Teori-teori Tentang Sebab Kejahatan
Tuesday, 10 July 2018
Teori-teori Tentang Sebab Kejahatan - Pendekatan terhadap kejahatan dapat dilakukan secara kausalitas, bahwa penafsiran terhadap fakta-fakta kejahatan dapat dipergunakan untuk mengetahui sebab musabab kejahatan, baik didalam kasus-kasus yang bersifat umum maupun yang bersifat individual. Etiologi kriminologi adalah usaha untuk mengungkapkan atau menemukan kausalitas suatu gejala dalam kejahatan.[1]
Salah satu persoalan yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat ialah tentang kejahatan pada umumnya, terutama mengenai kejahatan kekerasan. Masalah kejahatan merupakan masalah dalam kehidupan umat manusia, karena ia berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban manusia. Pendapat para ahli yang pada hakikatnya menekankan bahwa tidak semua kekerasan merupakan kejahatan, oleh karena itu, tergantung dari apa yang merupakan tujuan dari kekerasan itu sendiri.[2]
Positivisme dalam kriminologi mendasarkan pada asumsi dasar, penjahat berbeda dengan bukan penjahat, artinya penjahat dipandang memeiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan bukan penjahat. Secara tradisional, ciri-ciri tersebut dicari pada ciri-ciri biologis, psikis dan sosio-kulturalnya.[3] Sesuai dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan oleh mazhab-mazhab dalam bidang etiologi kriminal, di bawah ini akan dibicarakan teori-teori yang mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek biologis, psikis dan sosio-kultural.
Teori-Teori Mencari Sebab-Sebab Kejahatan Dari Aspek Fisik (Biologi Kriminal)
Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti Gall (1758-1828), Spurzheim (1776-1832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ dari akal. Ajaran ahli-ahli frenologi ini mendasarkan pada preposisi dasar :
- Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada di dalamnya dan bentuk dari otak,
- Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan, dan
- Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dengan bentuk otak dan tengkorak kepala.
Oleh karena otak merupakan “organ dari akal” sehingga “benjolan-benjolannya” merupakan petunjuk kemampuan/ kecakapan tertentu dari “organ”.
Pada tahun 1902-an muncul mazhab biologi kriminal modern di Jerman, Austria dan Italia. Sebagai pelopor antara lain Kretchmer, seorang psikiater. Tujuannya adalah mencari hubungan antara tipe-tipe fisik yang beraneka ragam dengan karakter dan mental yang abnormal. Kretchmen membedakan tipe dasar manusia dalam 3 bentuk, yaitu:
- Tipe leptosome, yang mempunyai bentuk jasmani tinggi, kurus, dengan sifatnya pendiam dan dingin, bersifat tertutup dan selalu menjaga jarak;
- Tipe piknis, yang mempunyai bentuk tubuh pendek, kegemukan, dengan sifatnya yang ramah dan riang;
- Tipe atletis, yang mempunyai bentuk tubuh dengan tulang dan otot yang kuat, dada lebar, dagunya kuat dan rahang menonjol. Sifatnya agresif.[4]
Menurut Kretchmer, tipe leptosome kebanyakan melakukan kejahatan pemalsuan, tipe piknis kebanyakan melakukan kejahatan penipuan dan pencurian. Sedangkan tipe atletis melakukan kejahatan kekerasan terhadap orang dan seks. Tokoh laian yang termasuk mazhab ini adalah H. Sheldon yang menjelaskan tingkah laku manusia. Sheldon membandingkan dengan dunia hewan yang terdiri dari kelompok herbivora dan carnivora, yang kemudian membagi manusia ke dalam 3 tipe berdasarkan pada paanjang pendeknya usus, yaitu:
- Tipe endomorphic, yang memiliki sifat sabar dan lamban,
- Tipe mesomorphic, yang memiliki sifat aktif dan agresif,
- Tipeectomocphic, yang memiliki sifat introvert, sensitif terhadap kegaduhan dan gangguan.[5]
Teori-Teori Mencari Sebab Kejahatan dari Faktor Psikologis dan Psikiatris (Psikologi Kriminal)
Usaha mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat. Perkembangan psikologi kriminal lambat, terutama disebabkan oleh perundang-undangan yang ada.[6] Hambatan yang cukup besar adalah kurangnya perhatian para penegak hukum, khususnya hakim. Masih sangat sedikit pertimbangan-pertimbangan atau perhatian para hakim dalam memeriksa terdakwa dengan menggunakan hasil-hasil atau pendapat-pendapat para ahli psikologi. Hakim seringkali menutup kemungkinan dilakukannya pemeriksaan psikologis, psikiater terhadap terdakwa. Sikap demikian bukan saja menghambat perkembangan psikologis kriminal, bahkan tidak sesuai dengan jiwa pasal 44 KUHP ayat 1 dan 2.[7] Psikologi kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku kejahatan yang “sehat”, artinya sehat dalam pengertian psikologis.[8]
Beberapa bentuk-bentuk gangguan mental pada kasus-kasus kejahatan, yaitu:
- Psikoses
Psikoses dapat dibedakan antara psikoses organis dan psikoses fungsional.
a. Psikoses organis.
- Kelumpuhan umum dari otak yang ditandai dengan kemerosotan yang terus menerus dari seluruh kepribadian. Pada tingkat permulaan, maka perbuatan kejahatan seperti pencurian, penipuan, pemalsuan dilakukan dengan terang-terangan dan penuh ketololan.
- Traumatik psikoses yang diakibatkan oleh luka pada otak yang disebabkan dari kecelakaan (geger otak). Penderita mudah gugup dan cenderung untuk melakukan kejahatan kekerasan.
- Encephalis letbargica, umumnya penderitanya adalah anak-anak seringkali melakukan tindakan-tindakan yang anti sosial, pelanggaran seks.
- Senile demensia, penderitanya pada umumnya pria yang sudah lanjut usia dengan kemunduran pada kemampuan fisik dan mental, gangguan emosional dan kehilangan kontrol terhadap orang lain, menimbulkan tindak kekerasan atau pelanggaran seksual terhadap anak-anak.
- Puerperal insanity, penderitannya adalah wanita yang sedang hamil atau beberapa saat setelah melahirkan, yang diakibatkan karena kekhawatiran yang luar biasa disebabkan karena kelahiran anak yang tidak dikehendaki, tekanan ekonomi dan kelelahan fisik. Kejahtan yang dilakukan berupa aborsi, pembunuhan bayi atau pencurian.
- Epilepsi, merupakan salah satu bentuk psikoses yang sangat terkenal, akan tetapi juga salah satu bentuk psikoses yang sukar dipahami.
- Psikoses yang diakibatkan dari alkohol.[9]
b. Psikoses fungsional
Bentuk psikoses fungsional yang utama adalah:
- Paranoia, penderitanya antara lain meliputi khayalan (delusi), merasa hebat, merasa dikejar-kejar.
- Manic-depresive psikoses, penderitanya menunjukkan tanda-tanda perubahan dari kegembiraan yang berlebihan ke kesedihan. Keadaan tersebut bisa berlangsung berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau lebih lama. Kejahatan yang dilakukan misalnya kejahatan kekerasan, bunuh diri, pencurian kecil-kecilan, penipuan , pemabukan.
- Schizoprenia, sering dianggap sebagai bentuk psikoses fungsional yanag paling banyak dan penting. Pada penderitaanya ada kepribadian yang terpecah, melarikan diri dari kenyataan, hidup yang fantasi, delusi dan halusinasi. Tidak bisa memahami lingkunganya, kadang-kadang merasa ada orang yang menghipnotis dirinya.[10]
- Neuroses
Perbedaan antara psikoses dan neuroses masih merupakan hal yang kontroversi. Secara statistik pelanggaran hukum lebih banyak dilakukan oleh penderita neuroses daripada psikoses. Beberapa bentuk-bentuk neuroses, yaitu:
- Anxiety neuroses dan phobia, keadaanya ditandai dengan ketakutan yang tidak wajar dan berlebihan terhadap adanya bahaya dari sesuatu atau pada sesuatu yang tidak ada sama sekali. Misalnya nycotophobia (takut pada kegelapan), gynophobia (takut terhadap wanita), aerophobia (takut terhadap tempat yang tinggi), ochlophobia (takut terhadap orang banyak), monophobia (takut terhadap kesunyian atau sendirian).
- Hysteria, terdapat disosiasi[11] antara dirinya dengan lingkungannya dalam berbagai bentuk. Pada umumnya sangat egosentris, emosional dan suka bohong. Penderita histeris pada umunya adalah wanita.
- Obsesional dan Compulsive Neuroses, penderitanya memiliki keinginan atau ide-ide yang tidak rasional dan tidak dapat ditahan. Hal tersebut disebabkan karaena ada keinginan-keinginan seksual yang ditekan disebabkan adanya ketakutan untuk melakukan keinginan tersebut (karena ada norma-norma atau akibat-akibat tertentu). Bentuk obsesional dan compulsive neuroses antara lain kleptomania, fethisisme, exhibisionist, pyromania.[12] Mengenai penelitian tentang adanya kleptomania dilakukan oleh T.C.N. Gibbens, pada pencurian yang dilakukan di supermarket.
- Cacat mental
Cacat mental lebih ditekankan pada kekurangan intelegensia daripada karakter atau kepribadiannya, yaitu dilihat dari tinggi rendahnya IQ dan tingkat kedewasaannya. Literatur kuno masih menggunakan beberapa bentuk seperti: idiot, yaitu orang yang menunjukkan IQ di bawah 25 dan tingkat kedewasaannya di bawah 3 tahun; imbecil, yaitu orang yang menunjukkan IQ-nya antara 25-50 yang tingkat kedewasaannya antara 3-6 tahun, dan feeble-minded yaitu dengan IQ antara 50-70 dan tingkat kedewasaannya antara 6-10 tahun.[13]
Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor sosiologi kultural (sosiologi kriminal)
Obyek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungan tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok, sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan. Suatu masyarakat dapat dimengerti dan dinilai hanya melalui latar belakang kultural yang dimilikinya, norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku.[14]
Masyarakat memiliki tipe kejahatan dan penjahat sesuai dengan budayanya, moralnya, kepercayaannya serta kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, hukum serta struktur-struktur yang ada. Dalam mempelajari tindak penyimpangan sosial (kejahatan), dapat melalui dua cara pemdekatan:
- Melihat penyimpangan sebagai kenyataan obyektif.
Dalam pendekatan ini dalam menyimpulkan tindak penyimpangan didasarkan pada gambaran tentang norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dengan mendasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Pertama-tama diasumsikan adanya konsensus tentang nilai atau norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dengan mendasarkan pada asumsi nilai atau norma tersebut maka secara relatif mudah untuk mengidentifikasi pelaku penyimpangan atau kejahatan. Kondisi penegakan hukum yang selektif merupakan gambaran dari cara kerja kebanyakan penegak hukum, sehingga kategori-kategori tertentu cenderung untuk diberi cap sebagai penjahat dan dikenai sanksi.
- Penyimpangan sebagai problematik subyektif
Pada cara pendekatan ini, fokus studinya pada batasan sosial dari pelaku kejahatan, karenanya perlu diketahui bagaimana perspektif dari orang-orang yang memberikan batasan kepada seseorang sebagai pelaku penyimpangan sosial. Yang menjadi tujuan pada pendekatan ini bukan mencari jawaban atas ciri-ciri pelaku atau perbuatannya, akan tetapi masalah pembentukan persepsi tentang kejahatan, sehingga pertanyaan pokoknya bukan “siapakah penjahat”, melainkan bagaimanakah kelompok memberi batasan penjahat dan kejahatan. Dengan demikian, penjahat dan kejahatan adalah masalah batasan sosial.[15] Penyimpangan sebagai proses interaksi karenanya membutuhkan tindakan-tindakan penegak hukum dalam menunjukkan bekerjanya pemberian sanksi kepada orang lain. Apabila ini berhasil, maka keadaan ini akan mengubah hubungan dengan orang yang bersangkutan untuk waktu-waktu yang akan datang. Pada proses ini diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang dapat dimulainya proses pemberian cap, seperti kejadian-kejadian yang tidak biasa serta jaringan hubungan sosial. Proses pemberian cap ini dapat digambarkan sebagai berikut :
- Siapa memberi cap kepada siapa,
- Atas dasar apa,
- Bagaimana caranya,
- Sebelum atau sesudah tindakan tersebut,
- Dihadapan siapa saja,
- Apakah akibat atau pengaruh dari pemberian cap tersebut.[16]
Proses pemberian cap dipandang berhasil apabila pemberi cap, masyarakat dan orang yang diberi cap mengerti dan menerimanya, sehingga akan berpengaruh pada semua hubungan di masa-masa selanjutnya. Pemberian cap lebih efektif apabila diberikan dari atas ke bawah daripada sebaliknya, cap negatif pada umumnya lebih cepat diterima daripada pemberian cap yang positif.
RUJUKAN
[1] Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Jakarta : CV. Rajawali, 1984, Cet 1, h.4.
[2] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung : PT. Eresco, 1992, h. 53.
[3] I.S. Susanto, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, h. 47.
[4] Agresif, secara psikologis berarti cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat.
[5] I.S. Susanto, Op cit, h. 36.
[6] I.S. Susanto, Op cit, h. 36.
[7] Pasal 44 KUHP ayat 1) “barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”. Ayat 2 “jika nyata perbuatan itu tidak dipertanggung kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka haakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumaha sakit gila selama-lamanya 1 tahun untuk diperiksa.
[8] I.S. Susanto, Op cit, h. 57.
[9] I.S,Susanto, Op cit, h. 59.
[10] I.S. Susanto, Op cit, h. 61.
[11] Disosiasi disebut juga sebagai kepribadian terpecah atau kepribadian ganda yang masing-masing kepribadian memiliki trait atau ingatan yang terdefinisikan secara baik menempati tubuh satu orang. Mereka bisa sadar atau tidak sadar akan keberadaan satu dan yang lainnya.
[12] Kleptomania adalah gangguan mental yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Fetisisme adalah gangguan mental dimana seseorang mencapai kepuasan seksual dengan menggunakan benda milik seseorang, misal pakaian dalam. Exhibisionist adalah orang suka pamer atau kasih liat alat kelaminnya ke orang lain, di tempat umum. Pyromania adalah penyakit kejiwaan, dimana seseorang yang mengidap penyakit ini memiliki dorongan kuat untuk sengaja menyulut api.
[13] I.S. Susanto, Op cit, h. 63.
[14] I.S. Susanto,Op cit, h. 73.
[15] I.S. Susanto, Op cit, h. 78.
[16] I.S. Susanto, Op cit, h. 79.