Pengertian Filsafat Islam
Saturday, 14 July 2018
Pengertian Filsafat Islam - Untuk mengetahui bagaimana tentang filsafat Islam, maka terlebih dahulu harus memahami ontologi filsafat Islam dengan menunjuk kepada pengertian istilah filsafat Islam itu sendiri. Ahmad Fu`âd al-Ahwânî, misalnya, mendefinisikan filsafat Islam sebagai pemikiran, penghayatan, dan penelaahan mendalam tentang berbagai persoalan alam semesta dan bermacam masalah manusia serta realitas Yang Maha Tinggi atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam (al-Ahwani 1997:7).
Menurut George N. Atiyeh, perintis filsafat Islam adalah Abu Yûsuf Ya’qûb bin Ishâq Ashshabbah bin ‘Imrân bin Ismâ’il bin al-Asy’ats bin Gays al-Kindi (w. sekitar 260 H), dan biasa dikenal dengan al-Kindi. Ia merupakan perintis murni dalam dunia muslim yang memberi daftar definisi-definisi umum filsafat sebelum zamannya dan juga selama abad pertengahan (Atiyeh 1983:18).
Dalam karangannya Tentang Definisi Benda-benda dan Uraiannya, al-Kindi mencatat enam buah definisi tantang filsafat yang mewakili cendekiawan-cendekiawan zamannya, sebagai berikut:
- Philoshopy (filsafat) terdiri atas dua perkataan, philo, teman, dan shopia, kearifan. Filsafat adalah cinta akan kearifan. Definisi ini didasarkan atas etimologi Yunani dari perkataan tersebut.
- Filsafat adalah percobaan manusia untuk berbuat sebaik atau melebihi Ilahi sejauh hal itu mungkin. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
- Filsafat adalah praktek kematian. Kematian berarti pemisahan jiwa dari raga. Tambahan pula, kematian melibatkan penekanan kepentingan-kepentingan material yang berlawanan dengan kehidupan yang shaleh, atau apa yang merupakan ekuivalensi praktisnya.
- Filsafat adalah “ilmunya segala ilmu” dan “kearifan dari segala kearifan”
- Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya.
- Hal ihwal filsafat yang sebenarnya dilukiskan sebagai ilmu pengetahuan tentang haecceitas, esensi, dan sebab-sebab segala hal sampai batas kemampuan manusia (Uberweg 1953:5).
Dari keenam definisi filsafat yang dikumpulkan oleh al-Kindi, tampaknya definisi yang disebut terakhir merupakan definisi yang dipilih oleh al-Kindi. Menurutnya, filosof ialah orang yang hidup dengan benar, yang mencari kebenaran dan menepati kebenaran tersebut. Filsafat yang sempurna tidak hanya sekedar pengetahuan tentang kebenaran, tetapi di samping itu filsafat adalah perwujudan kebenaran dalam perbuatan. Kearifan yang sesungguhnya, memadukan pencarian kearifan itu dengan pelaksanaannya (Atiyeh 1983:19).
Definisi filsafat yang dibangun oleh al-Kindi ini masih menyisakan pertanyaan ketika dikaitkan dengan kata-kata Islam sehingga membentuk istilah filsafat Islam. Maka, dari sini terlebih dahulu penulis perlu menguraikan pengertian filsafat Islam secara luas. Lebih-lebih apabila didasarkan pada keberagaman definisi dan klaim kebenaran (truth claim) antara filsafat Islam, filsafat Arab, filsafat di dunia Islam dan lain-lain.
Menurut Abd al-Mukti Bayyoumiy, penggunaan istilah filsafat Islam berarti menyingkirkan berbagai peristilahan lainnya yang dikemukakan oleh para ahli sejarah, seperti filsafat Arab, filsafat Islam-Arab, atau filsafat dalam Islam yang secara ontologi ketiganya mengandung kerancuan. Ketiga peristilahan tersebut memiliki kelemahan yang sangat mendasar (Bayyoumiy 1982:27). Istilah filsafat Arab, kata Bayyoumiy lagi, merupakan peristilahan yang diminati oleh para orientalis seperti Nallinou dan Mouris serta para propagandisnya seperti Ahmad Luthfi el-Sayyid, dan Jamil Shaliba yang menulis bukunya dengan judul Târîkh al-Falsafah al-‘Arabiyyah (Sejarah Filsafat Arab) (Bayyoumiy 1982:28). Nellinou, menulis:
Setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyyah, atau masa awal kelahiran Islam, maka sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata ‘Arab’ tidak diragukan lagi menunjuk pada suatu bangsa yang bermukim di daerah semenanjung yang dikenal dengan nama ‘Jazirah Arab’. Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad berikutnya, mulai abad pertama Hijriyyah kata ‘Arab’ berubah menjadi suatu istilah yang maknanya adalah segala bangsa dan rakyat yang bermukim di seluruh wilayah kerajaan Islam, yang pada umumnya mempergunakan bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah. Dengan demikian istilah ‘Arab’ mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Berber (penduduk Afrika Utara), Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan yang menulis buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, karena mereka bernaung di bawah negara-negara Islam. Jika kita tidak menyebut mereka dengan ‘Arab’, sukar sekali bagi kita untuk dapat bicara tentang ilmu falak, karena sangat sedikit putera Qathan dan ‘Adnan yang memiliki kecenderungan berpikir” (al-Ahwani 1997:9-10).
Sebaliknya Nellinou menolak penamaan filsafat Islam, sebab kata-kata ‘Islam’ atau ‘Muslimin’ menyingkirkan orang-orang Nasrani, Yahudi, Shabiah dan para pemeluk agama lain. Padahal mereka telah memberikan andil yang sangat besar dalam berbagai cabang ilmu dan kesusasteraan Arab, khususnya ilmu pasti, ilmu falak, kedokteran, dan filsafat (al-Ahwani 1997:10). Tetapi, kata Bayyoumiy, kelemahan mendasar istilah filsafat Arab, terletak pada penunjukannya kepada jenis kebangsaan dan identitas bahasa semata, yakni Arab. Istilah ini di samping mencerminkan sikap fanatisme kearaban juga menegasikan esensi Islam yang sesungguhnya, yaitu Islam sebagai dîn (agama) dan hadhârah (peradaban) (Bayyoumy 1982:28).
Bahkan, menurut Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran, penamaan istilah tersebut terkesan sempit dan keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, atau Afdhal Kasyani dan para ahli pikir Muslim Persia lainnya yang tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia (al-Ahwani 1997:12-13).
Istilah lain yang mendapat kritikan adalah istilah filsafat Arab-Islam. Istilah ini dimunculkan oleh sebagian penulis seperti Abduh al-Syamaliy yang menulis bukunya dengan judul Târîkh al-Falsafah al-‘Arabiyyah al-Islâmiyyah (Sejarah Filsafat Arab-Islam). Istilah yang diciptakan untuk mensintesiskan (al-jam’u) antara filsafat yang ditulis dengan bahasa Arab dan kultur Islam ini jelas dipandang rancu secara ontologis. Sebab, dengan istilah tersebut tidak mendalam (ghair al-daqîq) karena menegasikan peran filosof bukan Arab yang menulis bukan dengan bahasa Arab (Bayyoumy 1982:29).
Kritikan serupa ditujukan bagi peristilahan filsafat dalam Islam atau filsafat di dunia Islam. Istilah ini dipilih oleh Asynah, bahwa jika yang dimaksud dengan istilah itu adalah pemikiran filsafat yang tersebar di sebagian permukaan bumi setelah agama Islam dan bahasa Arab meluas ke mana-mana. Yakni, pemikiran filsafat yang selalu dirumuskan dalam bahasa Arab, atau yang kadang-kadang oleh penulisnya sendiri dirumuskan dalam bahasa Persia, maka pemisahan sebagian dari pemikiran itu dari bagiannya yang lain merupakan kejanggalan dan tampak dibuat-buat. Apalagi kalau pemisahan itu didasarkan kepada bahasa yang dipergunakan untuk merumuskan pemikirannya itu, atau didasarkan pada keyakinan agama para penulisnya. Bagaimana mungkin seseorang akan menolak pemikiran seorang filosof hanya karena ia beragama Yahudi, atau menulis dengan bahasa Persia?
Dengan demikian, kata Asynah, yang lebih tepat untuk peristilahan itu adalah filsafat di dunia Islam (al-Ahwani 1997:12). Tetapi, lagi-lagi kata Bayyoumiy, pendapat Asynah di atas mendapat kritikan dari orang-orang Iran, India dan Turki yang lebih suka menamakannya dengan filsafat Islam ketimbang filsafat di dunia Islam, dan menurut Bayyoumiy, istilah yang disebut terakhir ini terkesan terlalu panjang dan bertele-tele (Bayyoumy:1982:13).
Jadi, pemakaian istilah filsafat Islam memiliki keistimewaan dibanding istilah-istilah lain. Sebab, penamaan filsafat Islam mencakup seluruh pemikiran yang ditulis dengan bahasa Arab atau bahasa lainnya, baik yang ditulis oleh orang Arab atau ‘ajam (non Arab), dan bahkan mencakup pemikiran tentang Islam yang ditulis oleh orang-orang non-Islam. Satu hal lagi, bahwa penamaan filsafat Islam bukan hanya meliputi unsur etnis atau sistem kenegaraan tertentu, melainkan meliputi kandungan-kandungan filsafat itu sendiri, yakni Islam dan cara berpikir ala Yunani, metodologi dan sebagian pandangannya. Sedangkan persoalan menyangkut ‘kearaban’ yang merupakan suatu identitas peradaban, maka yang perlu diperhatikan bahwa substansi peradaban itu sendiri tidak lain adalah al-Islâm. Jika tidak ada Islam maka produk filsafat pun tidak akan ada (Bayyoumy 1982:30-31). Dengan demikian, kata Bayyoumiy, nama yang paling tepat untuk menyebut filsafat itu adalah filsafat Islam.
Dari beberapa istilah yang diperdebatkan oleh para ahli di atas, penulis lebih cenderung menggunakan istilah filsafat Islam, seperti pendapat Bayoummi. Hal ini karena istilah itu lebih universal atau membumi, serta mencakup keseluruhan orang Islam di mana pun berada. Lebih lanjut, istilah filsafat Islam menunjukkan ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan filsafat lainnya.