Metode Istinbath Hukum dalam Berfatwa
Wednesday, 4 July 2018
Terdapat beberapa metode ijtihad yang dapat digunakan dalam mengkaji sebuah permasalahan untuk menetapkan sebuah fatwa. Para ahli ushul fiqih berbeda-beda dalam membagi metode ijtihad tersebut. Dilihat dari objek kajiannya, Abu Zahrah membagi ijtihad menjadi dua macam yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi.[1] Sedangkan al-Syatibi membagi dua macam, yaitu ijtihad yang mungkin terputus (terhenti) pada suatu masa karena tidak adanya orang yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid dan ijtihad yang tidak mungkin terputus (terhenti) sepanjang masa selama taklif hukum tetap ada bagi orang Islam.[2]
Ijtihad yang mungkin terputus dalam konsep al-Syatibi sama dengan ijtihad istinbathi dalam konsep Abu Zahrah, sedangkan ijtihad yang tetap harus ada sepanjang masa semakna dengan ijtihad tathbiqi. Ijtihad istinbathi dilakukan dengan takhrij al-manat dan tanqih al-manat yaitu upaya menemukan hukum dari dalil al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan ijtihad tathbiqi dilakukan dengan tahqiq al-manat yaitu aplikasi hukum syara’ terhadap masalah aktual yang ada di masyarakat.[3]
Apabila dalam menyelesaikan suatu permasalahan, seorang mujtahid berhadapan dengan al-nushus al-syar’iyyah untuk diteliti sehingga dapat ditemukan ide hukum yang terkandung di dalamnya, maka yang demikian itu disebut dengan ijtihad istinbathi. Oleh karena itu, seorang mujtahid dituntut untuk memenuhi persyaratan mujtahid secara sempurna. Sedangkan untuk mengumpulkan seluruh syarat-syarat mujtahid tersebut pada seseorang secara sempurna itu sangat sulit. Apalagi pada zaman sekarang ini ruang lingkup sebuah ilmu semakin sempit karena adanya spesialisasi keilmuwan, sehingga seseorang seringkali hanya ahli dalam salah satu bidang tertentu saja. Oleh karena itu, al- Syatibi mengatakan bahwa mujtahid dalam ijtihad istinbaathi kemungkinan akan terputus.[4]
Namun, apabila mujtahid telah menemukan substansi hukum dari nash syari’ah, maka untuk menerapkan hukum tersebut kepada suatu kasus secara konkrit diperlukan lagi satu bentuk ijtihad, yaitu ijtihad tathbiqi. Dalam ijtihad ini, mujtahid tidak lagi berhadapan dengan nash, tetapi berhadapan dengan objek hukum di mana substansi hukum sebagai hasil ijtihad istinbaathi tersebut akan diterapkan. Dalam ijtihad tathbiqi seorang mujtahid dituntut memiliki pemahaman yang dalam terhadap maqasyid syari’ah. Ijtihad seperti inilah yang diperlukan dalam menghadapi berbagai perubahan sosial. Menurut al-Syatibi, ijtihad seperti ini tidak mungkin terputus sampai kapanpun karena menyangkut penerapan ide-ide (ketentuan) nash terhadap berbagai masalah kehidupan manusia sampai akhir zaman.[5]
Adapun Yusuf Qardhawi membagi ijtihad menjadi ijtihad intiqa’i/tarjihi dan ijtihad insya’i. Pembagian ini bila diteliti lebih bersifat melengkapi terhadap pemikiran yang sebelumnya. Ini sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Abu Zahrah dan al-Syatibi. Ijtihad intiqa’i merupakan ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana yang tertulis dalam berbagai kitab fiqih, dengan menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan untuk diterapkan dalam kondisi sekarang.[6]
Menurut Qardhawi, seorang mujtahid muntaqi harus memperhatikan 4 (empat) hal yaitu:
- pendapat tersebut relevan diterapkan untuk masyarakat modern,
- pendapat tersebut lebih mencerminkan rahmat bagi umat manusia,
- pendapat tersebut lebih dekat pada kemudahan yang diberikan oleh syara’, dan
- pendapat tersebut lebih utama dalam merealisasikan maksud-maksud syara’, berupa pencapaian kemaslahatan manusia dan usaha untuk menghindari mafsadat.[7]
Sedangkan ijtihad insya`i adalah mengambil kesimpulan hukum baru dalam suatu permasalahan baru yang belum pernah dikemukakan ulama fiqih terdahulu. Dalam ijtihad ini diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya.
Tanpa mengetahui secara baik dan bagaimana kasus yang baru itu, maka mujtahid munsyi`i akan kesulitan dalam menetapkan hukum yang berbeda sama sekali dengan pendapat ulama terdahulu dengan baik dan benar.[8] Terhadap ijtihad ini yang paling tepat adalah dilakukan secara kolektif dengan mengumpulkan berbagai macam orang ahli sesuai dengan kebutuhan masalah.
Setelah mengemukakan beberapa pandangan mengenai macammacam ijtihad yang saling melengkapi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aktifitas ijtihad oleh mujtahid dapat terjadi dalam tiga macam atau bentuk.
Pertama, ijtihad untuk menemukan hukum baru yang belum pernah ada atau belum ditemukan hukumnya oleh ulama. Inilah ijtihad insya’i atau istinbathi. Bentuk lain dari ijtihad ini bisa berupa ijtihad dengan mengoreksi terhadap pendapat terdahulu dengan hasil yang sama sekali berbeda.
Kedua, ijtihad dalam bentuk seleksi terhadap pendapat para ulama terdahulu sebagai hasil ijtihad mereka, dengan memilih yang lebih kuat dasarnya dan lebih relevan dengan keadaan masa kini. Tindakan menyeleksi ini memerlukan ketelitian, kecermatan serta keluasan wawasan. Inilah yang disebut ijtihad intiqali atau tarjihi. Berdasarkan urutan prioritas, maka menurut penulis ijtihad intiqa’i harus lebih dahulu ditempuh sebelum ijtihad insya’i, karena inilah bentuk kesinambungan ilmu dengan hasil masa lalu. Sedangkan ketiga, ijtihad untuk mengaplikasikan hasil ijtihad ulama untuk masalah baru yang aktual dan hidup dalam masyarakat. Inilah ijtihad tathbiqi. Untuk dapat dilaksanakannya ijtihad ini diperlukan kedalaman pemahaman hukum dan kecermatan memahami masalah. Dari ketiga macam atau bentuk ijtihad di atas, maka dalam pelaksanaanya akan lebih sempurna bila dilakukan dalam bentuk jama’ atau kolektif, yaitu tidak hanya dengan seorang mujtahid tapi mengumpulkan berbagai ulama yang memiliki keahlian dalam bidang yang berbeda-beda sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain.[9]
Pada dasarnya fatwa MUI menggabungkan beberapa metode tersebut di atas, baik ijtihad insya’i atau istinbathi, ijtihad intiqali atau tarjihi, dan ijtihad tathbiqi. Ketiga metode tersebut dipakai dengan mempertimbangkan relevansi dan menyesuaikan konteks permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, sebagai dasar dalam menentukan instinbath hukum sehingga pada akhirnya muncul fatwa MUI.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa penetapan fatwa MUI didasarkan pada Al-Qur'an, Sunah (Hadis), Ijma`, dan Qiyas. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.[10] Proses penetapan fatwa dilakukan melalui pengkajian terlebih dahulu terhadap pendapat para imam mazhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut dengan saksama, berikut dalil-dalilnya. Masalah yang telah jelas hukumnya (alahkam al-qath`iyah) disampaikan sebagaimana apa adanya. Sedangkan dalam masalah-masalah yang merupakan kawasan perbedaan pendapat di antara para ulama/mazhab, maka penetapan fatwa dilakukan dengan mencari titik temu antara pendapat-pendapat mazhab yang berbeda, melalui metode al-jam`u wa al-tawfiq. Jika usaha perumusan dan penetapan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah al-madzahib dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqarin (komparatif). Persoalan yang tidak ditemukan pandangan hukumnya di kalangan mazhab, maka dalam penetapan fatwa dilakukan berdasarkan hasil ijtihad jama`ie (ijtihad kolektif) melalu metode Bayani; Ta`lili (Qiyasi, Istihsani, Ilhaqi),[11] Istishlahy;[12] dan Sadd Al-Dzari`ah.[13]
Rujukan
[1] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Op cit., h. 379.
[2] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syatibi, Al-Muwaffaqat Ushul al-Ahkam, Juz IX, ttp.: al-Fikr, t.t., hlm. 47
[3] Ibid.
[4] Abdul Aziz Dahlan dan Satria Effendi M. Zein (eds.), Op.cit, hlm. 673.
[5] Ibid.
[6] Yusuf al-Qardawi, al-Ijtihad fi al-Syari’at al-Islamiyyat ma’a Nazharatin Tahliliyyat fi al-Ijtihad al-Mu’ashir, Kuwait: Dar al-Qalam, 1985, hlm. 115-127.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm. 126.
[9] Ibid.
[10] Iffatul Umniati Ismail, Telaah Kritis Metodologi Istinbath MUI (Studi Kasus Fatwa Tentang Golput), dalam M. Atho Mudzhar, Choirul Fuad Yusuf, dkk., op.cit., h. 451.
[11] Secara rinci pembahasan tentang metode Ta`Lili (Qiyasi, Istihsani, Ilhaqi) dapat dilihat dalam kitab karya Ziyad Muhammad Ihmidan, Maqashid Al-Syari`ah Al-Islamiyah, (Beirut: Al- Risalah Nasyirun), h. 393-394.
[12] Metode Istishlahi adalah pengambilan hukum berdasarkan istishlah, yakni semata-mata berdasarkan apa yang dipandang baik atau menguntungkan atau menjauhkan dari marabahaya yang dikalkulasikan secara rasional dan subyektif. Lebih jauh lihat misalnya dalam Fakhr al-Din Al-Razi, Al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah), jilid 6, h.162.
[13] Metode Sadd al-Dzari'ah adalah sebuah konsep pengambilan ketetapan hukum dengan mengambil alternatif yang terberat (seperti mengharamkan dan berbagai derivasinya) sebagai sebuah tindakan preventif, lihat misalnya dalam Badr al-Din Al-Zarkasyi, Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, (Hurgada: Dar al-Shafwah, Cet. 2, 1992), jilid 6, h.82.