Perkembangan Rumusan Tindak Pidana Yang Terkait Dengan Karya Jurnalistik Dalam RUU KUHP
Monday, 29 September 2014
PERKEMBANGAN RUMUSAN
TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN KARYA JURNALISTIK DALAM RUU KUHP
Oleh
Dr.
Mudzakkir, S.H., M.H
Dosen
Hukum Pidana
Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia
Makalah disampaikan pada seminar "Perkembangan
Rumusan Tindak Pidana yang Terkait dengan Karya Jurnalistik" yang
diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi
KUHP bekerjasama dengan Komnas HAM di Hotel Santika
Jakarta, 4 Juli 2007.
A. PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai masalah pers dihubungkan dengan hukum
pidana dan RUU KUHP telah dibahas dalam serangkaian kegiatan ilmiah baik
melalui kajian hukum, penelitian maupun pembahasan dalam seminar dan diskusi.
Seminar hari ini merupakan bagian dari serangkan kegiatan tersebut, maka melalui
seminar hari ini saya berharap semoga forum berhasil merumuskan secara jelas rumusan
hukum pidana dalam RUU KUHP sebagai bentuk jaminan perlindungan hukum terhadap
setiap orang yang melaksanakan profesinya, khususnya profesi di bidang pers.
Untuk membahas tema dalam makalah ini, panitia menetapkan tiga
pokok bahasan, yaitu:
- Perbedan rumusan tindak pidana yang terkait dengan karya jurnalistik dari setiap versi RUU KUHP
- Implikasi dari hukuman pencabutan profesi dalam RUU KUHP
- Kemungkinan ada klausul terhadap perlindungan karya jurnalistik
Ketiga pokok bahasan tersebut perlu dipertegas terlebih dahulu pengertian
“karya jurnalistik” dan “perlindungan karya jurnalistik”, karena dalam
pembahasan hukum pidana terminologi hukum menjadi terminologi baku dan
dipergunakan agar sesuai dengan maksud dan tujuan dalam penetapan hukum
tersebut. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyebutkan secara
tegas istilah “pers”, yaitu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
uraian yang tersedia (Pasal 1 ke 1). Sedangkan orang yang secara teratur
melaksanakan kegiatan jurnalistik disebut “wartawan”.
Dalam
melaksanakan kegiatan jurnalistik ada dua hal yang perlu memperoleh perhatian
dan perlindungan hukum, yaitu proses dan produk. Proses adalah kinerja wartawan
atau kegiatan jurnalistik dan produk adalah hasil yang diproses oleh wartawan
melalui kegiatan jurnalistik. Istilah “karya jurnalistik” berarti hasil kerja
atau produk kerja wartawan yang disajikan dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang
tersedia. “Perlindungan karya jurnalistik” berarti perlindungan terhadap hasil
kerja wartawan.
Materi
seminar tentang topik ini adalah baik dan perlu agar karya jurnalistik
dilindungi oleh hukum, termasuk perlindungan hukum pidana. Terhadap karya
jurnalistik ini, sudah diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta yang di dalamnya juga memuat ketentuan sanksi pidana yang
dapat diterapkan kepada orang yang melanggar karya jurnalistik sebagai
pelanggaran hak cipta. Pembahasan mengenai topik ini sebaiknya pada seminar
tersendiri, tidak dalam konteks kajian dengan RUU KUHP.
Agar topik
bahasan seminar sinkron dengan tema-tema aktual dan mengemuka dari diskusi dan
seminar sebelumnya, maka makalah ini memfokuskan pembahasan mengenai “jaminan
perlindungan terhadap pers” sehubungan dengan adanya penuntutan dan penjatuhan
pidana terhadap orang yang melaksanakan profesinya di bidang pers (wartawan dan
pimpinan umum/pimpinan redaksi). Atas dasar pertimbangan tersebut, naskah ini membahas
mengenai perlindungan hukum terhadap pers khususnya dan pelaksanaan tugas
profesi pada umumnya.
B. RUMUSAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN PERS
DALAM KUHP DAN RUU KUHP
Teknik perumusan tindak pidana dalam RUU KUHP dirumuskan untuk
semua perbuatan yang dilakukan oleh semua orang, maka RUU KUHP menggunakan
frase “setiap orang”, KUHP menggunakan frase “barang siapa”, yang ditujukan
kepada subjek larangan dalam hukum pidana. Rumusan tindak pidana memang tidak
ditujukan kepada subjek hukum tertentu, kecuali untuk rumusan tersebut dimaksudkan
untuk memperberat atau memperingan ancaman pidana atau karena tindak pidana
tersebut memang secara spesifik hanya dapat dilakukan oleh subjek hukum
tertentu. Misalnya, dalam Pasal 349 KUHP disebutkan pelakunya tenaga medik
ancaman pidananya diperberat sepertiga dan suap terhadap pejabat sebagaimana
diatur dalam Pasal 418 dan 419 atau suap kepada hakim dalam 420 KUHP (sekarang
sudah dihapus dan dipindahkan ke dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Teknik rumusan tindak pidana dalam hukum pidana tidak ditujukan
kepada subjek hukum tertentu, maka sejauh yang berkaitan dengan pers, KUHP
tidak secara khusus mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pers.
Dalam Buku I KUHP mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh pencetak dan
penerbit, karena keduanya menjadi suatu pekerjaan atau mata pencarian yang sah
dan dibenarkan oleh hukum, maka penerbit dan pencetak dilindungi dalam hukum
pidana makala keduanya mentaati aturan yang berlaku bagi penerbit dan pencetak.
Pasal 61 dan 62 KUHP mengatur kapan dan dalam hal apa penerbit dan pencetak tidak
bisa dituntut dan bisa dituntut terhadap kejahatan yang menggunakan sarana penerbitan
dan percetakan yang dilakukan oleh orang lain.
Batas-batas pertanggungjawaban hukum pidana bagi penerbit dan pencetak
dirumuskan secara jelas dan tegas dalam Pasal 61 dan 62 KUHP, selengkapnya
dikutip:
Pasal 61
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan,
penertibnya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan
disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya terkenal, atau setelah
dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan kepada
penerbit.
(2) Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang
cetakkan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.
Pasal 62
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan,
pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan
disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak
dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu
diberitahukan oleh pencetak.
(2) Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh
mencetak pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut sudah menetap
di luar Indonesia.
Kedua pasal tersebut
merupakan asas hukum pidana dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap
orang yang sedang menjalani pekerjaan sebagai mata pencaharian yang sah.
Perlindungan hukum pidana diberikan dengan syarat khusus, yakni apabila
mentaati kaedah hukum yang dimuat dalam Pasal 61 dan 62 KUHP. Sebaliknya, jika
melanggar kaedah hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 dan 62 maka penerbit
dan pencetak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. KUHP tidak mengikuti
sistem perlindungan mutlak terhadap pencetak dan penerbit, sehingga keduanya tidak
selalu ‘kebal tuntutan pidana’.
Pengaturan yang demikian ini penting agar
orang yang menjalankan usaha yang sah di bidang penerbitan dan percetakan merasa
aman, mengingat tindak pidana yang menggunakan sarana penerbitan dan percetakan
hampir selalu melibatkan penerbit dan pencetak, dan keduanya dapat dikenakan
sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 atau 56 KUHP
yang mengatur delik penyertaan dan pembantuan.
Ketentuan hukum pidana sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 61 dan 62 KUHP tersebut juga berlaku kepada pers, apabila perusahaan
di bidang pers tersebut melakukan usaha di bidang percetakan dan penerbitan,
maka pers memiliki kekebalan dan sekaligus ketidak-kebalan terhadap tuntutan hukum
pidana.
Dasar hukum penuntutan pidana terhadap
penerbit dan pencetak diatur dalam Pasal 483 dan 484 KUHP.
Pasal 483
Barang siapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu
gambar yung karena sifatnya dapat diancam dengan pidana, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama
satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika:
l. si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak
diberitahukan namanya oleh penerbit pada peringatan pertama sesudah penuntutan
berjalan terhadapnya;
2. penerbit sudah mengetahui atau pat,ut menduga hahwa
pada waktu tulisan atau gambar itu diterbitkan, si pelaku itu tak dapat
dituntut atau akan menetap di luar Indonesia.
Pasal 484
Barang siapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan
perbuatan pidana, diancam dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah, jika:
1. orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui,
dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran pertama tidak diberitahukan
olehnya;
2 pencetak mengetahui atau seharusnya renduga bahwa orang
yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap
di luar Indonesia.
Pasal 485
Jika sifat tulisan atau gambar merupakan kejahatan yang
hanya dapat dituntut atas pengaduan, maka penerbit atau pencetak dalam kedua
pasal di atas hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena kejahatan itu.
Pengaturan tindak pidana yang terkait dengan penertiban dan
pencetakan tersebut asas hukum penuntutannya diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP
dan penuntutan pidananya diatur dalam Pasal 483 dan 484 KUHP. Pasal-pasal
tersebut tidak menyebutkan secara khusus untuk profesi di bidang pers yang
terkait dengan penerbitan dan percetakan. Sejauh kegiatan usaha di bidang pers
yang terkait dengan pencetakan dan penerbitan, dapat dikenakan pasal Pasal 61
dan 62 KUHP dan Pasal 483 dan 484 KUHP.
RUU KUHP tidak mengatur secara khusus asas hukum pidana dalam
Buku I yang mengatur ketentuan penuntutan terhadap penerbitan dan percetakan. Ketentuan
mengenai kejahatan dengan menggunakan sarana percetakan dan penerbitan dalam RUU
KUHP diatur dalam Buku II Pasal 737, 738 dan 739. Selangkapnya dikutip:
Bagian ketiga
Tindak Pidana Penerbitan
dan Pencetakan
Pasal 737
Setiap orang yang menerbitkan tulisan atau gambar yang menurut
sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:
a. orang yang menyuruh menerbitkan tulisan atau gambar tidak diketahui
atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan; atau
b. penerbit mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang menyuruh menerbitkan
pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.
Pasal 738
Setiap orang yang mencetak tulisan atau gambar yang menurut
sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:
a. orang yang menyuruh mencetak tulisan atau gambar tidak diketahui
atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan; atau
b. pencetak mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang menyuruh
mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar
negeri.
Pasal 739
Jika sifat tulisan atau gambar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 737 dan Pasal 738 merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas
pengaduan, maka penerbit atau pencetak hanya dapat dituntut atas pengaduan dari
orang yang terkena tindak pidana tersebut.
Rumusan tindak pidana untuk penerbitan dan percetakan dalam
Pasal 737 dan 738 RUU KUHP sama dengan rumusan tindak pidana yang dimuat dalam
Pasal 483 dan 494 KUHP. Perbedaannya pengaturan delik penerbitan dan percetakan
dalam KUHP adalah Buku I RUU KUHP tidak memuat ketentuan umum sebagai asas
hukum pertanggungjawaban hukum pidana terhadap penerbit dan pencetak
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP.
C. PIDANA PENCABUTAN UNTUK MELAKUKAN
PEKERJAAN PROFESI DI BIDANG PERS DAN IMPLIKASINYA
Pidana pencabutan untuk melakukan pekerjaan profesi tidak
diatur secara eksplisit dalam KUHP. Pasal 10 huruf b nomor 1 KUHP memuat “pidana
pencabutan hak-hak tertentu” sebagai pidana tambahan. Pengertian pencabutan
hak-hak tertentu tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dan tidak memuat secara
khusus tentang pencabutan untuk melakukan pekerjaan profesi. Karena tidak
diatur secara eksplisit, maka pencabutan hak untuk menjalani profesi atau
pekerjaan tertentu tidak dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 10 KUHP.
Pencabutan untuk mejalani pekerjaan profesi tertentu dapat dijatuhkan kepada
pelaku tindak pidana apabila diatur dalam peraturan perundang-undangan lain
yang dihubungkan dengan pidana tambahan dalam Pasal 10 KUHP.
RUU KUHP mengatur lebih rinci tentang pidana tambahan dan lebih
banyak jenisnya dibandingkan dengan ketentuan yang ada dalam KUHP, sebagaimana
dimuat dalam Pasal 67 Ayat (1).
Pasal 67
(1) Pidana
tambahan terdiri atas :
a. pencabutan
hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau
tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti
kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana tambahan yang
lain.
(3) Pidana tambahan
berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh
korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak
pidana.
(4) Pidana
tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan
pidana tambahan untuk tindak pidananya.
Pasal 68
Ketentuan mengenai tata cara
pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67
diatur dengan Undang-Undang.
Selanjutnya
ketentuan pidana tambahan diatur lebih lanjut secara rinci hak-hak yang dapat dicabut
baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu dalam Pasal 91 sampai dengan
Pasal 94 RUU KUHP.
Paragraf 12
Pidana Tambahan
Pasal 91
(1) Hak-hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a terpidana yang dapat dicabut adalah :
a. hak memegang jabatan
pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. hak menjadi
anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c. hak memilih dan
dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
d. hak menjadi
penasihat hukum atau pengurus
atas penetapan pengadilan;
e. hak menjadi wali, wali
pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya
sendiri;
f. hak menjalankan
kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampu atas anaknya sendiri; dan/atau
g.
hak menjalankan profesi
tertentu.
(2) Jika terpidana
adalah korporasi, maka hak yang dicabut adalah segala hak yang diperoleh
korporasi.
Pasal 92
Kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, pencabutan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf a dan
huruf b, hanya dapat dilakukan jika pembuat dipidana karena:
a. melakukan tindak
pidana jabatan atau tindak pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu
jabatan; atau
b. menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepada terpidana karena
jabatannya.
Pasal 93
Kekuasaan
bapak, wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anaknya
sendiri maupun atas anak orang lain, dapat dicabut jika yang bersangkutan
dipidana karena:
a. dengan sengaja
melakukan tindak pidana
bersama-sama dengan anak yang belum
cukup umur yang berada dalam
kekuasaannya; atau
b. melakukan tindak
pidana terhadap anak yang belum cukup umur yang berada dalam
kekuasaannya sebagaimana dimaksud dalam Buku Kedua.
Pasal 94
(1) Jika pidana
pencabutan hak dijatuhkan, maka wajib ditentukan lamanya pencabutan sebagai
berikut:
a. dalam hal dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur
hidup, pencabutan hak untuk selamanya;
b. dalam hal
dijatuhkan pidana penjara, pidana tutupan, atau
pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan hak paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan;
c. dalam hal pidana
denda, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(2) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan pada korporasi, maka hakim bebas
dalam menentukan lama pencabutan hak tersebut.
(3) Pidana pencabutan hak
mulai berlaku pada tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, RUU KUHP
telah memasukkan ketentuan pencabutan hak untuk menjalankan profesi tertentu
yang semula diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pidana tambahan
berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi diancamkan dalam berbagai pasal
dalam Buku II tentang Tindak Pidana. Pencantuman ancaman sanksi pidana tambahan
tersebut sebagai syarat agar sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk
menjalani pekerjaan profesi tertentu dapat dijatuhkan.
Siapa yang berwenang untuk mencabut hak
seseorang untuk menjalani profesi tertentu? Apakah hakim, pemerintah, atau
organisasi profesi? Ada dua alasan pencabutan untuk menjalani profesi tertentu,
yaitu sebagai sanksi pidana karena menyalahgunakan profesi untuk melakukan
tindak pidana dan sebagai sanksi administratif karena melanggar atau tidak lagi
memenuhi syarat administratif yang diatur dalam hukum administrasi. Penjatuhan
sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalani profesi tertentu
dilakukan oleh hakim, sedangkan penjatuhan sanksi administrasi dilakukan oleh
organisasi profesi yang bersangkutan atau dilakukan oleh hakim dengan alasan
melanggar hukum administrasi (bukan hukum pidana). Termasuk sanksi
administratif adalah melanggar kode etik profesi yang berakibat dijatuhkan
sanksi berupa dikeluarkan dari organisasi profesi atau dicabut lisensinya yang
berarti tidak boleh lagi menjalani profesi tertentu.
Penjatuhan sanksi kepada orang yang menjalani pekerjaan profesi
tertentu dilakukan karena adanya pelanggaran profesi yang kemudian juga melanggar
hukum. Ada perbedaan antara melanggar profesi dan melanggar hukum, karena
melanggar profesi tidak secara otomatik melanggar hukum dan pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh orang yang menjalani profesi selalu didahului adanya pelanggaran
profesi. Dalam hal-hal tertentu, pelanggaran hukum secara otomatik melanggar
profesi.
Mengenai pelanggaran profesi, saya telah
membahas dalam diskusi publik di Medan dalam makalah berjudul “Paradgma
Penyusunan RUU KUHP dan Kebebasan Berekspresi/Pers” diselenggarakan oleh LBH
Pers (27 Juni 2006). Inti pandangan hukum saya, bahwa hukum pidana tidak
melarang orang menjalankan pekerjaan profesi yang dilakukan secara profesional.
Larangan dalam hukum pidana tidak ditujukan untuk profesi tertentu. Hukum
pidana menggunakan terminologi yang bersifat umum dan ditujukan kepada siapa
saja yang menjadi subjek hukum pidana, orang dan korporasi.
Seseorang yang sedang menjalankan
pekerjaan profesinya secara profesional tidak dapat dikenakan sanksi pidana.
Seseorang dikatakan menjalankan pekerjaan profesinya secara profesional
apabila:
- sesuai dengan etika profesi yang dimuat dalam Kode Etik Profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi;
- perbuatan yang dilakukan sesuai dengan ilmu pengetahuan tertentu sebagai dasar untuk menjalankan profesinya yang dirumuskan dalam norma standar profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi;
- sesuai dengan hukum atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Orang yang menjalakan pekerjaan profesi secara secara
profesional tersebut memperoleh jaminan perlindungan hukum dan sekaligus
memperoleh kekebalan hukum. Artinya tidak dapat digugat karena melanggar hukum
perdata atau hukum administrasi, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana
administrasi, dan tentu saja tidak dapat diajukan ke pengadilan karena melanggar
pasal-pasal KUHP.
Sesuai dengan prinsip hukum dalam hukum pidana, jika
suatu perbuatan melanggar norma hukum ganda (hukum pidana dan hukum
administrasi), maka penggunaan hukum pidana dan sanksi pidana ditempatkan
sebagai senjata pamungkas dalam menyelesaikan pelanggaran hukum pidana yang
terkait dengan hukum administrasi. Kedudukan hukum pidana dan sanksi pidana
dikenal sebagai ultimum remedium.
Hal yang harus dicermati, pelanggaran dalam menjalankan
profesi bisa jadi hanya melanggar etika profesi saja, tidak melanggar atau
bertentangan dengan standar profesi. Demikian sebaliknya, melanggar standar
profesi tetapi tidak melanggar etika profesi.
Perbuatan melawan hukum atau pelanggaran hukum, baik di
bidang hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana bagi orang yang
menjalankan pekerjaan profesi terjadi selalu didahului dengan adanya
pelanggaran etika profesi dan/atau pelanggaran standar profesi yang dietapkan.
Oleh sebab itu, perbuatannya disebut sebagai mal praktek. Sungguhpun demikian,
bisa saja terjadi pelanggaran hukum pidana terjadi tanpa didahului atau tidak
perlu dihubungkan dengan pelanggaran etika profesi dan/atau pelanggaran
profesi, karena pelanggaran hukum pidana terjadi secara otomatik melanggar
etika profesi dan melanggar standar profesi. Perbuatan pidana seperti ini
dikenal dengan penyalahgunaan profesi. Karena perbuatan tersebut juga melanggar
kode etik dan standar profesi, maka perbuatan tersebut dapat dimasukkan
kategori mal praktek.
Sanksi bagi orang yang menjalakan pekerjaan profesi
beragam sesuai dengan jenis pelanggarannya dan ketentuan hukum yang dilanggar,
yakni:
1.
Murni Pelanggaran Hukum (berdiri sendiri):
a.
Sengaja melanggar hukum pidana dalam menjalankan profesinya
(menyalahgunakan profesi).
b.
Sengaja melanggar hukum administrasi atau hukum
perdata dalam menjalankan praktek profesinya.
Pelanggaran hukum pidana tersebut sesungguhnya juga
melanggar kode etik profesi dan standar profesi. Yang berwenang untuk
menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi atau perdata adalah hakim.
2.
Melanggar hukum yang dihubungkan dengan pelanggaran
kode etik profesi dan/atau standar profesi:
a.
Melanggar kode etik profesi dan/atau standar profesi
dan pelanggaran tersebut sebagai perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana (mal praktek)
b.
Melanggar kode etik profesi dan/atau standar profesi
dan pelanggaran tersebut sebagai
perbuatan melawan hukum dalam hukum admistrasi atau hukum perdata.
Pelanggaran hukum tersebut terjadi bergantung kepada
ada tidaknya pelanggaran kode etik
profesi dan/atau standar profesi. Yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi
pidana dan sanksi administrasi atau perdata adalah hakim.
3.
Melanggar standar profesi
Menajalankan profesi yang tidak sesuai dengan standar
profesi, diselesaikan melalui internal organisasi profesi yang bersangkutan.
4.
Melanggar kode etik profesi
Menjalankan profesi yang melanggar kode etik
profesi, diselesaikan melalui internal organisasi profesi yang bersangkutan.
Dari uraian tersebut di atas jelas kiranya bahwa untuk
dapat dikenakan sanksi pidana dalam menjalankan pekerjaan profesi didahului
dengan adanya pelanggaran kode etik profesi dan/atau standar profesi, maka
tanpa adanya pelanggaran etika profesi dan/atau standar profesi tidak dapat
ditetapkan sebagai melakukan perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana. Namun
demikian, jika seseorang sengaja melakukan perbuatan pidana yang dilakukan
dengan cara menyalahgunakan profesinya, maka yang bersangkutan dapat dinyatakan
melawan hukum atau melanggar hukum pidana tanpa dikaitkan dengan ada-tidaknya
pelanggaran etika profesi dan/atau standar profesi.
Ancaman sanksi
pencabutan untuk menjalani profesi tertentu dapat dijatuhkan dari yang ringan
sampai dengan yang terberat, berupa peringatan akan dicabutnya lisensi untuk
menjalani profesi tertentu, larangan menjalani profesi dibatasi oleh waktu
tertentu, larangan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu tetapi bisa diubah
(kondisional), atau larangan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu/bersifat
tetap (permanen).
Ancaman atau
penjatuhan sanksi pencabutan hak untuk menjalani pekerjaan profesi membawa pengaruh
kepada kalangan profesi. Pengaruh tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu
pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh positif, yaitu:
- Berhati-hati dalam menjalani pekerjaan profesi dan mendorong (memaksa) anggota profesi untuk mentaati kode etik profesi dan menjalani profesi sesuai dengan standar profesi.
- Citra baik, nama baik dan kehormatan organisasi profesi tetap terjaga.
- Menjaga citra profesionalitas organisasi profesi dan anggotanya dari melakukan perbuatan tercela dan tidak profesional.
- Bobot kualitas hasil pekerjaan profesi akan meningkat atau lebih baik serta dipercaya oleh masyarakat.
- Organisasi profesi akan melakukan evaluasi diri dan mengefektifkan kontrol secara internal untuk menjaga anggotanya dari tuntutan pidana.
- Anggota profesi yang memiliki komitmen terhadap profesinya dan berkualitas dapat mengembangkan profesinya secara maksimal, karena memperoleh jaminan perlindungan hukum.
- Memberikan jaminan perlindungan masyarakat dari perbuatan yang merugikan yang dilakukan oleh kalangan profesi.
Sedangkan pengaruh negatif terhadap kalangan profesi:
- Dampak psikologis kepada anggota profesi dalam menjalani pekerjaan profesi
- Sikap ragu-ragu, hawatir dan perasaan takut dalam menjalani profesi dan bayang-bayang ancaman sanksi dan kehilangan pekerjaan.
- Kualitas hasil pekerjaan profesi akan menurun karena kalangan profesi tidak dapat menjalankan tugasnya secara maksimal hawatir berbuat kesalahan.
- Ancaman sanksi dan penjatuhan sanksi pencabutan hak untuk menjalani profesi tertentu akan mengganggu dalam menjalani profesi yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
- Melahirkan sikap secara kolektif untuk membela anggota profesi yang dijatuhi sanksi karena merasa senasib.
- Terjadinya bias dalam penegakan hukum pidana terkait dengan orang menjalankan profesi dan cenderung mengorbankan orang yang menjalankan profesi. Bias penegakan hukum pidana yang terkait dengan pers antara lain:
i. Praktek penafsiran hukum pidana yang berhubungan dengan orang
yang melaksanakan profesi wartawan ditafsirkan sama dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang yang tidak dalam/sedang menjalani profesi.
ii. Penafsiran melawan hukum dalam menjalani pekerjaan profesi dipisahkan
dan tidak dikaitkan dengan pelanggaran profesi.
iii. Penguasaan materi hukum pidana dan hukum yang terkait dengan
profesi oleh kalangan aparat penegakan hukum rendah, tidak sama dan cenderung
ditafsirkan yang tidak sesuai dengan doktrin hukum pidana.
iv. Beberapa issu hukum mengenai pasal-pasal RUU KUHP yang dapat
dikenakan orang yang melaksanakan pekerjaan profesi di bidang pers antara lain:
NO
|
PASAL
|
SUBSTANSI
|
KEPENTINGA HUKUM YANG HENDAK
DILINDUNGI
|
1
|
2
|
3
|
4
|
01
|
209 dan 210
|
Penyebaran ajaran komunisme,
Marxisme-Leninisme
|
Ideologi
Pancasila
|
02
|
212
|
Peniadaan penggantian ideologi Pancasila
|
Ideologi
Negara
|
03
|
218
|
Pertahanan negara
|
Ketahanan/Kemanan
Negara
|
04
|
226 dan 227
|
Pengkhianatan
terhadap negara dan pembocoran rahasia negara
|
Ketahanan/Keamanan
Negara
|
05
|
262 dan 263
|
Penghinaan terhadap Presiden
dan Wakil Presiden
|
Kehormatan
dan nama baik Presiden dan Wakil Presiden
|
06
|
264
|
Pidana
tambahan
|
Pemberatan
pidana
|
07
|
269, 270, dan
271
|
Penghinaan
terhadap kepala negara sahabat
|
Kehormatan
dan nama baik Kepala Negara Sahabat
|
08
|
284 dan 285
|
Penghinaan
terhadap pemerintah
|
Kehormatan
dan nama baik Pemerintah
|
09
|
287
|
Penghinaan terhadap golongan
penduduk
|
Kehormatan
dan nama baik Kelompok Penduduk
|
10
|
288 dan 289
|
Penghasutan untuk melawan
penguasa umum
|
Ketertiban
Umum
|
11
|
290 dan 291
|
Penghasutan untuk melakukan tindak
pidana
|
Ketertiban
Umum
|
12
|
307 dan 308
|
Penyiaran berita bohong
dan berita yang tidak pasti
|
Kebenaran
informasi dan ketertiban umum
|
13
|
336 dan 339
|
Penghinaan
terhadap agama
|
Kehormatan dan nama
baik serta kemurnian ajaran agama
|
14
|
340
|
Penghasutan untuk meniadakan
keyakinan terhadap agama
|
Ketaatan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa/Anti Ateisme
|
15
|
400 dan 401
|
Penghinaan
terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara,
|
Kehormatan
dan nama baik penguasan umum dan lembaga negara
|
16
|
469 - 473
|
Pornografi
|
Nilai kesusilaan
masyarakat/ publik
|
17
|
481,482 dan
483
|
Mempertunjukkan
pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan,
|
Kesusilaan
Publik
|
18
|
511
|
Pencemaran
|
Kehormatan
dan nama baik seseorang
|
19
|
512
|
Fitnah
|
Kehormatan
dan nama baik seseorang
|
20
|
514 dan 515
|
Penghinaan ringan
|
Kehormatan
dan nama baik seseorang
|
21
|
518
|
Persangkaan
palsu
|
Kehormatan
dan nama baik seseorang
|
22
|
520
|
Pencemaran
orang mati
|
Kehormatan
dan nama baik seseorang
|
23
|
522 - 525
|
Tindak pidana
pembocoran rahasia
|
Keamanan dan
Pelaksanaan Tugas Negara
|
24
|
723, 724, dan
725
|
Tindak pidana
penerbitan dan percetakan
|
Penyalahgunaan
penerbatan dan percetakan
|
D. KLAUSUL PERLINDUNGAN PROFESI DI BIDANG
PERS DALAM RUU KUHP
Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, bahwa orang yang
menjalankan pekerjaan profesi yang dilakukan berdasarkan standar profesi, tidak
melanggar kode etik profesi, dan tidak melanggar hukum akan memperoleh jaminan
perlindungan hukum.
Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur
tentang perlindungan hukum bagi wartawan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 8 yang
menyatakan: “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan
hukum”. Ketentuan Pasal 8 tersebut tidak secara eksplisit memberi jaminan
perlindungan hukum terhadap wartawan dalam arti kekebalan dari tuntutan hukum
atau tuntutan pidana karena menjalankan pekerjaan profesinya sebagaimana yang
dimaksud sebelumnya. Hal ini bisa di baca dalam penjelasan Pasal 8:
Yang
dimaksud dengan "perlindungan hukum" adalah jaminan perlindungan
Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Jika pekerjaan wartawan dikualifikasikan
sebagai pekerjaan profesi karena telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu
profesi, maka perlindungan hukum terhadap wartawan ditempatkan sebagai
perlindungan hukum terhadap profesi wartawan yakni kekebalan dari tuntutan
hukum. Wartawan yang sedang menjalankan profesinya berdasarkan standar profesi
wartawan, sesuai dengan kode etik wartawan, dan tidak melanggar hukum akan memperoleh
jaminan perlindungan hukum dalam bentuk kekebalan dari tuntutan hukum, baik
perdata maupun pidana. Sebaliknya, wartawan yang melaksanakan profesinya
sebagai wartawan yang melanggar kode etik dan/atau melanggar standar profesi
dan/atau melanggar hukum tidak memperoleh jaminan perlindungan hukum, maka
wartawan tersebut dapat dituntut atau dimintai pertanggungjawaban hukum,
perdata atau pidana.
Hal itu sesuai dengan konsideran bagian
pertimbangan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers huruf c yang
menyatakan
bahwa
pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dari
pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan
peranannya dengan sebaikbaiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang
profesional sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum,
serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
Pers yang memperoleh jaminan dan
perlindungan hukum adalah pers yang profesional. Secara acontrario
bermakna bahwa pers yang tidak profesional tidak memperoleh jaminan dan
perlindungan hukum.
Jaminan kekebalan hukum tersebut bagi
kalangan profesi dalam menjalankan profesinya juga dimilki oleh profesi lain,
antara lain profesi advokat, dokter, hakim, notaris, dosen, peneliti dan
profesi lainnya yang diakui oleh hukum.
Jaminan perlindungan hukum bagi kalangan
profesi tersebut diatur dalam peraturan perundang-undang ada tiga model, yaitu:
Model pengaturan pada nomor 3 adalah model
pengaturan yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum dalam memberi
perlindungan hukum terhadap profesi di bidang pers atau wartawan. Dalam KUHP
dan dalam RUU KUHP tidak mengatur secara eksplisit mengenai jaminan
perlindungan hukum terhadap orang yang menjalani profesinya.
Berdasarkan asas hukum pidana dan doktrin
hukum pidana, orang yang menjalani profesi tidak dapat dituntut pidana, karena:
pertama, alasan perbuatan tersebut tidak melawan hukum atau, kedua, perbuatan tersebut termasuk kategori melawan
hukum tetapi dihapuskan sifat melawan hukumnya (karena ada alasan pembenar).
Perumusan yang pertama, dimuat dalam kelompok orang yang tidak dapat dipidana,
seperti ketentuan Pasal 44 KUHP, dan perumusan yang kedua dimuat pasal
tersendiri dalam paragraf tentang alasan pembenar.
Kutipan
Pasal 44 KUHP sebagai contoh:
Pasal 44
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat
dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Sebagai contoh orang yang melakukan tindak pidana tidak pidana yang
dimuat dalam ketentuan umum dalam RUU KUHP Buku I:
Pasal 14
Permufakatan
jahat melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan:
a. menarik diri dari kesepakatan itu; atau
b. mengambil langkah-langkah yang patut untuk
mencegah terjadinya tindak pidana.
Pasal 16
Persiapan melakukan tindak pidana tidak
dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan, meninggalkan, atau mencegah
kemungkinan digunakan sarana tersebut.
Pasal 18
(1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan
dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri
secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan
dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau
akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah
merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Perlindungan hukum bagi
orang yang melaksanakan profesi dalam bentuk kekebalan dari tuntutan pidana
dirumuskan sebagai berikut:
Pasal ...
(1) Setiap orang yang
menjalankan profesi yang diakui dan diatur oleh undang-undang, tidak dipidana.
(2) Ketentuan Ayat (1)
tidak berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesinya yang tidak sesuai
dengan standar profesi, melanggar kode etik profesi, dan sesuai dengan
undang-undang.
Selanjutnya, jika kekebalan
hukum bagi pelaksanaan profesi dapat dimasukkan sebagai salah satu alasan
penghapus sifat melawan hukumnya suatu tindak pidana, dimuat dalam Bab II
tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana pada Paragraf 8. Asas yang
dibangun dalam RUU KUHP bahwa setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
melawan hukum. Oleh sebab itu, melawan hukum merupakan unsur mutlak harus ada
dalam setiap tindak pidana. Asas ini dimuat dalam Pasal 11 Buku I RUU KUHP.
Pasal
11
(1)
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.
(2)
Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam
pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum
atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
(3)
Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar.
Penghapusan sifat melawan hukum
selanjutnya diatur dalam Bab II Buku I RUU KUHP Paragraf 8, selengkapnya dikutip:
BAB II
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana
Paragraf 8
Alasan Pembenar
Pasal 31
Tidak dipidana, setiap orang yang
melakukan tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
Tidak dipidana, setiap orang yang
melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 33
Tidak dipidana, setiap orang yang
melakukan tindak pidana karena keadaan darurat.
Pasal 34
Tidak dipidana, setiap orang yang
terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan seketika
atau ancaman serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau
orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain.
Pasal 35
Termasuk alasan pembenar ialah tidak adanya sifat melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Ketentuan tentang penghapusan sifat melawan hukum tersebut
sebagai bentuk pengecualian yang atas dasar alasan tersebut seseorang yang
melakukan tindak pidana dilepas dari tuntutan pidana. Ketentuan Pasal 11 Ayat
(2) mengatur ajaran sifat melawan hukum materiil yang memiliki fungsi negatif
dalam arti luas. Atas dasar ketentuan tersebut, seseorang dapat dilepaskan dari
tuntutan pidana apabila perbuatan tersebut meskipun melanggar hukum pidana (melakukan
tindak pidana) tetapi perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan sifat melawan
hukum materiil.
Ketentuan Pasal 11 RUU KUHP tersebut dapat diberlakukan untuk
orang yang menjalankan profesi. Jadi orang yang menjalankan profesi secara
profesional, yaitu dilakukan sesuai dengan standar profesi, tidak melanggar
kode etik, dan sesuai/tidak bertentangan dengan hukum adalah tidak melawan
hukum materiil.
Jika hendak memasukkan orang yang menjalani profesi termasuk
kategori kelompok pengecualian orang-orang yang tidak dapat dipidana karena
adanya alasan pembenar, maka Bab II Buku
I Paragraf 8 dapat ditambah satu pasal yang rumusannya:
Pasal .....
Tidak dipidana, setiap orang yang menjalankan profesinya yang
diakui dan diatur oleh undang-undang, dilakukan sesuai dengan standar profesi,
tidak melanggar kode etik profesi dan sesuai dengan undang-undang.
Rumusan secara singkat tersebut dapat memberikan jaminan
perlindungan terhadap setiap orang yang menjalankan profesinya secara
profesional, termasuk profesi wartawan, dari kemungkinan tuntutan pidana. Melalui
rumusan tersebut semua pasal tentang tindak pidana yang dimuat dalam Buku II
RUU KUHP dan juga pasal-pasal yang memuat ancaman pidana dalam undang-undang di
luar KUHP.
E. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas,
penulis menegaskan, pendapat ini pernah saya sampaikan pada forum diskusi
publik sebelumnya, bahwa tuntutan perlindungan hukum terhadap profesi pers
tempatnya bukan pada KUHP Buku II yang mengatur tentang Tindak Pidana, karena
larangan tersebut bersifat umum dan general. Ada dua tempat yang dapat
dijadikan landasan hukum untuk menjamin perlindungan hukum dan kekebalan hukum
terhadap terhadap pers:
1. Memasukkan satu pasal dalam kelompok orang yang tidak dapat
dipidana atau sebagai salah satu bagian penghapusan sifat melawan hukum perbuatan
bagi orang yang menjalankan pekerjaan profesi yang dilakukan secara profesional
ke dalam Buku I RUU KUHP yang memuat Ketentuan Umum hukum pidana. Rumusan ini
mencakup perlindungan hukum terhadap pers/wartawan.
2. Tindakan yang paling tepat adalah melakukan perubahan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan menambah ketentuan
mengenai kekebalan hukum dan ketidakkebalan hukum terhadap pers dengan cara
merumuskan norma dan syarat-syarat kapan dan dalam hal apa pers dapat diajukan
ke pengadilan karena melanggar hukum pidana dan dijatuhi sanksi pidana dan
kapan dan dalam hal apa pers tidak dapat diajukan ke pengadilan karena
melanggar hukum pidana.
3. Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers hendaknya dilakukan dengan maksud untuk memperkuat usulan rumusan
perlindungan hukum orang yang menjalankan profesi dalam Buku I RUU KUHP agar
substansinya menjadi lengkap, perubahan dilakukan dengan memasukkan 5 (lima)
hal, yaitu:
a.
memberi jaminan hukum terhadap kebebasan pers;
b.
mengatur bagaimana dalam menggunakan kebebasan pers agar
tidak melanggar hak orang lain yang dijamin oleh Konstitusi;
c.
larangan dan ancaman sanksi pidana kepada orang yang
melakukan perbuatan yang mengganggu atau menghambat penggunaan kebebasan pers;
d.
larangan dan ancaman sanksi pidana kepada orang yang
menggunakan kebebasan pers yang mengganggu hak orang lain; dan
e.
larangan dan ancaman sanksi pidana kepada orang yang
melakukan pelanggaran hukum pidana dengan cara menggunakan pers atau
menyalahgunakan profesi di bidang pers.
Melalui ketentuan tersebut, perlindungan
hukum dan kekebalan hukum terhadap pers dalam melaksanakan pekerjaan
profesionalnya memiliki dasar hukum yang kuat, jelas dan tegas. Sebaliknya,
jika pers tidak melaksanakan pekerjaan profesinya secara profesional (melanggar
kode etik dan standar profesi) dapat dijerat dengan pasal-pasal hukum pidana
(KUHP) dan dijatuhi pidana. Pemidanaan terhadap pers yang terakhir ini untuk
menjaga nama baik profesi pers dan menjunjung tinggi kehormatan profesi di
bidang pers. Hal ini juga untuk menunjukkan bahwa profesi di bidang pers adalah
mulia, tetapi tetap tunduk kepada hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana
manakala dilakukan tidak profesional dan melawan hukum.
Usulan klausula satu pasal dalam Buku I RUU KUHP dalam
kelompok orang yang tidak dapat dipidana atau sebagai salah satu alasan pembenar
atau menambah penjelasan pasal 11 mengenai sifat melawan hukum materiil yang
memiliki fungsi negatif tercakup didalamnya orang yang menjalankan profesi
secara profesional. (*http://kuhpreform.wordpress.com/)