Pengertian Ketenangan Jiwa
Wednesday, 18 September 2019
Kata ketenangan jiwa terdiri dari kata ketenangan dan jiwa. Ketenanganberasal dari kata tenang yang mendapat sufiks ke-an. Tenangberarti diam tak berubah-ubah (diam tak bergerak-gerak); tidak gelisah, tidak rusuh, tidak kacau, tidak ribut, aman dan tentram (tentang perasaan hati, keadaan dan sebagainya) (Kamus, 1993: 927).
Dalam kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S Poerwadarminta (1986: 421), dikatakan bahwa “kata ketentraman searti dengan ketenangan. Sedangkan jiwa secara bahasa berasal dari kata “Psyche” yang berarti jiwa/nyawa atau alat untuk berfikir (Irwanto dkk, 1989: 3), dalam bahasa arab sering disebut dengan “An-Nafs” (Yunus,1989: 462). Imam Ghazali (1984: 3) mengatakan bahwa jiwa adalah manusia-manusia dengan hakikat kejiwaannya.
Kemudian dilihat dari kacamata psikologi, menurut Wasty Soemanto (1988: 15) jiwa adalah kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan tingkah laku manusia, jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong tingkah laku. Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka berfungsinya jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang nampak.
Filosof pengikut plotinus (para filosof Yunani), sebagaimana yang dikutip oleh Abbas Mahmud Al Aqqad (1991: 38), bahwa jiwa menurut mereka adalah sinonim dengan gerak hidup kekuatan yang membuat anggota-anggota badan menjadi hidup yakni kekuatan yang berlainan fisik material, dapat tumbuh beranak, dan berkembangbiak tingkat kemauannya lebih besar dari pada benda tanpa nyawa dan lebih kecil dari pada roh, jiwa tidak dapat dipindah dari tempat ia berada.
Manusia yang memiliki jiwa yang tenang dan tentram selalu merasa bahwa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah. Hanya menginginkan hal-hal yang bersifat rohaniah yang bisa mengisi jiwanya (Al Maraghi, 1993: 273). Zakiah Darajat (1982: 13) mendefinisikan ketenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan dapat merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Abdul Mujib (2001: 133) mendefinisikan ketenangan jiwa diartikan: pertama, pola negative bahwa ketenangan jiwa adalah terhindarnya seseorang dari neorosis dan psikis, kedua, pola positif, bahwa ketenangan jiwa adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan lingkungannya.
Hanna Djumhana Bastaman (1995: 71) mendefinisikan ketenangan jiwa adalah kemampuan individu untuk memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga dapat memperoleh manfaat dirinya sendiri maupun orang lain. Abdul Aziz El-Quusy (1974: 38) dalam bukunya Ususush Shihhah an-nafsiyah, mengatakan bahwa sehat jiwa atau mental adalah: “Keserasian yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa terjadi pada orang, di samping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan.”
Baidi Bukhari (2007: 28) mendefinisikan ketenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungan berdasarkan keimanan, ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia dunia akhirat. Menurut Kartini Kartono (1989: 4) orang yang jiwanya tenang selalu berusaha bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, tidak terganggu oleh macammacam ketegangan, ketakutan serta konflik.
Dari beberapa pendapat diatas peneliti menyimpulkan ketenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa dan dapat merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta merasa bahwa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S Poerwadarminta (1986: 421), dikatakan bahwa “kata ketentraman searti dengan ketenangan. Sedangkan jiwa secara bahasa berasal dari kata “Psyche” yang berarti jiwa/nyawa atau alat untuk berfikir (Irwanto dkk, 1989: 3), dalam bahasa arab sering disebut dengan “An-Nafs” (Yunus,1989: 462). Imam Ghazali (1984: 3) mengatakan bahwa jiwa adalah manusia-manusia dengan hakikat kejiwaannya.
Kemudian dilihat dari kacamata psikologi, menurut Wasty Soemanto (1988: 15) jiwa adalah kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan tingkah laku manusia, jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong tingkah laku. Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka berfungsinya jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang nampak.
Filosof pengikut plotinus (para filosof Yunani), sebagaimana yang dikutip oleh Abbas Mahmud Al Aqqad (1991: 38), bahwa jiwa menurut mereka adalah sinonim dengan gerak hidup kekuatan yang membuat anggota-anggota badan menjadi hidup yakni kekuatan yang berlainan fisik material, dapat tumbuh beranak, dan berkembangbiak tingkat kemauannya lebih besar dari pada benda tanpa nyawa dan lebih kecil dari pada roh, jiwa tidak dapat dipindah dari tempat ia berada.
Manusia yang memiliki jiwa yang tenang dan tentram selalu merasa bahwa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah. Hanya menginginkan hal-hal yang bersifat rohaniah yang bisa mengisi jiwanya (Al Maraghi, 1993: 273). Zakiah Darajat (1982: 13) mendefinisikan ketenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan dapat merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Abdul Mujib (2001: 133) mendefinisikan ketenangan jiwa diartikan: pertama, pola negative bahwa ketenangan jiwa adalah terhindarnya seseorang dari neorosis dan psikis, kedua, pola positif, bahwa ketenangan jiwa adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan lingkungannya.
Hanna Djumhana Bastaman (1995: 71) mendefinisikan ketenangan jiwa adalah kemampuan individu untuk memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga dapat memperoleh manfaat dirinya sendiri maupun orang lain. Abdul Aziz El-Quusy (1974: 38) dalam bukunya Ususush Shihhah an-nafsiyah, mengatakan bahwa sehat jiwa atau mental adalah: “Keserasian yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa terjadi pada orang, di samping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan.”
Baidi Bukhari (2007: 28) mendefinisikan ketenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungan berdasarkan keimanan, ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia dunia akhirat. Menurut Kartini Kartono (1989: 4) orang yang jiwanya tenang selalu berusaha bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, tidak terganggu oleh macammacam ketegangan, ketakutan serta konflik.
Dari beberapa pendapat diatas peneliti menyimpulkan ketenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa dan dapat merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta merasa bahwa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.