Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan
Wednesday, 18 March 2015
Sudut Hukum | Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan, oleh Barda Nawawi Arief
A.
Peristilahan,
Pengertian, Prinsip Kerja, dan Model-Model Mediasi Penal
1. Mediasi
penal (penal mediation) sering juga
disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling,
dalam istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA**))
dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi
penal terutama memperte-mukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka
mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender
Medi-ation”
(VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim
Arrangement (OVA).
2. Mediasi
penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (yang biasa dikenal dengan isti-lah ADR atau ”Alternative Dispute Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution” [1]).
ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata[2],
tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat
ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di
luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.
3. Walaupun
pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa
perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar
pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui
mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam ma-syarakat (musyawarah
keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya,
sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian
damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
4. Dalam
perkembangan wacana teoritik mau-pun perkembangan pembaharuan hukum pidana di
berbagai negara, ada kecende-rungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal
sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut
Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana
menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu
besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi [3].
5. Mediasi
pidana yang dikembangkan itu ber-tolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut : [4]
a. Penanganan
konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan
kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini
didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik
itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b. Berorientasi
pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses
daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya,
kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb.
c. Proses informal (Informal Proceeding - Informalität):
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak
bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and
Autonomous Partici-pation - Parteiautonomie/Subjektivie-rung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai
objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai
tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka
diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
6.
Model-model Mediasi Pidana :
Dalam “Explanatory memorandum” dari Rekomendai Dewan
Eropa No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal
sebagai berikut : [5]
a.
"informal mediation"
b.
"Traditional
village or tribal moots"
c.
"victim-offender
mediation"
d.
”Reparation
negotiation programmes"
e.
"Community
panels or courts"
f.
"Family
and community group conferen-ces",
Ad (a) : Model
"informal mediation"
* Model
ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice person-nel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat
dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk
mela-kukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penun-tutan
apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat
pengawas (probation officer), oleh
pejabat polisi, atau oleh Hakim.
*
Jenis
intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
Ad (b) : Model
"Traditional village or tribal moots"
Menurut model ini, seluruh masyarakat ber-temu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya.
Menurut model ini, seluruh masyarakat ber-temu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya.
-
Model
ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/ pedalaman.
-
Model
ini lebih memilih keuntungan bagi
masyarakat luas.
-
Model
ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan
program-program mediasi modern. Pro-gram mediasi modern sering mencoba
memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat
modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.
Ad
(c) : Model "victim-offender mediation"
-
Mediasi
antara korban dan pelaku meru-pakan model yang paling sering ada dalam pikiran
orang.
- Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan
dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini.
Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal,
mediator independen, atau kombi-nasi.
- Mediasi
ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijak-sanaan
polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.
- Model
ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus
untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan,
perampokan dan tindak kekerasan). Ada
yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk
delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.
Ad (d) : Model
”Reparation negotiation programmes"
- Model
ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus
dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan
di pengadilan.
-
Program
ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya
berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel.
-
Dalam
model ini, pelaku tindak pidana dapat
dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti
rugi/kompensasi.
Ad
(e) : Model "Community panels or courts"
- Model
ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penun-tutan atau
peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan infor-mal dan
sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
Ad
(f) : Model "Family and community group conferences"
- Model
ini telah dikembangkan di Australia
dan New Zealand ,
yang melibatkan parti-sipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana).
Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga
pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim
anak) dan para pendukung korban.
- Pelaku
dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang kompre-hensif dan
memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari
kesusahan/persoalan berikutnya.
Bersambung Ke bagian dua
**) Di Austria terdiri dari ATA-J (Außergerichtlicher
Tatausgleich für Jugendliche) untuk
anak, dan ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene)
untuk orang dewasa.
[1] New
York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State ,
An Overview, sbr internet.
[2] Lihat UU No. 30/1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[3] Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal
Law, University of Bielefeld ,
Germany ), “Restitution and Offender-Victim Arrangement
in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/
bclc/bclr.htm
[4] Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and
Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological Study of a
Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and
France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html.
[5] sfm.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc