Pengaturan ADR atau Mediasi Penal di Indo-nesia
Wednesday, 18 March 2015
Sudut Hukum | Pengaturan ADR atau Mediasi Penal di Indo-nesia, oleh Barda Nawawi Arief
Pengaturan ADR atau Mediasi Penal di Indo-nesia
· Telah dikemukakan di atas, bahwa berda-sarkan hukum positif di Indonesia, ADR hanya dimungkinkan dalam perkara perdata (lihat Pasal 6 UU No. 30/1999 Tentang: ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYE-LESAIAN SENGKETA). Untuk perkara pida-na pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :
DAFTAR ISI
· Telah dikemukakan di atas, bahwa berda-sarkan hukum positif di Indonesia, ADR hanya dimungkinkan dalam perkara perdata (lihat Pasal 6 UU No. 30/1999 Tentang: ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYE-LESAIAN SENGKETA). Untuk perkara pida-na pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :
a. Dalam hal delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang
hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak
menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda
maksi-mum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal
dengan istilah ”afkoop” atau ”pemba-yaran
denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penun-tutan.
b. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia
8 tahun. Menurut UU No. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang
dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18
tahun. Terha-dap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak
ter-sebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang
masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang
tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali/orang tua asuh (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
·
Ketentuan
di atas hanya memberi kemung-kinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan, namun belum merupakan ”mediasi penal” seperti yang diuraikan di atas.
Penyelesaian di luar pengadilan ber-dasar Pasal 82 KUHP di atas belum meng-gambarkan
secara tegas adanya kemung-kinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku
dan korban (terutama dalam masalah
pemberian ganti rugi atau kompen-sasi) yang merupakan ”sarana pengalihan/ diversi”
(means of diversion)” untuk dihen-tikannya
penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82 KUHP merupa-kan alasan
penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti rugi/ kompensasi
terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar denda maksimum yang
diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan memberi ganti rugi kepada korban,
dimungkinkan dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c
KUHP). Patut dicatat, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap
berorientasi pada kepentingan pelaku (offender
oriented), tidak ”victim oriented”.
·
Kemungkinan
lain terlihat dalam UU No. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi
kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres No. 50/ 1993) untuk
melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Psl. 1 ke-7; Psl. 76:1;
Psl. 89:4; Psl. 96). Namun tidak ada
ketentuan yang secara tegas menya-takan, bahwa semua kasus pelanggaran HAM
dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4) Komnas HAM
dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui pengadilan (sub-c), atau hanya memberi rekomendasi kepada Peme-rintah
atau DPR untuk ditindaklanjuti pe-nyelesaiannya (sub-d dan sub-e). Demikian
pula tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat adanya
mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan. Di
dalam Pasal 96 (3) hanya ditentukan, bahwa ”keputusan mediasi mengikat secara
hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”.
·
Telah
dikemukakan di atas, bahwa di bebe-rapa negara lain, mediasi penal dimung-kinkan
untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT (keke-rasan
dalam rumah tangga – domestic violence).
Namun di Indonesia, ketentuan mediasi penal itu tidak terdapat dalam UU No. 3/1997
tentang Pengadilan Anak mau-pun dalam UU No. 23/2004 tentang KDRT.
·
Akhirnya
patut dicatat, bahwa gugurnya ke-wenangan penuntutan seperti yang ada dalam
KUHP (yang tersebar dalam bebera-pa pasal, antara lain Psl. 82 di atas), di
dalam Konsep RKUHP digabung dalam satu pasal dan diperluas dengan ketentuan
sbb. :
Pasal 145 (RKUHP 1-8-2006) (Psl. 142 RKUHP 2004)
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap;
b. terdakwa
meninggal dunia;
c.
daluwarsa;
d. penyelesaian di luar proses;
e. maksimum
pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya
diancam dengan pidana denda paling
banyak kategori II;
f.
maksimum pidana
denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
III;
g.
Presiden memberi
amnesti atau abolisi;
h.
penuntutan
dihentikan karena penuntutan dise-rahkan kepada negara lain berdasarkan per-janjian;
i.
tindak
pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.
pengenaan asas
oportunitas oleh Jaksa Agung.
PENUTUP
Mediasi penal sering dinyatakan meru-pakan ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya ”crime control and the criminal justice
system” [1] , dan
telah digunakan di beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat juga
diterapkan di Indonesia ,
apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana pengatur-annya, tentunya
memerlukan kajian yang men-dalam dan komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian
damai dan mediasi di bidang hukum pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum
adat dan dalam kenyataan sehari-hari.
LAMPIRAN :
PENGATURAN MEDIASI PENAL
DI BEBERAPA NEGARA
N E G A R A
|
PENGATURAN
|
-
Diatur dlm amandemen KUHAP th. 1999 yang diberlakukan
pada Januari 2000.
-
Pada mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk
anak melalui ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche), namun kemudian bisa juga untuk orang
dewasa melalui ATA-E (Außergerichtlicher
Tatausgleich für Erwachsene) yang
merupakan bentuk “victim-offender
mediation” (VOM).
-
Menurut Pasal 90g KUHAP Austria Penuntut Umum dapat
mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila:
1.
terdakwa mau mengakui perbuatannya,
2.
siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas
kerusakan yang timbul atau kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari
perbuatannya, dan setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang
menunjukkan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa yad.
-
Tindak pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi,
termasuk mediasi, apabila :
1.
diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 th. penjara
atau 10 th. dalam kasus anak.
2.
dapat juga untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence), dg catatan
diversi tidak boleh, apabila ada korban mati (seperti dalam kasus manslaughter).
|
|
BELGIA
|
a.
Pada tahun 1994
diberlakukan UU tentang mediasi-penal (the
Act on Penal Mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal Mediation).
b.
Tujuan utama
diadakannya “penal mediation” ini
adalah untuk memperbaiki kerugian materiel dan moral yang ditimbulkan karena
adanya tindak pidana. Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar sipelaku melakukan suatu terapy atau
melakukan kerja sosial (community service).
c.
Penuntut umum tidak
meneruskan perkara ke pengadilan, apabila pelaku berjanji untuk memberi
kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban.
d.
Pada mulanya hanya
untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya
ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana
maksimum 2 tahun penjara.
e.
Ketentuan hukum
acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code
of Criminal Procedure (10.02.1994).
|
JERMAN
|
-
Tahun 1990, OVA (offender-victim arrangement) dimasukkan
ke dalam hukum pidana anak secara umum (§ 10 I Nr. 7 JGG), dan dinyatakan
sebagai “a means of diversion” (§
45 II S. 2 JGG).
-
Pada 12 Januari 1994,
ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB
(KUHP) yg memberi kemungkinan penyelesaian kasus pidana antara pelaku
dan korban melalui kompensasi (dikenal dengan istilah Täter-Opfer-Ausgleich
- TOA).
-
Pasal 46a StGB :
apabila pelaku memberi ganti rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau
sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi
ganti rugi, maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan
pidana hanya dapat diberikan apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana
1 tahun penjara atau 360 unit denda harian.
-
Apabila TOA telah
dilakukan, maka penuntutan dihentikan (s. 153b StPO/
Strafprozessord-nung/KUHAP).
|
PERANCIS
|
-
UU 4 Januari 1993
mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of Criminal Procedure) yang dikembangkan
berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 : penuntut umum dapat melakukan
mediasi antara pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut
tidaknya seseorang.
-
Inti Pasal 41 CCP :
penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan
pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat
memperbaiki kerugian yang diderita korban,
mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki (merehabilitasi) si
pelaku.
-
Apabila mediasi tidak
berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan; namun apabila berhasil
penuntutan dihentikan (s. 41 dan s. 41-2 CCP- Code of Criminal Procedure).
-
Untuk tindak pidana
tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan penuntut umum meminta pelaku untuk
memberi kompensasi kepada korban (melakukan mediasi penal), daripada
mengenakan pidana denda, mencabut SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif
berupa pidana kerja sosial selama 60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini,
menghapuskan penuntutan.
-
Tindak pidana
tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP itu ialah : articles 222-11, 222-13 (1°
to 11°), 222-16, 222-17, 222-18 (first paragraph), 227-3 to 227-7, 227-9 to
227-11, 311-3, 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1, 322-2, 322-12 to 322-14,
433-5 to 433-7 and 521-1 of the Criminal Code, under the articles 28 and 32
(2°) of the Ordinance of 18 April 1939 fixing the regime of war materials,
arms and munitions, under Article L. 1 of the Traffic Code and under Article
L. 628 of the Public Health Code
|
POLANDIA
|
-
mediasi
pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code
of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003
tentang “Mediation proceedings in
criminal matters”.
-
Pengadilan
dan jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat
menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan
mediasi antara korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan.
Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury).
-
Hasil positif dari mediasi itu menjadi
alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana.
-
Mediasi dapat diterapkan untuk
semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara.
Bahkan kejahatan kekerasan (Violent crimes)
juga dapat dimediasi.
|
MEDIASI VIOLENT CRIME
|
-
VOM (Victim-Offender
Mediation) untuk violent crime
diterapkan di Austria, Polandia,
Slovenia, Canada, USA, dan Norwegia;
-
Kasus-kasus KDRT (domestic violence) juga dapat di
mediasi di
|
SUMBER REFERENSI
-
Brienen,
M.E.I. and E.H. Hoegen (2000), Victims of Crime in 22 European Criminal
Justice Systems: The Implementation of Recom-mendation (85) 11 of the Council
of Europe on the Position of the Victim in the Framework of Criminal Law and
Procedure , Dissertation, University of Tilburg. Nijmegen ,
The Netherlands :
Wolf Legal Productions (WLP) ISBN
90-5850-004-7;
-
France,
Code Of Criminal Procedure, http:// www.legislationline.org/
upload/ legislations/ac/ a6/848f4569851e2ea7eabfb2ffcd70.htm
-
Frehsee, Detlev (Professor of Criminology and
Criminal Law, University of Bielefeld ,
Germany ), Restitution
and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and
Theoretical Implications, http://wings.buffalo. edu/law/bclc/bclr.htm
-
Hilman Hadikusuma. 1979.
Hukum Pidana Adat. Alumni, Bandung.
-
Iivari,
Juhani, Victim-Offender Mediation – An Alternative, an Addition or Nothing But
A Rubbish Bin in Relation to Legal Pro-ceedings?, www. restorativejustice.org/ resources/docs/iivari1/download
-
Lee
Swee Seng, LLB, LLM, MBA, Mediation: Its Practice & Procedure,
www.leesweeseng.com/
mediation.ppt
-
Macfarlane, Deborah, Victim-Offender Media-tion in France , http://www. Mediationconfe-rence.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER
%20MEDIATION%20 IN%20FRANCE1.doc ;
-
Mediation in Penal Matters, sfm.jura.uni-sb.de/ archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc
- Natangsa Surbakti,
Gagasan Lembaga Pemberian Maaf Dalam
Konteks Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis S2
Hukum UNDIP, 2003.
-
Nawawi
Arief, Barda, Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam
Penyelesaian Sengketa/ Masalah Perbankan Beraspek Pidana Di Luar Penga-dilan, makalah dalam Dialog Interaktif Mediasi
Perbankan, di Bank Indonesia Sema-rang, 13 Desember 2006; dimuat dalam KAPITA
SELEKTA HUKUM, penerbitan khusus menyam-but Dies Natalis ke 50 FH UNDIP, 2007.
-
Pelikan, Christa. On Restorative Justice, www.
restorativejustice.org/re-sources/docs/pelikan;
Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime
Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/law/bclc/bclr-articles/3(1)/ roessner.pdf
;
-
Peters,Tony,
From
Community Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/no61/ch12.pdf.
-
Polandia, Act of 6 June 1997
Code of Criminal Procedure, www.era.int/domains/corpusjuris/ public_pdf/polish_ccp.pdf
-
Recommendation
No. R (99) 19 by the Com-mittee of Ministers of the Council of Europe, Mediation
IN PENAL MATTERS, http://sfm.jura. uni-sb.de/archives/
images/mediation-en%5B1% 5D.doc.
-
Tränkle, Stefanie, The Tension between Judi-cial Control and
Autonomy in Victim-Offender Mediation - a Microsociological Study of a
Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germa-ny
and France,
http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/
traenkle_e.html.
-
Wolthuis, Annemieke, Will Mediation in Penal Matters be
mandatory? The Impact of Interna-tional Standards, fp.enter.net/restorativepracti ces/MediationMandatory
[1] Lihat
antara lain, Deborah Macfarlane, Victim-Offender
Mediation in France , http://www. Mediation conference.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER
%20MEDIATION%20 IN%20 FRANCE1.doc ; Christa Pelikan. On Restorative
Justice, www. restorativejustice.org/resources/docs/pelikan; Dieter
Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and
Empirical Comments, wings.buffalo.edu/
law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf ; Tony Peters, in colla-boration
with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert : From Community Sanctions
To Restorative Justice, The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/ no61/ ch12. pdf