Klasifikasi Tindak Pidana Pemilu
Sunday, 7 February 2016
Sudut Hukum | Klasifikasi Tindak Pidana Pemilu
Pada psoting sebelumnya kita telah mengetahui "Apa itu tindak pidana pemilu", sekarang kita akan melihat Klasifikasi tidak pidana pemilu.
Secara umum, Tindak Pidana Pemilu yang
diatur dalam Peraturan Pemilu meliputi setiap perbuatan yang menghilangkan hak
pilih orang lain, mengganggu tahapan Pemilu, dan merusak integritas Pemilu,
serta berbagai praktik curang untuk memenangkan salah satu kandidat peserta
Pemilu seperti politik uang, kampanye hitam, dan sebagainya.
Pelanggaran Pemilu yang dikenal dalam
Peraturan Pemilu terdiri dari dua jenis yaitu pelanggaran pidana (Tindak Pidana
Pemilu) dan pelanggaran administratif. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 menyebut dengan tegas tiga jenis macam masalah hukum yang berkaitan
dengan Pemilu yaitu: pelanggaran administrasi Pemilu, pelanggaran pidana
Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu.
Perselisihan hasil Pemilu diperiksa dan
diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur secara tegas oleh Peraturan
Pemilu.dalam hal ini, jika ditelaah lebih jauh, perselisihan hasil Pemilu pada
dasarnya merupakan ruang lingkup sengketa administrasi atau dapat disebut
dengan keberatan atas hasil Pemilu. Jadi, keberatan hasil Pemilu bukanlah suatu
pelanggaran Pemilu tetapi bentuk ketidakpuasan dari pihak yang merasa dirugikan
untuk meninjau ulang hasil Pemilu yang telah diselenggarakan.
Berbeda dengan pendapat dari Topo Santoso
yang menyatakan bahwa Sengketa hukum dan Pelanggaran Pemilu dapat dibagi
menjadi enam: (1) Pelanggaran Pidana Pemilu (Tindak Pidana Pemilu); (2)
Sengketa dalam Proses Pemilu; (3) Pelanggaran Administrasi Pemilu; (4)
Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu; (5) Perselisihan (sengketa) Hasil
Pemilu; dan (6) Sengketa hokum lainnya.[1]
Pendapat Topo Santoso tersebut didasari pada ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang hanya menyebut dengan tegas tiga macam masalah hokum yaitu: pelanggaran administrasi Pemilu, pelanggaran pidana Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu. Dua macam jenis masalah hukum lainnya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tetapi secara materi diatur, yaitu pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan sengketa dalam proses/tahapan Pemilu. Sementara sengketa hukum lainnya tidak diatur diatur secara eksplisit baik nama maupun materinya, tetapi praktik mengakui keberadaanya, yaitu masalah hukum lainnya.[2]
Pendapat Topo Santoso tersebut didasari pada ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang hanya menyebut dengan tegas tiga macam masalah hokum yaitu: pelanggaran administrasi Pemilu, pelanggaran pidana Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu. Dua macam jenis masalah hukum lainnya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tetapi secara materi diatur, yaitu pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan sengketa dalam proses/tahapan Pemilu. Sementara sengketa hukum lainnya tidak diatur diatur secara eksplisit baik nama maupun materinya, tetapi praktik mengakui keberadaanya, yaitu masalah hukum lainnya.[2]
Ketentuan yang mengatur Tindak Pidana
Pemilu, tidak saja ditemukan dalam Peraturan Pemilu, tetapi juga tercantum
dalam KUHP. Terdapat lima Pasal dalam KUHP yang mengatur tentang tindak pidana
yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu. yaitu:
a) Merintangi orang menjalankan haknya
dalam memilih (Pasal 148 KUHP)
b) Penyuapan (Pasal 149 KUHP)
c) Perbuatan Tipu Muslihat (Pasal 150
KUHP)
d) Mengaku sebagai orang lain (Pasal 151
KUHP)
e) Menggagalkan pemungutan suara yang
telah dilakukan atau melakukan
f) tipu muslihat (Pasal 152 KUHP)
Dalam Rancangan KUHP juga terdapat
pengaturan tentang Tindak Pidana Pemilu yang diatur dalam BAB IV tentang tindak
pidana terhadap ketertiban umum yang terdiri dari 5 Pasal, yakni Pasal 278
sampai dengan Pasal 282. Kelima ketentuan yang dicantumkan dalam Rancangan KUHP
tersebut mengatur hal yang sama sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan
antara Tindak Pidana Pemilu yang diatur oleh KUHP dengan Tindak Pidana Pemilu
dalam Rancangan KUHP karena perbedaan yang ada hanya mengenai jumlah denda yang
diberikan saja.
[1] Topo Santoso, Penanganan
Pelanggaran Pemilu, (Jakarta:
Kemitraan, 2009), h. 3.
[2] Ibid