Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh
Friday, 17 August 2018
Dalam hal ini ada beberapa Ulama menyampaikan pernyatan mengenai ta’widh atau ganti rugi secara Islam, sebagai berikut:
a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mughni, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian dan karenanya harus dihindarkan, ia menyatakan:
Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan,atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji dimana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”
b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili :
Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan”.16 Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: 1) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding. 2) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya denganbenda yang sama (sejenis) atau dengan uang”
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya”.
c. Pendapat Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li :
Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampudidasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.”
d. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh Isham Anas al-Zaftawi:
Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syariah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti, sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, disamping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”