Asas Personal
Thursday, 3 April 2014
SUDUT HUKUM | Asas Personal atau Asas Nasional yang
aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang
berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila
ada warga Negara asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan
tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut
maka berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum
Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang
melakukan perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara,
martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
“(1). Ketetentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar
Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II
Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu
perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana
perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
(2). Penuntutan
perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”.
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang
diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal,
akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan
nasional (asas nasional pasif) karena
:
Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar
wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja,
yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional.
Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undanganhukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial
wilayah Negara.
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga
Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan
menjadi warga Negara Indonesia (naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana
yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana
merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena
mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting
adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan
diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan,
bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah
untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah
sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin
dijatuhkan menurut KUHP Negara asing tadi.