi pula, mereka mengemban titipan-titipan Allah, disamping itu mereka tidak memiliki harta, dan tidak diwarisi.

Kelebihan ajaran zakat dibanding aspek-aspek lain dari rukun Islam yang lain adalah bahwa zakat memiliki dimensi sosial yang kental. Oleh karena itu, zakat dalam mata rantai peningkatan kesejahteraan umat Islam tak mungkin diremehkan. Dalam kitab-kitab fiqh, masalah zakat sering ditempatkan pada bagian kedua dari rub al-ibadah. Dengan demikian, ajaran zakat akan mudah diketahui posisinya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman sesorang (ma’lum min al-din bi al-darurah).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel