Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan (bag.2)
Wednesday, 18 March 2015
Sudut Hukum | Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan, oleh Barda Nawawi Arief
B. Perkembangan
dan Latar Belakang Ide ADR – Mediasi Penal
Ide
atau wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana, antara lain
terlihat dari perkembangan sebagai berikut :
a. Dalam
dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manaje-men
peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya se-mua
negara mempertimbangkan “priva-tizing some law enforcement and justice
functions” dan “alternative dispute resolu-tion/ADR” (berupa
mediasi, konsiliasi, res-titusi, dan kompensasi) dalam sistem per-adilan
pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sbb. :
“The techniques of mediation, consi-liation and
arbitration, which have been developed in the civil law environment, may
well be more widely applicable in criminal law. For example, it is possible
that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving
fraud and white-collar crime pose for courts could by reduced, if not entirely
eliminated, by applying principles deve-loped in conciliation and arbitration
hearings. In particular, if the accused is a
corporation or business entity rather than an individual person, the funda-mental
aim of the court hearing must be not 21to impose punishment but to achieve an
outcome that is in the interest of society as a whole and to reduce the
probability of recidivism”.
Menurut kutipan di atas, ADR yang
telah dikembangkan dalam lingkungan hukum perdata, seyogyanya juga dapat
diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Dicon-tohkan misalnya, untuk perkara-perkara
pidana yang mengandung unsur “fraud”
dan “white collar-crime” atau apabila terdak-wanya adalah korporasi/badan
usaha. Ditegaskan pula, bahwa apabila terdakwa-nya adalah korporasi/badan
usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah
menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang berman-faat bagi
kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya
pengulangan (recidive).
b.
Dalam laporan Kongres PBB ke-9/1995
tentang “The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF. 169/16), antara lain dikemukakan :
- untuk
mengatasi problem kelebihan mu-atan (penumpukan perkara) di penga-dilan, para
peserta kongres mene-kankan pada upaya pelepasan bersya-rat, mediasi, restitusi, dan kompensasi,
khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan No.112);
- Ms.
Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan “mediasi penal” (penal
mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan
penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban. (dalam
laporan No. 319);
c.
Dalam ”International Penal Reform Confe-rence” yang diselenggarakan di
Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999
dikemu-kakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum
pidana (the key elements of a new agenda
for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan
sistem atau mekanisme informal dalam
penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial
system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet
human rights standards).
Konferensi
ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan
pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/ membangun :
1.
Restorative
justice
2. Alternative
dispute resolution
3. Informal justice
4.
Alternatives to Custody
5. Alternative
ways of dealing with juveniles
6. Dealing
with Violent Crime
7. Reducing the prison population
8. The Proper Management of
Prisons
9. The
role of civil society in penal reform
d.
Pada 15 September 1999, Komisi Para
Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the
Council of Europe ) telah menerima Re-commendation No. R
(99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”.
e. Dalam
Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3), antara
lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan,
hendaknya diintrodusir mekanis-me mediasi dan peradilan restoratif (resto-rative justice).
f.
Pada 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat the
EU Council Framework Decision ten-tang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the Standing of Victims in Criminal
Proceedings) - EU (2001/220/JBZ)
yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi. Pasal 1 (e) dari Framework
Decision ini mendefinisikan “mediation in criminal cases” sebagai
: ‘the search prior to or during
criminal proceedings, for a nego-tiated solution between the victim and the
author of the offence, mediated by a com-petent person’. Pasal
10-nya menyatakan, setiap negara anggota akan berusaha “to promote mediation
in criminal cases for offences which it considers appropriate for this sort of
measure”. Walaupun Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan (encouragement),
namun menurut Anne-mieke
Wolthuis [1],
berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara anggota wajib mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara
lain mengenai “the right to mediation”.
g.
Pada
tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai “Basic
Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters” yang
di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.[2]
Resume :
- Masalah mediasi dalam perkara pidana,
sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat internasional, yaitu dalam Kongres
PBB ke-9/1995 dan ke-10/2000 mengenai ”Prevention
of Crime and the Treatment of Offenders” dan dalam Konferensi Interna-sional
Pembaharuan Hukum Pidana (Interna-tional
Penal Reform Conference) tahun 1999;
- Pertemuan-pertemuan internasional itu
men-dorong munculnya tiga dokumen interna-sional yang berkaitan dengan masalah
peradilan restoratif dan mediasi dalam per-kara pidana, yaitu : (1) the
Recommendation of the Council of Europe 1999 No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”; (2) the EU Framework Decision 2001 tentang the Standing of Victims in Criminal
Proceedings; dan (3) the UN Principles 2002 (draft Ecosoc) tentang “Basic Principles on the Use of Restorative
Justice Programmes in Criminal Matters”;
- Adapun
latar belakang pemikirannya ada yang
dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan ada yang dikaitkan dengan masalah pragmatisme.
Latar belakang ide-ide ”penal reform”
itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi
kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif
dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya
dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alter-native to custody) dsb. Latar
belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan
perkara (“the problems of court case overload”)[3],
untuk penyederhanaan proses peradilan dsb.
- Mengenai
latar belakang ide/dasar pemikiran dari model mediasi ini, Rekomendasi No. R (99) 19 dari Komisi
para Menteri Dewan Eropa (the Committee
of Ministers of the Council of Europe ) 15
September 1999 pernah menyatakan, bahwa : [4]
Ide mediasi mempersatukan mereka yang
menghendaki dilakukannya rekons-truksi model terdahulu, mereka yang menghendaki
diperkuatnya kedudukan korban, mereka yang menghendaki alter-natif pidana, dan
mereka yang meng-hendaki dikuranginya pembiayaan dan beban kerja dari sistem
peradilan pidana atau membuat sistem ini lebih efektif dan efisien.
(The idea of mediation
unites those who want to reconstruct long foregone modes of conflict
resolution, those who want to strengthen the position of victims, those who
seek alternatives to punishment, and those who want to reduce the ex-penditure
for and workload of the criminal justice system or render this system more
effective and efficient).
Di
samping latar belakang perkembangan teoritik dan internasional di atas,
kearifan lokal dalam hukum adat di Indonesia yang berlan-daskan
alam pikiran kosmis, magis dan religius sudah lama mengenal lembaga
mediasi penal ini, antara lain di Sumatera Barat, Aceh, dan hukum adat Lampung. [5] Bahkan
di Aceh (NAD) sudah dituangkan dalam Perda No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan
Kehidupan Adat yang antara lain intinya mengatur sbb. :
Pasal 13 :
sengketa diselesaikan
terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah adat.
Pasal 14 :
-
perdamaian
: mengikat para pihak;
-
yang
tidak mengindahkan keputusan adat, dikenakan sanksi adat.
Pasal 15
-
apabila
para pihak tidak puas terhadap putusan adat dapat mengajukan perkaranya ke
aparat penegak hukum.
-
Keputusan
adat dapat dijadikan pertimbang-an oleh
aparat penegak hkm.
Dalam praktek peradilan pidana di Indone-sia
pun pernah terjadi (dalam kasus Ny. Ellya Dado, disingkat “Kasus Ny. Elda”),
adanya “perdamaian” digunakan sebagai pertimbangan untuk menyatakan bahwa
tindak pidana yang terbukti tidak lagi
merupakan suatu kejahatan ataupun pe-langgaran, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum.[6]
Bersambung ke bagian 3
[1] Annemieke Wolthuis, Will Mediation in Penal Matters be mandatory? The Impact of
International Standards, fp.enter.net/restorativepractices/MediationMandatory
[2] Tercantum dalam dolumen E/2002/INF/2/Add.2,
international-research-project-report2
(sbr.: internet); lihat juga Annemieke, ibid.
[3] Upaya
untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara), di beberapa negara lain
juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan” (“suspension
of prosecution”) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (“conditional
dismissal/discontinu-ance of the proceedings”) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal 248
KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang *)
dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiel) Polandia. (Lihat Barda Nawawi
Arief, Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, BP UNDIP. Semarang , cetakan ke-3, 2000, hal. 169-171).
[4]
Recommendation No. R (99) 19 by the Committee of
Ministers of the Council of Europe, Mediation
IN PENAL MATTERS, http://sfm.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc.
[5] Lihat Hilman Hadikusuma. 1979. Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni;
dan Natangsa Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf Dalam Konteks Kebijakan Pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis S2 Hukum UNDIP, 2003.
[6]
Lihat Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara-Timur, No. 46/PID/78/UT/ WANITA,
17 Juni 1978. Hakim ketua sidang : Bismar Siregar, SH.